Hari-hari ini bagi para amil adalah hari yang tak mudah. Para amil adalah aktivis. Umumnya aktivis tak betah lama-lama di rumah. Ada DNA yang sama yang dimiliki para amil, yakni bekerja, dan terus bekerja untuk sesama.
Maka ketika penyebaran virus COVID-19 demikian massif, dan akhirnya pemerintah mengumumkan para pekerja agar bekerja di rumah, termasuk para amil didalamnya. Langsung terbayang wajah duka para amil. Duka bukan semata takut akan risiko COVID-19, namun lebih dari itu, berduka karena merasa tak leluasa membantu sesama.
Hanya sebagian saja amil yang tetap bekerja di lapangan, itu pun dengan prosedur yang ketat dan penuh kehati-hatian yang tinggi. Sementara sebagian besar amil diminta bekerja di rumah atau Work From Home (WFH). WFH ini bukan pilihan, namun keharusan untuk mengurangi kemudharatan yang lebih luas.
Mudharat bagi amil sendiri dan mudharat bagi yang dibantu oleh mereka bila tak berhati-hati. Karena ini adalah bukan hal biasa, tentu tak mudah adaptasinya. Apalagi tak ada kesempatan uji coba sebelumnya. Tiba-tiba WFH, di tengah situasi para amil yang sedang on fire untuk bersiap menghadapi Ramadhan. Dan kita semua tahu, Ramadhan adalah bulan tersibuk para amil. Bulan ini adalah bulan mulia namun juga puncak kesibukan untuk berbagi pada sesama dan melakukan beragam kebaikan lainnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
WFH bagi amil sebagian tak bisa dilakukan dengan optimal, pertama karena rumah memang secara umum di desain bukan tempat kerja, kedua karena saat yang sama, di rumah juga berkumpul semua anggota keluarga yang juga dengan alasan serupa, harus “di rumahkan”untuk alasan keselamatan dan pengurangan risiko penyebaran Covid-19. Jadilah bukan suasana kerja yang ada, namun suasana “reuni keluarga” dengan segala suasana dan kehebohan-nya.
Makan dan minum, serta snack dan camilan lain harus pula tersedia agar semua bisa tenang dan terpenuhi kebutuhan konsumsinya. Para Ibu lantas jadi guru dadakan, dan para bapak pun tiba-tiba jadi ahli tukang, bengkel, nge-game, pemain catur, pemain ular tangga hingga beragam permainan lain yang tiba-tiba harus ada di rumah dan bergiliran dimainkan.
Kalau sudah begitu, terbayang berapa waktu yang optimal sebenarnya seorang ayah yang juga pekerja untuk WFH dengan baik. Apalagi ibu-ibu pekerja yang juga ibu rumah tangga, yang sebagian-nya tak punya asisten rumah tangga. Bahkan seorang ibu sempat bercanda : “WFH di rumah saya, jadinya adalah Wife From Husband” Ini karena tiba-tiba para suami memperlakukan istrinya bak asisten kantor yang diminta terus membantu dan melayani kebutuhan sang suami, bahkan hampir 24 jam berjalan.
Luar biasa bukan, ada banyak kekacauan-kekacauan sekaligus kelucuan yang muncul ketika WFH mulai dan terus ada hingga saat ini. Dengan prediksi situasi yang akan panjang, berkisar 90 hari lebih, maka tentu saja harus ada kesabaran ekstra untuk menjalani dan menikmati situasi ini.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Para Amil, Mari Kita Perbaiki Kemampuan Menulis
Agar WFH bisa produktif memang tak mudah. Selain karena adanya beragam gangguan teknis, juga WFH tak dilengkapi proses pengawasan dan evaluasi layaknya bekerja di kantor. Ada beragam tulisan yang akhirnya muncul untuk memandu, bagaimana sesorang bisa produktif menjalani WFH. Tips yang ada misalnya mengatakan, untuk bisa produktif, ada lima hal yang perlu dilakukan yaitu : 1. Membuat jadwal, 2. Beri jeda setiap 120 menit, 3. Matikan notifikasi, 4. Pilih lokasi yang nyaman, dan, 5. Ingat tujuan bekerja. Ada pula yang memberikan tipsnya sebagai berikut : 1. Tetapkan jam kerja Untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif saat bekerja dari rumah, 2. Komunikasi dengan keluarga, 3. Komunikasi dengan rekan kantor, 4. Jangan lupakan jam istirahat.
Menulis bagi amil zakat sesungguhnya bukan hal asing. Hal ini tak lain karena menulis sudah jadi pekerjaan atau aktivitas dasar yang melekat pada diri seorang amil. Walau tidak harus menjadi seorang penulis, seorang amil harus memiliki keterampilan dasar yang memadai dalam perkara menulis ini. Menulis juga bukan soal bakat, karena banyak para penulis hebat pada awalnya tak dianggap punya talenta menulis yang baik. Menulis ini lebih pada soal kemauan belajar dan minat untuk mengembangkan diri dalam soal literasi.
Setiap amil idealnya secara terus-menerus melatih cara dan keterampilan menulisnya secara berkala. Ia harus istiqomah untuk menyampaikan pada dunia, apa yang ia inginkan dana pa yang ia rasakan. Ia juga harus terus memberitahu publik akan apa saja yang orang lain bisa dukung dan berikan bantuan saat ia menemukan sejumlah mustahik yang memerlukan beragam bantuan. Tidak harus seorang amil pergi jauh terlebih dahulu untuk bisa menulis. Pun tidak ada jaminan bila seorang amil terjun ke lokasi-lokasi bencana lantas ia akan lancar menulis.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Seorang amil harus terus berlatih, “mengasah pena” (walau kini cukup dengan laptop dan gadget pun bisa) dan juga “mengasah mata batinnya” menjadi amil yang bisa menulis, tak lantas pindah profesi menjadi penulis. Menjadi amil yang bisa menulis juga, bukan berharap akan mendapat tambahan penghasilan, atau malah ketenaran. Dan untuk bisa menulis dengan baik, seorang amil harus istiqomah menulis dan terus berlatih. Berlatih secara rutin akan semakin mempertajam tulisan dan memudahkan pembaca menikmati tulisannya. Untuk bisa berlatih, kunci utamanya yang paling menentukan adalah kedisiplinan. Dengan disiplin berlatih menulis, maka akan lahir tulisan yang lebih baik.
Jangan khawatir kehabisan ide atau gagasan ketika berlatih menulis, karena tokh, semua penulis pun pada awalnya harus berjuang keras untuk menggali dan menemukan ide atau gagasan awal yang akan dituliskan. Jadi begitu macet tak punya ide, jangan berhenti menulis, tetaplah mencoba dan terus mencoba hingga ketemu ide baru untuk dituliskan. Lupakan soal bakat, karena begitu kita rajin berlatih menulis, soal bakat kini tak terlalu penting lagi untuk kita.
Soal bakat ini pun, pastinya kita tak sendirian, ada puluhan bahkan ratusan penulis sukses awalnya tak ada bakat menulis. Dengan terus berlatih, sesungguhnya kita sedang berjuang merintis dunia baru untuk kita masuki dan dari sana kita akan kabarkan pada dunia tentang banyak hal yang kita lihat dan kita rasakan sebagai seorang amil yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan sesama.
Perjuangan untuk bisa menulis dengan baik dan terasa asyik memang tak mudah, namun sebagaimana sebuah perjuangan, akan terasa buahnya ketika akhirnya kita sampai pada waktunya untuk memetiknya. Di bawah ini, setidaknya, ada 5 rahasia untuk berlatih menulis yang asyik, sambil menikmati jeda waktu diantara keriuhan WFH masing-masing di rumah kita semua.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pertama, Mulailah Menulis Sesuatu Dari Kebiasaan Kita
Para pembelajar di dunia tulis menulis kadang terburu-buru untuk sampai pada kesuksesan. Sukses untuk segera bisa menulis dengan baik dan diapresiasi positif oleh para pembaca tulisannya. Nah, kadang kesalahan umum yang sering berulang adalah para penulis baru adalah terlalu mengejar tulisan berat dengan tema yang populer dan penuh dengan data. Topik-topik bagus memang akan membuat bobot tulisan kita terlihat berkualitas, namun kadang untuk sampai ke sana, seorang pemula membutuhkan waktu dan jam terbang yang cukup untuk bisa mengemas semua bahan dan informasi yang ada.
Tentu saja akibatnya bisa sangat fatal, ketika baru saja semangat belajar muncul, namun apa daya kemampuan belum cukup dikuasai, jadinya hanya akan mempercepat kematian semangat belajar. Baru mulai, baru akan jalan, dan tiba-tiba mentok sampai tikungan.
Untuk itu, menulis soal-soal atau tema terdekat dengan diri kita, akan memudahkan kemampuan menyusun kata dan mengalirnya kalimat demi kalimat yang ada. Dengan topik yang mudah dan telah jadi kebiasaan yang melekat pada diri kita, menceritakannya kembali dalam bentuk tulisan akan terasa enteng. Dan dari keasyikan latihan ini, akan melegakan dan membangun optimisme bahwa kita sebenarnya bisa menulis dengan baik. Lama-kelamaan dari rasa asyik ini akan terus ketagihan untuk menulis dan terus menulis. Bila ini terus dilakukan, seiring waktu, tulisan kita akan menjadi menjadi lebih berbobot dan berkualitas.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kedua, Membaca adalah Kunci Utama Menulis
Untuk bisa menulis, kita memerlukan bahan-bahan yang cukup. Ibarat memasak, apapun menu-nya, tergantung pada ketersediaan bahan yang ada. Dan untuk bisa menulis dengan baik, diperlukan bacaan sebagai bahan dasar penunjang tulisan yang akan kita buat. Semakin bagus dan berkualitas bacaan yang kita kuasai, maka peluang melahirkan tulisan yang berbobot akan semakin tinggi. Tulisan-tulisan bagus dan asyik yang kit abaca, sesungguhnya keluar dari beragam bacaan yang tak sedikit. Dengan diracik sedemikian rupa, ditambah bumbu-bumbu penyedap yang menarik, tulisan bagus akan terhidang dengan sempurna.
Bahan-bahan bacaan juga diperlukan untuk menambah kosa kata, model atau struktur tulisan, variasi gaya tulisan, informasi yang terbaru serta beragam gambaran sesuatu yang akan kita tuliskan nanti. Dengan semakin banyak membaca, kita akan semakin kaya bahan untuk menuliskan sesuatu. Dan ini semua tentu saja akan berujung pada mudahnya menulis dan akan semakin mengasyikan. Jadi bila kita ingin semakin serius menulis, maka mulai saat ini, banyaklah membaca dan menelaah buku-buku atau bahan bacaan lainnya. Itu semua akan menjadi modal utama kita untuk bisa menghasilkan tulisan yang enak untuk di baca.
Ketiga, Terus Mencoba Walau Tak Sempurna
Untuk bisa berlatih menulis, kita memang harus sempurna belajarnya, namun tak perlu lantas jadi perfeksionis dalam menghasilkan tulisan. Proses panjang bagi seorang penulis ini akan menempa kekuatan bertahan terhadap kebosanan dan susahnya mencari ide dan gagasan. Pada tahap awal belajar, tuliskan semua saja apa yang kita mau tuliskan. Lalu secara perlahan, kita dengan sadar mulai memilih akan focus kemana tulisan yang akan kita buat nanti. Bahan yang kita baca, pengalaman dan beragam interaksi social kita akan mewarnai gaya dan kekhasan tulisan kita. Namun sebelum kita sampai menemukan gaya tulisan yang akan menjadi karakter kita, kita boleh menulis apa saja dan dengan gaya apapun. Yang penting usaha-usaha ini bukan untuk sampai pada proses yang sempurna, namun sebagai sebuuah jembatan menuju kualitas dan bobot tulisan yang kita buat.
Kita harus menyadari, untuk semakin asyik menulis, butuh proses yang panjang dan tak mudah. Diperlukan nyali yang kuat dan kejujuran untuk menciptakan sebuah tulisan. Bila ada kejujuran dan juga keberanian untuk mengungkapkan sesuatu dari tulisan kita, Insyaallah akan memudahkan kita melahirkan tulisan yang dalam dan berkualitas. Bila berkaca pada karya-karya penulis hebat, ternyata mereka pun harus berjuang untuk menghasilkan karya tadi. Mereka lalui dengan proses yang panjang, bahkan berliku. Namun dengan kerja keras dan ketekunan, akhirnya proses panjang itu pun berbuah manis berupa apresiasi dan penghargaan atas karya-karya mereka. Saat ingin menulis, menulis sajalah jangan ragu dan khawatir. Tak perlu juga takut tulisanya tak bermutu. Tulis sewajarnya dan lalu nikmati hasilnya. Awal-awal menulis, jangan terburu-buru membanding-bandingkan dengan tulisan hebat oleh para penulis handal, karena kita akan merasa tak sempurna dan akan langsung jatuh ke jurang kehancuran mental kita. Namun, saat yang sama, tak perlu juga kita membuat standar asal-asalan dan terlalu rendah. Ini tak lain supaya kita merasa tertantang untuk membuat dan menghasilkan tulisan terbaik yang akan kita persembahkan bagi para pembaca kita. Tetaplah berlatih menulis dan terus perbaiki kekurangan dari tulisan yang kita hasilkan. Jangan bosan, jangan pula berputus asa.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Keempat, Istiqomah dan Disiplin Berlatih
Ketika kita ingin sarana WFH ini jadi fasilitas untuk berlatih menulis, maka kita harus istiqomah dan disiplin. Kita harus konsisten untuk terus menerus berlatih dan memperbaiki keterampilan menulis. Kita juga harus mulai membuat tulisan dan lalu mengirimkannya pada sejumlah group tempat komunitas belajar menulis yang bersedia membaca tulisan kita dan melakukan review atas isi tulisan secara jujur dan obyektif. Bila tulisan kita sudah cukup bagus, maka silahkan saja dishare ke sejumlah pihak yang relevan, termasuk juga ke berbagai media yang ada, baik cetak maupun media daring.
Disiplin berlatih menulis juga artinya kita harus punya jadwal berlatih yang serius untuk ditaati dan dikerjakan. Buat jadwal sesuai waktu luang yang kita miliki, juga berdasar kemampuan yang ada untuk kita mulai menulis. Setelah jadwal ini tersedia, maka kita tinggal mematuhinya dengan baik dan sungguh-sungguh. Mulailah berlatih bersikap seperti seorang penulis profesional yang memiliki deadline. Situasi itu semua, nnatinya akan membantu kita menulis sesuatu tepat waktu dan bisa lebih fokus pada tujuan yang ingin dicapai, yakni menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Kelima, Jadikan Menulis ini Sebagai Ladang dakwah
Tujuan seseorang saat ia ingin menjadi penulis cukup beragam, mulai menjadi sekedar hobi, mata pencaharian, atau terapi untuk meluapkan apa yang ada di hatinya. Bagi amil zakat, menulis adalah juga sekaligus bagian dari dakwah. Dakwah saat ini dimensinya luas, dan menulis pun termasuk bagian dari dakwah, yakni dakwah qalam. Dakwah melalui tulisan akan memperluas wawasan dan pengetahuan masyarakat akan dunia zakat dan juga Islam secara umum. Bisa jadi ke depan, dengan menguatnya era digital saat ini, pengaruh dakwah tulisan dan media digital lainnya akan jauh lebih kuat daripada dakwah lewat ucapan. Meskipun demikian, tentu saja ada keutamaan tersendiri pada setiap cara dakwah yang ada.
Dengan dakwah melalui tulisan, semoga menjadi kontribusi bagi menguatnya kembali tradisi keilmuan di dunia Islam dan peradaban dunia. Sebagaimana kemajuan sebuah negeri, maka diawali dengan tradisi keilmuan yang kuat dan lahirnya para tokoh dan ahli yang juga penulis. Mereka menerangi dunia dengan beragam pengetahuan dan penemuan-penemuan baru yang berhasil disebarluaskan melalui tulisan yang mudah dimengerti dan Bahasa yang sederhana. Sejarah Baghdad yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di Timur Tengah, disusul kemudian Istanbul di Turki dan Andalusia dengan Universitas Cordoba-nya waktu itu, tak bisa dipisahkan dari tradisi tulis menulis dan pesatnya kemampuan penyebarluasan ilmu pengetahuan ke umat Islam kala itu. Semua itu menjadi bukti bahwa menulis sesungguhnya menjadi media dakwah dan sarana menyampaikan pengetahuan pada umat manusia
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Mari kita terus berlatih menulis secara serius. Agar para amil menjadi bagian dakwah bil qalam melalui pena. Para amil jangan berdiam diri dan hanya menunggu ide itu dating sendiri. Mulailah menulis dan terus menulis. Dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, para amil mulai menulislah. Pastikan hari-hari yang dilewati ketika WFH saat ini bisa kita optimalkan untuk lebih produktif. Percayalah, bila kita punya keseriusan dan keyakinan yang kuat untuk bisa sukses menulis dengan baik, seiring dengan berjalannya waktu, detik demi detik, ide-de dan gagasan segar itu akan muncul. Mari para amil menyongsong era baru, dengan menjadi bagian dari peradaban dengan menulis. Menulis juga akan memperpanjang umur kita, bahkan mengabadikan kita dalam perkembangan peradaban umat manusia. Begitu kita sudah tiada, tulisan kita lah yang akan dibaca dan kenang orang-orang setelah kita. (A/R8/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin