ADA yang lebih pilu dari rumah tanpa tawa—yakni rumah yang kehilangan cahaya ilmu. Di sanalah hati seorang ibu perlahan menjadi bisu. Bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena nasihatnya tak lagi didengar. Ilmunya dianggap kuno, petuahnya dibilang ketinggalan zaman, dan kasih sayangnya disalahpahami sebagai campur tangan.
Padahal dulu, dari lisannya lahir doa yang menembus langit. Dari tangannya mengalir kesabaran yang menumbuhkan karakter. Dari pandangannya terpancar kasih yang menuntun anak-anaknya mengenal Tuhan. Tapi kini, ketika ilmu mulai ditinggalkan dan kebodohan dianggap tren, ibu hanya bisa menatap hening ke arah pintu, berharap ada anak yang pulang membawa hikmah, bukan sekadar berita dunia maya.
Ilmu adalah pelita hati. Ia menuntun akal agar tak tersesat dalam nafsu, menuntun jiwa agar tak jatuh dalam kesia-siaan. Namun ketika ilmu ditinggalkan, bukan hanya akal yang padam, tapi cinta pun kehilangan arah. Seorang anak yang menjauh dari ilmu akan mudah terjerumus dalam kebingungan; dan seorang ibu yang melihatnya, menahan air mata dalam doa. Karena ibu tahu, ketika ilmu tak lagi dijunjung, maka nilai hidup pun ikut runtuh.
Dulu, setiap rumah adalah madrasah. Ibu menjadi guru pertama, ayah menjadi pemimpin yang menanamkan adab. Kini, banyak rumah kehilangan ruh pendidikan. Anak-anak sibuk dengan layar, bukan dengan lembaran kitab. Mereka lebih hafal nama selebritas ketimbang nama sahabat Nabi. Mereka cepat membenarkan tren, tapi lambat memahami kebenaran. Sementara ibu, yang dulu menjadi penjaga cahaya ilmu, hanya bisa diam—takut dianggap kolot jika menegur, takut disalahpahami jika mengingatkan.
Baca Juga: Ibu Akhir Zaman: Sibuk di Dunia, Lupa Mendidik Jiwa
Hati ibu sebenarnya tak pernah benar-benar bisu. Ia hanya terbungkam oleh zaman yang tak lagi menghargai ilmu. Ia masih berdoa di setiap sepertiga malam, memohon agar anak-anaknya kembali mencintai Al-Qur’an, kembali menghormati guru, kembali memuliakan ilmu. Sebab ibu tahu, tanpa ilmu, hidup hanyalah tubuh tanpa ruh. Bergerak, tapi tak bermakna.
Berapa banyak anak yang kini merasa pintar karena gelar, tapi kehilangan adab kepada orang tua? Berapa banyak yang bangga dengan pencapaian dunia, tapi lupa bahwa semua itu rapuh tanpa landasan iman dan ilmu? Di sinilah air mata ibu menjadi saksi bisu—betapa ia rindu melihat anak-anaknya berilmu dan berakhlak, bukan sekadar sukses secara materi.
Ketika ilmu ditinggalkan, nasihat kehilangan makna. Suara guru dianggap gangguan, bimbingan orang tua disalahartikan. Padahal ilmu adalah tali pengikat antara generasi. Ia menjembatani masa lalu yang penuh hikmah dengan masa depan yang penuh harapan. Tanpa ilmu, anak kehilangan arah; tanpa bimbingan, ibu kehilangan peran. Maka dunia menjadi gaduh oleh kebodohan yang dipoles dengan teknologi.
Ibu adalah madrasah pertama, sebagaimana dikatakan oleh penyair Arab, “Al-ummu madrasatun idzâ a’dadtahâ a’dadta sya’ban thayyibal a’râq.” Ibu adalah sekolah pertama—jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau telah menyiapkan generasi yang kokoh akhlaknya. Tapi bagaimana jadinya jika sekolah itu dibiarkan sepi? Jika anak tak lagi mau belajar dari ibunya sendiri?
Baca Juga: Istri Salehah, Suami Lalai
Ketika ilmu ditinggalkan, cinta pun menjadi kering. Sebab cinta sejati tumbuh dari pemahaman, bukan sekadar perasaan. Seorang anak yang berilmu akan mencintai ibunya dengan penuh kesadaran—menyadari betapa besar pengorbanan, betapa tulus kasih sayang. Tapi tanpa ilmu, cinta anak mudah pudar, digantikan ego dan gengsi. Maka ibu pun perlahan menutup mulut, bukan karena tak punya kata, tapi karena setiap katanya tak lagi bermakna bagi dunia yang tuli terhadap kebijaksanaan.
Wahai anak muda, jangan biarkan hatimu keras terhadap ilmu dan nasihat. Karena di setiap nasihat ibu, tersimpan doa yang tak pernah padam. Di setiap diamnya, ada luka yang tak terucap. Pulanglah kepada ilmu, agar hatimu lembut kembali. Kembalilah mencintai Al-Qur’an, agar cahaya kembali ke rumahmu. Jangan biarkan ibu menjadi bisu karena engkau berhenti belajar.
Dan wahai para ibu, jangan berhenti menanam ilmu walau dunia tampak acuh. Sebab ilmu yang ditanam dengan ikhlas akan tumbuh menjadi amal jariyah yang tak terputus. Tetaplah ajarkan kebaikan, meski tak semua anak mendengarkan. Karena Allah mencatat setiap butir kesabaranmu sebagai cahaya yang akan menerangi langkahmu di akhirat kelak.
Ilmu adalah warisan paling berharga, bukan harta, bukan jabatan. Sebab harta bisa habis, jabatan bisa hilang, tapi ilmu yang bermanfaat akan terus hidup bahkan setelah jasad tiada. Maka, selama napas masih berhembus, mari kita hidupkan kembali cinta kepada ilmu—agar hati para ibu tak lagi bisu, agar rumah kembali bercahaya, dan agar generasi kita tak kehilangan arah.
Baca Juga: Sahabat Muslimah, Ini yang Wajib Kamu Persiapkan Saat Ta’aruf
Sebab di saat ilmu ditinggalkan, bukan hanya hati ibu yang bisu—tapi masa depan pun ikut kehilangan suaranya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Patriarki di Meja Makan
















Mina Indonesia
Mina Arabic