Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat Pacaran Jadi “Tren”, Nikah Jadi “Beban”

Bahron Ansori Editor : Rudi Hendrik - 13 detik yang lalu

13 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi: seorang pria menyatakan cintanya kepada seorang muslimah. (Gambar: Dreamina)

HARI ini kita hidup di zaman yang penuh ironi. Fenomena yang banyak terlihat di media sosial dan lingkungan sekitar adalah pacaran dianggap keren, wajar, bahkan sebuah “keharusan” sebelum menikah. Sementara pernikahan—yang sejatinya adalah ibadah agung—justru dianggap momok, beban, dan sesuatu yang menakutkan. Inilah penyakit zaman yang harus segera disembuhkan.

Pacaran dibungkus dengan istilah manis: relationship goals, healing bareng, pasangan impian. Orang yang pacaran seolah terlihat modern, gaul, dan tidak ketinggalan zaman. Padahal, hakikat pacaran adalah jalan menuju zina, sesuatu yang jelas-jelas diharamkan. Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’: 32).

Pacaran ibarat racun berbalut madu. Awalnya manis, penuh perhatian, janji indah, dan kasih sayang semu. Namun seringkali berakhir dengan luka, aib, dan penyesalan. Banyak pasangan yang pacaran bertahun-tahun, akhirnya putus tanpa ikatan. Waktu habis, kehormatan hilang, hati pun tersayat. Inilah “tren” yang sebenarnya merugikan.

Sebaliknya, pernikahan justru sering ditakuti. Padahal pernikahan adalah pintu menuju keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari & Muslim). Artinya, menikah bukan sekadar formalitas, melainkan benteng diri dari dosa.

Baca Juga: Suara dari Jalanan Florence: Truk Kesadaran Palestina dan Pergulatan Solidaritas di Eropa

Pernikahan membawa ketenangan (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan rahmat (rahmah). Dari pernikahan lahir generasi baru yang membawa kebaikan. Menunda-nunda nikah tanpa alasan syar’i seringkali justru membuka pintu maksiat. Celakanya, banyak pemuda merasa siap pacaran, tapi selalu merasa belum siap menikah.

Mengapa menikah dianggap beban? Pertama, karena standar dunia terlalu tinggi: mahar harus mahal, pesta harus mewah, rumah dan mobil harus ada. Kedua, budaya hedonis mengajarkan “foya-foya dulu, nikah nanti”. Ketiga, banyak yang takut tanggung jawab, padahal tanggung jawab itu bagian dari kedewasaan. Keempat, media sosial sering menampilkan sisi gelap rumah tangga, sehingga pernikahan terlihat menyeramkan.

Padahal semua itu hanyalah tipuan setan. Setan menjadikan pacaran terlihat indah, sementara pernikahan terlihat berat. Padahal kebenarannya justru sebaliknya: pacaran itu jalan sempit penuh duri, pernikahan itu jalan lapang penuh berkah.

Rasulullah SAW sudah memperingatkan, “Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi). Lihatlah, ketika nikah dipersulit, fitnah pun meluas: zina, perselingkuhan, perceraian, hingga generasi yang rapuh.

Baca Juga: 6 Kesalahan Fatal Da’i Era AI

Fenomena sekarang membuktikan sabda Nabi itu. Zina dijadikan konten podcast, perselingkuhan jadi bahan gosip, perceraian dianggap biasa. Semua bermula dari pola pikir salah: pacaran boleh, nikah nanti saja. Bukankah ini bentuk kerusakan yang nyata?

Maka, solusi pertama adalah meluruskan niat. Nikah bukan untuk gengsi, bukan untuk pamer, melainkan untuk ibadah. Kedua, permudah proses. Jangan jadikan mahar dan pesta penghalang, karena yang menentukan keberkahan bukan kemewahan, tapi ridha Allah. Ketiga, persiapkan diri dengan ilmu. Suami dan istri punya hak dan kewajiban, dan ilmu adalah bekal untuk menunaikannya.

Solusi keempat adalah memperkuat iman. Jangan takut miskin karena menikah. Allah berfirman, “Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (Qs. An-Nur: 32). Rezeki itu datang bersama tanggung jawab. Justru menikah membuka pintu rezeki, bukan menutupnya.

Mari kita bandingkan: pasangan yang pacaran sering resah, curiga, dan penuh drama. Tidak ada ketenangan, karena hubungan itu berdiri di atas dosa. Sedangkan pasangan menikah, meski sederhana, hatinya tenang. Karena mereka berada dalam ridha Allah. Ketenangan inilah yang tidak bisa dibeli dengan apapun.

Baca Juga: Fenomena Muslim Abangan: Cinta Budaya, Lupa Syariat

Bagi pemuda pemudi muslim, jangan takut menikah. Jangan terjebak dalam ilusi “hidup bebas lebih indah”. Bebas dari tanggung jawab bukanlah kebahagiaan, melainkan jerat setan. Kebahagiaan sejati ada pada pernikahan yang halal, penuh berkah, dan diridhai Allah.

Menikah itu bukan beban, tapi solusi. Bukan penghalang kebahagiaan, melainkan jalan menuju ketenteraman. Jangan tunggu sempurna baru menikah, karena justru pernikahanlah yang menyempurnakan hidup kita. Rasulullah SAW bersabda,“Jika seorang hamba menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi).

Pacaran hanyalah fatamorgana kebahagiaan. Nikah adalah kenyataan keberkahan. Jangan terbalik memahami hidup. Jadikan pernikahan sebagai langkah mulia, bukan beban. Dengan menikah, kita menjaga diri, membangun keluarga, dan menguatkan umat.

Maka wahai pemuda, pilihlah jalan Allah. Jangan biarkan tren menipu kita. Jangan biarkan pacaran menggerogoti masa muda, sementara pernikahan kita abaikan. Ingatlah, setiap pilihan ada hisabnya. Pilih jalan halal, agar hidup kita penuh berkah hingga akhirat.[]

Baca Juga: Awal Kebinasaan: Merasa Diri Tanpa Cacat

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Kolom
Khadijah
Kolom