Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Tahun baru Januari, saat yang biasanya identik dengan kembang api, parade kendaraan, hingga petasan dan kegembiraan. Namun kali ini awal 2016, justru bombardir serangan udara Koalisi Arab yang menyasar sejumlah fasilitas umum dan tempat warga berteduh.
Ada masjid, sekolah, pasar, aula pernikahan hingga pusat rehabilitasi tunanetra di ibukota Shana’a pun menjadi sasaran bom.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Khusus tempat terakhir ini, tempat warga tunanetra belajar, seorang pejabat keamanan setempat menyebutkan, setidaknya tiga orang warga tunanetra (buta) terluka di Pusat Perawatan dan Rehabilitasi Tunanetra Al-Noor Center, Shana’a.
Tayangan foto-foto yang diterbitkan oleh International Business Times, menunjukkan gambar bangunan hancur, atap runtuh, dan seorang pemuda menangis di jalanan.
Seorang juru bicara UNICEF di Shana’a mengatakan kepada wartawan bahwa Al-Noor Center adalah lembaga yang mengelola kelas khusus untuk para pelajar yang mengalami cacat tunanetra.
Namun, kini mereka bukan hanya cacat buta matanya, tapi juga menjadi cacat anggota tubuh lainnya, oleh serangan yang membabi buta.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Bagi mereka yang hidup di tanah sendiri, dengan kedua mata yang tak dapat melihat indahnya dunia, skala kekerasan serangan udara yang terus berlangsung dan menghantam tempat mereka menimba ilmu, ikut merusakkan pikiran mereka.
“Penyandang cacat dilanda serangan di tempat tinggal mereka,” kata Abdullah Ahmed Banyan, seorang penyandang cacat tunanetra.
“Ini kriminalitas apakah?” Bayan mempertanyakan, yang menggambarkan dua rudal menghantam bangunan.
“Apakah mereka yang katanya berjuang dalam perang itu sudah buta?”
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Jeritan Anak Buta
Jeritan dan protes seorang anak buta di pusat rehabilitasi pun tak kuasa menyuarakan pilunya peperangan, yang menghantam warga tak berdosa dan tak terlibat dalam konflik politik apapun. Yaitu dirinya dan teman-temannya yang mengalami kebutaan mata (tapi tidak kebutaan hati).
Saat serangan bom pada 5 Januari 2016 lalu, sekitar pukul 01.00 dini hari, saat puluhan anak-anak tunanetra berbaring tidur di asrama sekolah mereka di ibukota Yaman. Terdengar suara mnderu dengan sangat jelas dari sebuah pesawat di angkasa. Lalu diikuti oleh kilatan api anti-pesawat, yang menerobos atap bangunan tiga lantai bangunan, menerjang pintu dan jendela di Pusat Perawatan dan Rehabilitasi Tunanetra Al-Noor Shana’a.
“Saya mendengar suara dan tangisan anak-anak dari bangunan dalam bangunan,” ujar Saleh al-Matari (27 tahun), yang bekerja di Al-Noor. Kepada Human Rights Watch, seorang anggita staf lainnya, Sinan Hulboob (33 tahun) berujar, “Jendela hancur di kamarku hancur, dan beberapa pecahan jendela mendarat tepat di dada saya dan mencederai kaki saya,” kata yang lain
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Manajer Al-Noor, Jameel al-Himyari, segera melajukan kendaraannya dari rumahnya, begitu mendengar informasi kantornya dibom.
Dia mengatakan kepada The World Post bahwa pada awalnya anak-anak tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Ketika pertama kali bom berdentum, anak-anak pikir suara tembakan di tempat yang jauh. Mereka tidak menyadari bahwa ternyata bom itu menghantam tempatnya,” katanya.
Staf pun bergegas untuk mengevakuasi anak-anak, dan mereka semua berlindung di sebuah masjid di dekatnya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Anak-anak mengalami beberapa masalah, terutama trauma dan umumnya sangat takut,” kata al-Himyari.
Kecaman
Shantha Rau Barriga, Direktur Hak Penyandang Cacat, mengatakan dalam sebuah pernyataan setelah bom melanda al-Noor Center, bahwa serangan menyebabkan sudah tidak ada lagi hak warga sipil untuk hidup dengan aman di Yaman.
“Setelah serangan udara koalisi Arab menghantam rumah warga, rumah sakit, pasar, dan sekarang sekolah bagi penyandang cacat mata. Sehingga jelas bahwa tidak ada warga sipil Yaman yang hidup aman lagi,” ujarnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sebelumnya, serangan berbahaya juga dihadapi warga sipil, ketika anak-anak berjalan pulang dari sekolah di kota Taiz. Tiba-tiba dihantam serangan udara ketika mereka melewati tangki militer, menurut lembaga kemanusiaan Doctors Without Borders (Para dokter tanpa batas), yang berada di wilayah pada saat itu. Korban sipil pun bergelimpangan, sepuluh anak-anak dan guru tewas dalam ledakan, sementara dua gadis terluka parah.
Apalah jadinya, jika warga cacat saja sudah mengalami nasibnya harus dihantam derita di negeri miskin itu.
“Yaman adalah negara termiskin di kawasan itu, dengan keterbatasan untuk program mendukung orang-orang cacat, dan tidak ada badan pemerintah tunggal yang bersedia untuk mengambil tanggung jawab untuk program tersebut,” Wille, peneliti Human Rights Watch, mengatakan.
Sekarang, mereka sangat rentan akibat perang berkecamuk di sekitar mereka, ujarnya pula.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Beberapa orang cacat lainnya, yang bergantung pada kursi roda telah mampu mengungsi ke daerah yang aman. Sementara akses perawatan medis sangat sulit didapatkan. Ribuan warga kini terluka di tengah kekurangan obat-obatan dan sekitar 100 fasilitas kesehatan hancur.
Saat para tunanetra, orang-orang yang buta matanya karena cacat fisik dihantam bom. Manakah lagi jiwa-jiwa manusia yang beradab. Telah butalah hati mereka demi ambisi perang politik kekuasaan yang tak memperdulikan warga tak berdosa. Astaghfrullaah. (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara