Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat Sekolah Jadi “Pabrik” Kebobrokan Akhlak

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 40 detik yang lalu

40 detik yang lalu

0 Views

Ketika sekolah tak lagi melahirkan manusia-manusia berakhlak. (Foto: ig)

SEKOLAH seharusnya menjadi taman ilmu, tempat tumbuhnya karakter dan akhlak mulia. Namun hari ini, banyak sekolah justru menjelma menjadi “pabrik” yang memproduksi generasi tanpa arah. Dinding-dinding kelas yang dulu suci dengan lantunan doa, kini sering menjadi saksi bisu kebobrokan moral yang kian memprihatinkan. Kita membaca berita dengan hati teriris: pelajar SMP yang hamil di luar nikah, siswa SMA yang tertangkap berzina, bahkan kasus “kumpul kebo” yang melibatkan anak-anak usia belasan. Sungguh, ini bukan sekadar kesalahan individu. Ini adalah alarm keras bagi dunia pendidikan kita — bahwa ada yang sangat keliru dalam sistem, arah, dan ruh pendidikan zaman ini.

Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sepanjang tahun 2024 terjadi 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan — meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2023. Ironisnya, 60 persen kasus tersebut terjadi di sekolah, dan 42 persennya merupakan kekerasan seksual yang korbannya mayoritas pelajar perempuan. Di sisi lain, Indeks Integritas Pendidikan 2024 yang dirilis KPK juga merosot ke angka 69,5 (turun dari 73,7 pada 2023). Survei itu menunjukkan bahwa sekitar 78% sekolah masih membiarkan praktik menyontek. Semua ini menggambarkan betapa pendidikan kita bukan hanya kehilangan arah moral, tetapi juga kehilangan ruh kejujuran yang menjadi dasar keberkahan ilmu.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat pembentukan jiwa, melainkan sekadar mesin pencetak nilai. Para siswa diajari rumus matematika, tetapi lupa diajari rumus kehidupan. Mereka pandai berhitung, tetapi tak pandai menahan hawa nafsu. Mereka hafal teori evolusi, tapi tak tahu bagaimana manusia bisa jatuh serendah binatang ketika kehilangan iman. Di ruang kelas, pelajaran agama hanya menjadi formalitas. Sementara di luar, gawai, media sosial, dan budaya bebas menjadi guru yang lebih berkuasa. Hasilnya: generasi muda yang kehilangan arah, kehilangan malu, kehilangan Allah.

Fakta di lapangan pun memperlihatkan wajah pendidikan yang kian muram. Di Karawang, seorang siswi kelas 9 SMP hamil karena diperkosa tiga pemuda — namun ironisnya, pihak sekolah justru meminta ia mengundurkan diri. Di Cianjur, seorang siswi SMA menjalani tes kehamilan di sekolah, dan video itu viral di media sosial. Data dari KemenPPPA juga menyebutkan hingga Januari 2024 terdapat 342 kasus kekerasan di jenjang SMA/SMK, 299 kasus di SMP, dan 235 kasus di SD. Bahkan di Jawa Barat, tercatat 1.971 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2024, sebagian besar terjadi di lingkungan pendidikan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik — ia adalah jerit nurani anak bangsa yang kehilangan pelindung di tempat yang seharusnya aman: sekolah.

Baca Juga: Urgensi Kegiatan Jurnalistik bagi Pelajar

Betapa ironis, sekolah yang dulu menjadi rumah kedua, kini menjadi ladang ujian bagi moral bangsa. Guru yang seharusnya menjadi teladan, kadang justru bungkam di hadapan kebobrokan. Sebab yang lebih diprioritaskan bukan lagi akhlak, tapi akreditasi. Yang lebih dipuji bukan lagi ketulusan mendidik, tapi prestasi akademik. Anak-anak didorong untuk juara olimpiade, tapi tidak diajak menang melawan syahwat. Mereka diajarkan tentang kompetisi global, tapi tidak pernah disadarkan tentang pengawasan Tuhan yang Maha Melihat.

Di balik setiap kasus yang mencoreng dunia pendidikan, sesungguhnya ada jerit nurani yang tak terdengar. Anak-anak kita haus akan kasih sayang, tapi rumah dan sekolah sering hanya menjejali mereka dengan aturan tanpa sentuhan. Mereka ingin didengar, tapi orang dewasa sibuk dengan gawai dan ambisi. Mereka mencari tempat bersandar, tapi menemukan kehampaan. Maka ketika godaan datang dalam bentuk perhatian palsu, mereka mudah terseret. Karena hati yang kosong, mudah diisi oleh siapa pun — bahkan oleh kegelapan.

Pendidikan seharusnya membentuk insan kamil — manusia paripurna yang seimbang antara akal, hati, dan iman. Tapi apa yang kita lihat sekarang? Pendidikan hanya sibuk membangun akal tanpa menyentuh hati. Akhlak dijadikan pelajaran tambahan, bukan pondasi utama. Kita lupa, Nabi Muhammad ﷺ tidak diutus untuk mengajarkan sains, tapi li utammima makarimal akhlaq — untuk menyempurnakan akhlak manusia. Jika pendidikan tak lagi berakar pada misi kenabian ini, maka lahirlah generasi yang cerdas secara intelektual tapi rusak secara moral.

Mirisnya, kebobrokan ini banyak terjadi pada level SMP dan SMA — masa di mana remaja sedang mencari jati diri. Di usia itulah mereka seharusnya dipeluk oleh nilai-nilai iman, bukan dilepaskan dalam kebebasan yang menyesatkan. Sekolah semestinya menjadi benteng pertama, bukan ladang percobaan dosa. Guru harus menjadi pelita yang menuntun, bukan hanya penjaga absen dan nilai ujian. Pendidikan karakter tak bisa hanya ditulis dalam kurikulum — ia harus hidup dalam teladan, dalam budaya sekolah, dalam napas harian yang penuh keteladanan.

Baca Juga: Pendidikan Prenatal dalam Al-Qur’an, Refleksi dari Kisah Keluarga Imran

Kita perlu bertanya dengan jujur: untuk apa sekolah ada, jika akhirnya tak mampu melahirkan manusia yang bermoral? Untuk apa nilai sempurna di rapor, jika hati para siswa retak oleh dosa? Untuk apa seragam rapi, jika akhlak mereka berantakan? Sekolah seharusnya bukan tempat mengejar ijazah, melainkan tempat menemukan makna kehidupan. Ia bukan sekadar ruang belajar, tapi ruang penyucian jiwa.

Kita membutuhkan revolusi akhlak di sekolah-sekolah. Kurikulum perlu disinari kembali oleh cahaya iman. Setiap guru perlu diingatkan bahwa profesinya bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik — murabbi, yang menanamkan adab sebelum ilmu. Setiap siswa harus diajari bahwa kehormatan diri lebih mulia daripada kenikmatan sesaat. Dan setiap orang tua harus sadar bahwa pendidikan sejati dimulai dari rumah. Karena jika rumah dan sekolah sama-sama lalai, maka generasi akan tumbuh tanpa akar.

Sekolah yang sejati adalah yang mampu menanamkan takut kepada Allah sebelum menanamkan takut pada ujian. Sekolah yang sejati adalah yang mengajarkan malu berbuat dosa sebelum malu mendapat nilai jelek. Sekolah yang sejati adalah yang membuat siswanya mengenal makna sujud, bukan hanya makna sukses.

Kini saatnya kita berhenti memuja kecerdasan tanpa iman. Sebab bangsa yang besar bukan dibangun oleh otak-otak cemerlang, tetapi oleh hati-hati yang bersih. Jika sekolah terus membiarkan akhlak muridnya hancur, maka sejatinya ia sedang menggali lubang kehancuran bangsa sendiri. Mari luruskan kembali fungsi sekolah: bukan sebagai pabrik ijazah, tapi sebagai ladang pembibitan manusia beriman, berilmu, dan berakhlak.

Baca Juga: Wamenag Ajak Pengusaha Bersinergi dengan Pesantren

Dan ketika sekolah kembali menjadi rumah bagi akhlak, maka bangsa ini akan kembali memiliki harapan. Sebab masa depan tidak ditentukan oleh berapa banyak sekolah yang dibangun, tapi oleh seberapa banyak akhlak yang ditumbuhkan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ketika Ilmu Tak Lagi Mendidik: Potret Gelap Pendidikan di Akhir Zaman

Rekomendasi untuk Anda