Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Tak lama lagi, Tamu Agung itu akan pergi meninggalkan kita… Tak lama lagi, semua amal ibadah akan dibalas dengan balasan yang tidak lagi berlipatganda selayaknya saat Tamu Aguang itu ada.
Tak lama lagi, Tamu Agung (Ramadhan) itu akan pergi meninggalkan kita… Selama Ramadhan ada bersama kita, bagaimana cara kita memperlakukannya?
Di antara kita, ada yang bersungguh-sungguh mengisi malamnya dengan kekhusyu’an amal ibadah. Namun, di antara kita ada sebagian yang ketika Tamu Agung itu hadir, perasaannya biasa-biasa saja. Entahlah, apa mungkin karena tamu itu sudah dianggap biasa datangnya setiap tahun, sehingga saat berjumpa dengannya hati menjadi biasa. Tidak lagi ada sensifitas di sana.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Khawatir saja, jangan-jangan saat kita menganggap biasa Tamu Agung itu, ternyata tamu itu membawa segudang keberkahan.
Khawatir saja, jangan-jangan karena kita sudah biasa didatangi Ramadhan, lalu saat ia pergi, kita tak sempat meningkatkan kinerja amal ibadah kita. Pada akhirnya, kita akan merasakan penyesalan yang mendalam sebab tamu itu tidak diperlakukan dengan baik.
Cobalah renungkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang betapa meruginya orang-orang yang saat Ramadhan itu ada bersama mereka, namun mereka tidak mendapatkan ampunan dari Allah, Rabb semesta alam. “Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang disebutkanku, lalu dia tidak bershalawat atasku. Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya). Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang mendapati kedua orangtuanya lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi).
Sungguh, menakutkan sekali sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di atas bagi orang-orang yang masih memiliki iman di hatinya. Bagaimana tidak, Ramadhan itu adanya hanya setahun sekali. Di dalamnya ada berjuta keberkahan, kebaikan, rahmat dan ampunan. Namun, kita sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih saja ada yang belum bisa merasakan betapa Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sebagian kita (seperti disebut di atas), saat Ramadhan tiba, tidak tampak kebahagiaan terpancar di wajah. Ramadhan seolah-olah sama seperti bulan-bulan lainnya. Ramadhan tak ubahnya sebuah urutan dari bulan-bulan Hijriyah yang setelahnya adalah bulan Syawwal (saatnya lebaran).
Maka tak heran, bagi sebagian kita, Ramadhan yang satu ke Ramadhan yang lain tak mampu mengubah hidup untuk menjadi lebih baik. Persis seperti pepatah yang mengatakan, “Mati segan hidup tak mau.” Padahal sejatinya, Ramadhan adalah momen yang bisa menjadikan seseorang berubah. Ya, berubah menjadi manusia yang penuh dengan kualitas dalam semua bidang.
Namun, bagi mereka yang menjalankan Ramadhan dengan penuh rasa cinta dan keimanan yang sempurna kepada Rabbnya, maka efek positifnya akan terasa selepas Ramadhan itu berlalu. Wajar jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa berpuasa karena iman dan ikhlas, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
Kalimat di atas adalah kutipan dari hadits Abu Hurairah di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
”Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya puasa dan ganjaran dari Allah ketika seseorang berpuasa dan melaksanakan qiyam ramadhan. Sedangkan yang dimaksud “ihtisaban” adalah menginginkan pahala Allah dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap wajah-Nya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 7: 22). Intinya, puasa yang dilandasi iman dan ikhlas itulah yang menuai balasan pengampunan dosa yang telah lalu.
Salah seorang ulama di kota Riyadh, Syaikh ‘Ali bin Yahya Al Haddady hafizhohullah memberikan faedah tentang hadits di atas; pertama, amalan yang dilakukan seseorang tidaklah manfaat sampai ia beriman kepada Allah dan mengharapkan pahala dari Allah (baca: ikhlas). Jika seseorang melakukan amalan tanpa ada dasar iman seperti kelakuan orang munafik atau ia melakukannya dalam rangka riya’ (ingin dilihat orang lain) atau sum’ah (ingin didengar orang lain) sebagaimana orang yang riya’, maka yang diperoleh adalah rasa capek dan lelah saja. Kita berlindungi pada Allah dari yang demikian.
Kedua, sebagaimana orang yang beramal akan mendapatkan pahala dan ganjaran, maka merupakan karunia Allah ia pun mendapatkan anugerah pengampunan dosa -selama ia menjauhi dosa besar-.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Ketiga, keutamaan puasa Ramadhan bagi orang yang berpuasa dengan jujur dan ikhlas adalah ia akan memperoleh pengampunan dosa yang telah lalu sebagai tambahan dari pahala besar yang tak hingga yang ia peroleh.
Sahabat, detik-detik kepergian Tamu Agung itu akan segera datang. Mari maksimal dan manfaatkan dengan perbanyak memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas segala dosa dan maksiat yang kita lakukan. Mari perbanyak istighfar, muhasabah dan memohon hidayah kepada-Nya agar langkah hidup kita senantiasa diberkahi-Nya. Selipkanlah satu doa kepada-Nya agar diberi usia yang panjang dan diberkahi agar kelak bisa bertemu dengan Tamu Agung (Ramadhan) di tahun-tahun mendatang, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa