Sabar Dalam Ibadah Kepada Allah

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَہُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَـٰدَتِهِۦ‌ۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُ ۥ سَمِيًّ۬ا

Artinya, “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?’’ (Q.S. Maryam [19] ayat 65).

Ada kalanya kita sebagai hamba Allah yang tujuan utamanya diciptakan adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya, mengalami masa-masa merasa berat untuk beribadah. Bahkan, untuk melaksanakan shalat dua rakaat saja serasa berat, atau ketika baru mendapatkan satu rakaat shalat sudah serasa begitu lama menunggu selesainya shalat.

Atau saat melaksanakan ibadah yang lain, seperti puasa, jadi panitia santunan orang miskin, menjalankan amanat, mengajarkan baca Al-Quran, dan sebagainya.

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga macam, yaitu kesabaran dalam ketaatan, meninggalkan maksiat, serta menghadapi musibah dan takdir Allah yang tidak disukai.

Sebagian ulama lagi menegaskan, jenis yang paling tinggi adalah sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Sebab, ketaatan itu lebih utama dari meninggalkan maksiat.

Memunculkan kesabaran di saat beribadah kepada Allah sangat penting bagi seorang hamba. Jika tidak, justeru sangat rawan terciptanya dosa dan kelemahan bagi individu ataupun skala kelompok.

Seorang Muslim jika tidak sabar dalam shalatnya, maka yang terjadi adalah ketidakkhusyuan. Di posisi yang lain justru bisa merugikan orang lain. Jika melaksanakan ibadahnya secara berjamaah, dari ketidaksabaran satu individu, akan menimbulkan masalah bagi jamaah (kelompok) seluruhnya.

Musibah Besar di Perang Uhud

Contoh masyhur dari ketidaksabaran dalam beribadah kepada Allah atau dalam ketaatan adalah peristiwa besar Perang Uhud di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Awal pertempuran berjalan baik. Pasukan Quraisy dapat dipukul mundur oleh pasukan pemanah Muslim dari atas bukit. Pasukan Quraisy banyak yang berjatuhan, mereka kemudian mundur dengan meninggalkan tunggangan serta barang bawaan mereka. Kondisi ini dilihat sebagian pasukan Muslim sebagai kemenangan yang jelas, serta rampasan perang telah membuat mereka tergiur. Kondisi itu membuat sekitar 40 orang pemanah yang telah diamanatkan untuk tetap diposnya di atas bukit, jadi tergiur oleh harta rampasan dan turun meninggalkan posisinya, padahal belum ada perintah.

Khalid ibnu Walid yang kala itu belum memeluk Islam, setelah menyaksikan pergerakan pasukan pemanah Muslim, segera mengomandoi pasukannya menaiki bukit dan menyerang pasukan Muslim dari situ. Serangan balik yang tak terduga itu menimbulkan keterceraian serta kekalutan. Sebagian pasukan Muslim masih memberikan perlawanan, tapi tak tentu akan bergerak ke mana.

Buah dari ketidakpatuhan pasukan pemanah ini menyebabkan pasukan Nabi Muhammad harus mundur. Tujuh puluh sahabat gugur, sedangkan dari pasukan Quraisy hanya 20 orang. Kerugian lainnya adalah terjatuhnya Nabi yang menyebabkan pipinya terluka oleh rantai dari penutup kepalanya sendiri, giginya pun tanggal satu. Beruntung beberapa sahabat sigap segera memapah beliau ke atas kuda agar dapat menyelamatkan diri.

Ketidaksabaran para pemanah menciptakan kondisi yang sangat berbahaya bagi Rasulullah dan seluruh pasukan.

Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّہُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُ ۥ‌ۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡہُمۡ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُ ۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَٮٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُ ۥ فُرُطً۬ا

Artinya, “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi [18] ayat 28).

Sabar dalam ketaatan mencakup sabar sebelum melakukan ketaatan dengan meluruskan niat untuk ikhlas hanya karena Allah, sabar ketika melakukan ketaatan adalah melakukannya dengan terbaik sesuai tuntunan Rasulullah, dan bersabar setelah melakukan ketaatan dengan tidak bersikap ujub membanggakan ibadah yang telah dilakukan karena belum tentu diterima Allah.

Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa seorang Muslim memerlukan kebersamaan dengan Muslim yang lainnya yang selalu beribadah dan menyeru Rabb-nya pagi dan senja.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Artinya, “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman.” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Shahih).

Kisah Kakek 90 Tahun

Imam Syafi’i bercerita bahwa di Madinah ia melihat empat hal aneh, salah satunya adalah seorang kakek berumur 90 tahun yang sepanjang hari berjalan tanpa alas kaki mengunjungi para penyanyi wanita untuk belajar bernyanyi.

Namun, ketika datang waktu salat, ia salat dengan cara duduk.

“Hal ini menunjukkan betapa beratnya itu bagi mereka yang tidak diberikan taufik oleh Allah,” kata Imam Syafi’i.

Betapa banyak seorang Muslim yang lebih bersabar melakukan maksiat daripada bersabar dalam beribadah kepada Allah.

Agar dapat bersabar dalam beribadah, Allah memerintahkan kita selalu bersama, bersahabat, dan mencari teman yang taat beribadah.

Semoga kita termasuk yang diberi taufik oleh Allah sehingga mampu bersabar di saat beribadah kepada-Nya.

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

(P001/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.