Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior MINA
Warga Palestina selalu memperingati tragedi Sabra Shatila, peristiwa pembantaian berdarah oleh Zionis Israel. Peringatan untuk terus mengobarkan semangat perjuangan pembebasan dan perlawanan terhadap penjajahan.
Sejarah kelam itu tertulis pada tanggal 16 September 1982 atau 37 tahun lalu, saat pasukan penjajah Zionis Israel di bawah komando Menteri Pertahanan waktu itu, Ariel Sharon, membantai sekitar 3.500-8.000 warga sipil tak berdosa di Kamp Pengungsi Sabra-Shatila Beirut Barat, Lebanon.
Pembantaian berlangsung selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 16 hingga 18 September 1982. Warga sipil terdiri dari anak-anak, bayi, wanita, dan orang tua dibantai dan dibunuh secara mengerikan.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Ribuan warga, bukan hanya mereka yang berkebangsaan Palestina. Namun juga ada yang warga Lebanon, Suriah, Iran, Bangladesh, Turki, Irak, Mesir, Aljazair, dan Pakistan ikut menjadi korban kebiadaban.
Si Tukang Jagal Ariel Sharon dan kepala stafnya, Rafael Etan, beserta pasukan bersenjata lengkap mengepung kamp pengungsi Sabra-Shatilla. Lalu bersama milisi Angkatan Lebanon Kristen di bawah komando Elie Hobeika menyerang, membunuh dan membantai ribuan pengungsi yang tidak bersalah dan tak bersenjata apapun.
Wartawan Inggris Robert Fisk, yang mengunjungi kamp Shatila pada Sabtu pagi, 18 September 1982 kala itu, menggambarkannya sebagai “tindakan terorisme paling mengerikan dalam sejarah Timur Tengah modern.” Sementara lainnya, Amnon Kapliuk menggambarkannya dalam penyelidikan sebagai “pembantaian paling kejam dan mengerikan sejak Perang Dunia II.”
Sabra adalah nama sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Lebanon, bersebelahan dengan kawasan kamp pengungsi Shatila.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Shatila merupakan nama kawasan pengungsi yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA (The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East ).
Kamp Pengungsi Shatila dibangun untuk para pengungsi Palestina sejak 1949. Selama bertahun-tahun, penduduk dari kedua wilayah tersebut berbaur menyatu, sehingga biasa disebut dengan “Kamp Sabra-Shatila”.
Organisasi Pembebasan Palestina PLO (The Palestine Liberation Organization), waktu itu memang menggunakan Lebanon bagian selatan sebagai pangkalan untuk melawan Zionis Israel. Sehingga pasukan Zionis Israel mengklaim bahwa pembantaian itu dilakukan untuk mencari pejuang Palestina, yang mereka klaim berada di kamp Sabra-Shatila.
Padahal sesungguhnya kelompok pejuang tidak berada di tempat itu. Bagaimana mungkin pembantaian tanpa ada perlawanan bersenjata, karena memang di kamp pengungsian itu hanyalah anak-anak, perempuan, dan para orang tua.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Setelah pembantaian tersebut, alih-alih untuk menangkal kecaman dunia, Mahkamah Agung Israel membentuk Komisi Cahan untuk menyelidiki kejahatan terhadap ribuan pengungsi tersebut.
Namun apa hasilnya? Pada tahun 1983, Komisi Cahan mengumumkan hasil penyelidikan atas pembantaian tersebut dan memutuskan bahwa Ariel Sharon tidak langsung bertanggung jawab atas peristiwa itu. Maka, Sharon pun melanjutkan karier politiknya, menjadi Perdana Menteri Israel (7 Maret 2001 hingga 14 April 2006).
Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh (sementara) Ehud Olmert, karena Sharon terkena serangan stroke pada Januari 2006. Sejak itu, ia pun mengalami koma secara permanen selama delapan tahun, hidup tidak matipun belum.
Sharon sekarat selama lebih dari 96 bulan atau lebih dari 2.920 hari. Hingga dinyatakan mati pada 11 Januari 2014 (85 tahun).
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Nasib tidak kalah pahitnya dialami kepala staf Sharon waktu itu, Rafael Etan. Jenderal Angkatan Pertahanan Israel kelahiran 11 Januari 1929 itu tewas di Laut Tengah atau disebut juga dengan Laut Mediterania.
Etan, waktu itu 23 November 2004 (usia 75 tahun), dari Pelabuhan Ashdod, bermaksud bertamasya melihat-lihat proyek perluasan pelabuhan di wilayah jajahan Zionis Israel.
Saat ia berada di pelabuhan, tiba-tiba saja ombak besar Laut Tengah menariknya ke tengah laut, dan ia pun dinyatakan hilang di laut selama berjam-jam. Kemudian jasadnya ditemukan oleh Angkatan Laut Israel, dalam keadaan mengenaskan.
Nasib serupa menimpa Elie Hobeika (kelahiran 1956), komandan Angkatan Kristen Lebanon. Walaupun ia pernah secara ironis terpilih sebagai anggota parlemen Lebanon tahun 1990-an. Namun akhir hidupnya sungguh mengenaskan.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Pada 24 Januari 2002, Elie Hobeika bersama pemandunya, tewas terbunuh oleh ledakan bom mobil di Beirut, Lebanon. Seberat 22 pon bom jenis TNT (Tri Nitro Toluena) diletakkan dalam mobil sedan berdekatan dengan mobil Hobeika. Sebanyak empat tangki oksigen dalam mobil Hobeika memperkuat lagi ledakan
Api Sabra Shatila
Ada kata-kata penting dari sambutan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada peringatan Sabra-Shatila. Yaitu, bahwa bangsa Palestina berjuang keras siang dan malam dengan seluruh energi yang ada, dan dengan mengakhiri perpecahan.
Abbas mengatakan, peringatan Sabra-Shatila, menunjukkan betapa pengorbanan orang-orang terdahulu, akan terus dilanjutkan dalam perjuangan Palestina, sampai memperoleh hak-haknya secara sah dan penuh.
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Perjuangan itu tentu akan terus berlanjut, dengan kekuatan rekonsiliasi bersatunya Hamas-Fatah, serta dukungan seluruh kaum muslimin sedunia. Tentu memberikan dorongan kuat menuju kemerdekaan Negara Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Patut pula menjadi catatan, apa yang dikatakan Kolumnis Palestina, Dr. Sri al-Qudwah, bahwa tragedi Sabra-Shatila merupakan pembantaian terburuk dalam sejarah manusia yang pernah dikenal.
Namun, menurutnya, walaupun demikian, itu juga merupakan hari ketabahan luar biasa bangsa Palestina saat itu. Sama seperti ketabahan warga Gaza saat serangan Zionis Israel berkali-kali. Juga ketabahan warga di kawasan Al-Quds yang tidak leluasa shalat di Masjid Al-Aqsha, juga warga Hebron dan Nablus yang terus mengadakan perlawanan.
“Namun semua kejadian, tragedi, pembantaian, dan apapun namanya, tidak tidak akan membuat bangsa Palestina bertekuk lutut terhadap penjajahnya. Justru akan semakin meningkatkan perjuangan dan perlawanan,” tulis al-Qudwah.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Ia menyebut, seluruh warga Palestina kini tidak akan meninggalkan tanah air mereka. Mereka semua siap menjadi syuhada-syuhada selanjutnya, seperti diteladankan pendahulunya di Sabra-Shatila, dan tempat-tempat lainnya.
Tentu juga, merupakan perjuangan seluruh kaum Muslimin serta manusia yang mencintai kemanusiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan hak-hak asasi manusia.
Untuk meraih semua itu, diperlukan kesungguhan yang tiada henti, keikhlasan karena Allah, persatuan dan kesatuan yang tidak mudah goyah, serta kesabaran (shabran) yang luar biasa, sesuai dengan namanya yang saat ini diperingati ‘shabran wa syatiilaa”. (T/RS2/P1).
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih