Saksi Bisu Tsunami Aceh (bagian 1)

Museum Tsunami Aceh berlokasi di Jalan Sultan Iskandar Muda dekat Simpang Jam dan berseberangan dengan Lapangan Blang Padang kota Banda Aceh.(Foto: Visit Banda Aceh)

Oleh: Rana Setiawan, Kepala Peliputan Kantor Berita MINA, Ketua Pengembangan Potensi JMSI DKI Jakarta

Enggel mon sao curito

Inang maso semonan

Manoknop sao fano

Uwi lah da sesewan

 

Unen ne alek linon

Fesang bakat ne mali

Manoknop sao hampong

Tibo-tibo mawi

 

Anga linon ne mali

Uwek suruik sahuli

Maheya mihawali

Fano me singa tenggi

 

Ede smong kahanne

Turiang da nenekta

Miredem teher ere

Pesan dan navi da

 

Yang artinya:

Dengarlah sebuah cerita

Pada zaman dahulu

Tenggelam satu desa

Begitulah mereka ceritakan

 

Diawali oleh gempa

Disusul ombak yang besar sekali

Tenggelam seluruh negeri

Tiba-tiba saja

 

Jika gempanya kuat

Disusul air yang surut

Segeralah cari

Tempat kalian yang lebih tinggi

 

Itulah smong namanya

Sejarah nenek moyang kita

Ingatlah ini betul-betul

Pesan dan nasihatnya.

Itulah syair-syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.

Kemunculan Smong berawal dari pengalaman pahit pada tahun 1907 silam, kala ombak besar menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue. Ribuan nyawa melayang, rumah dan surau hancur, serta harta benda pun lenyap.

Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami dahsyat pada 2004 lalu. Di pulau ini, hanya hitungan jari saja, 6 hingga 8 orang dari sekitar 70 ribu penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut.

Itupun karena tertimpa reruntuhan ketika terjadi gempa bukan terseret gelombang tsunami, meski sarana dan prasarana pulau Simeulue mengalami kerusakan berat.

Pengetahuan tersebut yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya.

Pulau Simeulue merupakan sebuah kabupaten sendiri dengan nama kabupaten Simeulue yang berada di  Provinsi dan terletak sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Saat gempa dan tsunami 2004 silam, episentrum gempa cukup dekat, yaitu hanya 60 km dari barat pulau Simeulue (Wikipedia).

Siapa sangka kearifan lokal berupa syair berisi kisah yang dituturkan turun temurun bisa menyelamatkan nyawa puluhan ribu nyawa warga di Pulau Simeulue dari terjangan tsunami yang mematikan itu.

Dilansir dari laman Dishub Aceh, Smong adalah istilah yang berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue yang berarti hempasan gelombang air laut.

Smong sendiri disampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak di berbagai kesempatan termasuk di surau-surau setelah mengaji, ketika anak-anak membantu orang tuanya, menjadi cerita selingan di tengah kesibukan, atau sebagai kisah pengantar tidur.

Smong juga dapat ditemui dalam kesenian tradisional Nandong yang populer di daerah Simeulue, Aceh.

Dalam syair Smong tersebut memang jelas diungkap ciri-ciri dari gejala bencana alam tsunami, seperti guncangan kuat, air laut yang tiba-tiba surut, serta gelombang besar yang akan melanda.

Keberhasilan kearifan lokal smong dalam menyelamatkan masyarakat pulau Simeulue dari gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu, membuat kabupaten Simeulue mendapatkan penghargaan SASAKAWA Award dari ISDR (Internasional Strategy for Disaster Reduction), sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang bergerak di bidang mitigasi bencana pada tanggal 12 Oktober 2005.

Kearifan lokal smong ini juga mendapatkan pujian dari masyarakat seluruh dunia. Sebab, pada saat itu program mitigasi bencana di Indonesia masih lemah bahkan belum ada lembaga khusus yang bergerak di bidang mitigasi bencana.

Dalam waktu kurang dari 10 menit dan garis pantai pulau Simeulue yang mencapai 400 km, bisa melakukan evakuasi besar-besaran merupakan hal yang luar biasa. Terlebih pada saat itu, infrastruktur telekomunikasi di pulau Simeulue masih minim.

Penulis sendiri mengetahui cerita lisan Simeulue yang selamatkan penduduk dari amukan tsunami terdahsyat itu saat penulis berkunjung ke Aceh di jantung kota dan Museum Kapal PLTD Apung di Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, dalam rangka city tour pada rengkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-2 Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), pada Sabtu (12/11/2022).

Penulis bersama pimpinan Inilah.com, Indra Zaenal Muttaqien mewakili pengurus daerah DKI menjadi peserta Rakernas II JMSI.

Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 merupakan salah satu bencana alam yang masih sulit dilupakan oleh masyarakat Aceh karena memakan banyak korban.

Peristiwa yang melanda pantai Aceh ini terjadi setelah gempa berkekuatan 9 skala richter di Samudera Hindia dan disebut sebagai gempa besar yang pernah terjadi dalam sejarah di dunia.

Kedahsyatan tsunami tersebut pernah diceritakan oleh relawan senior dari Ukhuwah Al-Fatah Rescue (UAR) yang pernah terjun langsung membantu evakuasi korban tsunami Aceh 2004.

UAR didirikan pada 2004 ketika bencana tsunami terjadi di Provinsi Aceh, oleh mendiang pemimpin wadah persatuan umat, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) H. Muhyiddin Hamidy.

Hingga kini, UAR sudah terjun ke berbagai tempat bencana alam baik di dalam maupun di luar negeri, seperti tsunami Aceh, tsunami Pangandaran, Gunung Merapi Yogyakarta, Gempa Nepal, misi kemanusiaan Gaza Palestina, dan lain-lain.

Berikut destinasi wisata yang menjadi saksi bisu kedahsyatan dan keganasan ombak Tsunami Aceh 2004 lalu:

Museum Tsunami Aceh

Museum ini hadir untuk menambah variasi pilihan tempat wisata di Aceh yang sudah ada sebelumnya.

Museum Tsunami Aceh terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda dekat Simpang Jam dan berseberangan dengan Lapangan Blang Padang kota Banda Aceh. diresmikan pada Februari 2008 lalu.

Tujuan dibangunnya museum ini adalah untuk mengenang gempa bumi yang mengakibatkan tsunami tahun 2004, selain itu  juga menjadi pusat pendidikan dan sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami sewaktu-waktu datang lagi.

Bangunan museum ini didesain oleh seorang dosen arsitektur ITB Bandung, M. Ridwan Kamil yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.

Desain yang berjudul Rumoh Aceh as Escape Hill ini mengambil ide dasar rumoh Aceh  yaitu rumah tradisional masyarakat Aceh berupa bangunan rumah panggung.

Museum ini dibangun dengan dana sekitar Rp 70 miliar dan memiliki dua lantai. Lantai 1 merupakan area terbuka yang bisa dilihat dari luar dan fungsinya sebagai tempat untuk mengenang peristiwa tsunami.

Di lantai 1 ini terdapat beberapa ruangan yang berisi rekam jejak kejadian tsunami 2004. Antara lain ruang pamer tsunami, pratsunami, saat tsunami dan ruang pasca tsunami.

Selain itu, beberapa gambar peristiwa tsunami, artefak jejak tsunami, dan diorama juga ada di lantai ini. Salah satunya adalah diorama kapal nelayan yang diterjang gelombang tsunami dan diorama kapal PLTD Apung yang terdampar di Punge Blang Cut. Sedangkan di lantai 2 museum ini berisi media-media pembelajaran berupa perpustakaan, ruang alat peraga, ruang 4D (empat dimensi), dan souvenir shop.

Alat peraga yang ditampilkan antara lain, yaitu rancangan bangunan yang tahan gempa, serta model diagram patahan bumi.

Selain itu juga ada beberapa fasilitas terus disempurnakan seperti ruang lukisan bencana, diorama, pustaka, ruang 4 dimensi, serta cafe.

Eksterior museum ini mengekspresikan keberagaman budaya Aceh dengan ornamen dekoratif berunsur transparansi seperti anyaman bambu. Tampilan interiornya akan menggiring Anda pada perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan.

Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yaitu Badan Rekontruksi dan Aceh-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Daerah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Bangunan museum ini terdiri dari empat tingkat dengan hiasan dekorasi bernuansa Islam.

Dari arah luar dapat terlihat bangunan ini berbentuk seperti kapal, dengan sebuah mencu suar berdiri tegak di atasnya.

Tampilan eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan keberagaman budaya Aceh terlihat dari ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan.

Ornamen ini melambangkan tarian saman sebagai cerminan Hablumminannas, yaitu konsep hubungan antar manusia dalam Islam.

Setiap harinya museum ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Museum Tsunami ini buka setiap hari (kecuali Jumat) pukul 09.00-12.00 dan 14.00-16.00 WIB. Museum Tsunami Aceh saat ini memberlakukan tiket masuk (anak-anak/pelajar/mahasiswa Rp3.000; Dewasa Rp5.000; WNA Rp15.000).

Saat mulai memasuki museum maka para penelusur akan menemui lorong sempit dengan air terjun yang mengeluarkan suara begemuruh dan lantunan kalimat tahlil yang membuat hati terasa terenyuh di kedua sisinya seakan mengingatkan dahsyatnya gelombang tsunami.

Museum ini juga menampilkan simulasi elektronik gempa bumi Samudra Hindia 2004, foto-foto korban dan kisah dari korban selamat, ruang pameran temporer.

Lokasi museum sangat mudah sekali dijangkau baik menggunakan kendaraan umum maupun pribadi.

Jika para penelusur ingin mengunjungi museum ini maka pertama kali para penelusur harus menemukan Lapangan Blang Padang yang berada di kompleks pemakaman Kerkhof Peucut karena letak museum ini persis di seberangnya.(A/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)