Jakarta, MINA – Masuknya Undang-undang terkait pendidikan ke dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja kembali dikritisi.
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa menyampaikan kekhawatirannya terkait dihapuskannya pasal terkait sanksi pidana dari Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 di dalam RUU Cipta Kerja.
Menurutnya, beberapa pasal dari UU Sidiknas No 20 Tahun 2003 yang dihapus di dalam RUU Cipta Kerja adalah pasal 67-69 yang terkait sanksi pidana. Padahal pasal 2 RUU Cipta Kerja sendiri menjelaskan bahwa asas RUU ini salah satunya adalah kepastian hukum.
“Tetapi penghapusan pasal-pasal terkait sanksi pidana dari UU Sisdiknas, justru telah memunculkan ketidakpastian hukum,” kata Ledia sebagaimana keterangan tertulis yang diterima MINA, Rabu (22/7).
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Pasal 67-69 dari UU Sidiknas yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja itu meliputi sanksi pidana bagi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak, memberikan sebutan guru besar atau profesor tanpa kesesuaian ketentuan, lembaga pendidikan yang berjalan ilegal hingga perseorangan yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi serta gelar tanpa memenuhi ketentuan persyaratan.
Karena itulah aleg Fraksi PKS ini merasa prihatin. Dia mengatakan, kita patut khawatir, dengan adanya penghapusan pasal sanksi pidana ini, praktik jual beli ijazah, jual beli gelar, penggunaan ijazah palsu dan penyelenggaraan kampus ilegal akan semakin marak.
“Apalagi tak lama lagi kita akan memasuki masa pilkada, lalu kemudian masa pileg. Beberapa kali kita telah berhadapan dengan kasus ijazah palsu atau ilegal. Karenanya menjadi rawan terulang temuan-temuan kasus seperti ini,” ujarnya.
Kepemilikan ijazah, sertifikat dan gelar akademik memang menjadi salah satu syarat dalam kontestasi calon kepala daerah, juga calon anggota legislasi. Selain itu, juga menjadi syarat dalam penerimaan kepegawaian baik Pegawai Negeri, BUMN maupun swasta.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Meski praktik-praktik bodong semacam ini bisa jadi tidak bisa sepenuhnya hilang, namun Ledia meyakini adanya sanksi pidana telah memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa hal tersebut tertolak dan melanggar hukum.
Ledia mengatakan, kepastian hukum terkait pelanggaran dalam soal pemberian maupun penggunaan ijazah, sertifikat akademik serta gelar ilegar juga berguna untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa kita yang tengah diusung menuju SDM Unggul berkarakter Pancasila.
“Karenanya menjadi tidak masuk akal pasal terkait sanksi pidana ini justru yang dibidik oleh pemerintah untuk dihapuskan,” pungkasnya menyesalkan.(L/R1/P2)
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Mi’raj News Agency (MINA)