Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Santripreneur Literasi: Berkarya Lewat Menulis tentang Palestina

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

ilustrasi menulis (ist)

SANTRI bukan hanya pewaris ilmu para ulama, tetapi juga penulis di era modern. Dalam geliat dunia literasi yang terus berkembang, muncul gerakan santripreneur literasi, santri yang mengembangkan potensi menulis sebagai bentuk dakwah, ekspresi diri, dan kontribusi nyata untuk umat dan bangsa.

Inilah Santripreneur Literasi: berkarya lewat menulis tentang Palestina. Gerakan ini bermula dari hal sederhana, menumbuhkan kecintaan membaca dan menulis di kalangan santri.

Buku-buku inspiratif pun mulai memenuhi pojok literasi di kelas-kelas. Majalah dinding pesantren kembali hidup dengan konten yang beragam. Ada kisah hidup, cerpen, pantun, puisi, hingga berita kegiatan pesantren.

Santri mulai terbiasa menjadi wartawan wartawan pondok, meliput kegiatan, mewawancarai guru dan tamu, menulis laporan, dan menyebarkannya lewat website resmi sekolah atau majalah pesantren.

Baca Juga: Membangun Bisnis dengan Hati dan Strategi

Menulis bukan lagi dianggap tugas berat. Justru menulis itu menyenangkan karena bisa menjadi sarana menyampaikan ide dan semangat. Apalagi jika tulisan dimuat, dibacakan saat apel pagi, atau dipajang di madding, atau enjadi bahan orasi solidaritas Palestina. Ada rasa bangga, dan yang terpenting, karya santri merasa didengar.

Tak sedikit pesantren yang melatih santri menyusun buku bersama, antologi cerpen, puisi, atau kisah inspiratif bertema Islami dan kebangsaan. Ini bagian dari pendidikan karakter dan kemandirian santri.

Di antara tema yang paling banyak dipilih santri adalah tentang Al-Aqsa, Palestina. Dengan laptop atau komputer pondok, santri menulis puisi perjuangan, opini tentang kezaliman di Gaza, hingga artikel dukungan moral bagi rakyat Palestina. Mereka sadar, bahwa meski tak bisa ke medan perang, tapi tulisan mereka bisa menjadi senjata perlawanan terhadap ketidakadilan.

“Puisiku senjatamu, wahai Al-Aqsa” menjadi kalimat populer di kalangan penulis santri. Banyak pula yang menulis profil tokoh Palestina, resensi buku-buku tentang Baitul Maqdis, bahkan membuat film pendek dari naskah buatan mereka sendiri.

Baca Juga: Santripreneur Bangun Ekonomi Lewat Produk UKMK

Begitulah, santripreneur literasi bukan sekadar gaya baru, tapi investasi peradaban. Menulis melatih berpikir kritis, menyusun gagasan, dan menyampaikan pesan dengan santun. Santri yang menulis adalah santri yang berdaya, mampu berdakwah melalui media, membentuk opini, dan menjadi agen perubahan.

Dengan semangat santripreneur literasi, pesantren hari ini tak hanya melahirkan ahli fikih dan hafidz Qur’an, tapi juga jurnalis, penulis buku, dan pejuang pena yang mencintai ilmu dan peduli umat.

Melalui tulisan-tulisan mereka, suara kebenaran akan terus mengalir, dan semangat solidaritas terhadap Palestina tak akan pernah padam.

Pepatah mengatakan, “Satu tulisan jujur lebih tajam dari seribu peluru. Ia bisa menggugah hati, menggerakkan umat, untuk perjuangan Al-Aqsa.”

Baca Juga: Bukan Sekadar Perjalanan, Umroh Menjadi Jalan Pembersihan Jiwa dan Ketaqwaan Sosial

Juga kalimat penggugah, “Jika kita tak mampu angkat senjata untuk Palestina, maka menulislah. Jadikan kata-kata kita sebagai senjata kebenaran.”

“Menulis tentang Palestina adalah bagian dari perjuangan. Mencatat kebenaran agar dunia tak lupa.” Begitu kata orang bijak, serta “Al-Aqsa memanggil, dan para santri menjawab dengan tulisan berdasar iman.”

Pada akhirnya, dengan Santripreneur Literasi: berkarya lewat menulis tentang Palestina, “Baitul Maqdis mungkin jauh di mata, tapi dekat di hati para penulis yang setia.” []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Menumbuhkan Jiwa Santripreneur di Pesantren

Rekomendasi untuk Anda