Satu-satunya Kampanye Palestina yang Diizinkan di Gedung Putih

Di area seluas 5.200 meter persegi, kita bisa melakukan protes kapan saja di depan , dengan satu syarat, tidak menginap di lokasi. Namun, ada satu kampanye organisasi pro yang menjadi pengecualian.

Saat berkunjung ke area Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat (AS), pengunjung  akan menemukan tenda poster mereka tepat menghadap bangunan itu. Seorang pria paruh baya terlihat duduk di tengah-tengah poster dan tulisan tuntutan mereka. Dengan senyuman ramah yang memenuhi wajah penuh janggut putihnya, dia dengan senang hati menjawab pertanyaan siapa pun yang mendekatinya.

Awalnya, protes ini dilakukan oleh seorang aktivis bernama William Thomas pada 1981 untuk memprotes senjata nuklir pada saat itu. Hal ini dipercaya sebagai protes terlama dalam sejarah AS yang tidak bisa dibubarkan otoritas pemerintah. William bersama rekannya melakukan protes 24 jam tanpa henti hingga dia tutup usia pada 2009 dan dilanjutkan oleh teman-temannya sehingga terbentuklah klub Penjaga Perdamaian Gedung Putih (White House Peace Vigil/WHPV).

William dan rekannya harus menghadapi ratusan kali pengadilan untuk bisa tinggal di Taman Lafayette sebrang Gedung Putih.

Sejak kepergian Sang Pendiri, aktivis wanita asal Spanyol, Connie Picciotto bersama para aktivis lainnya melanjutkan perjuangan William. Kini, isu Palestina, Vietnam, perang Irak, Suriah menjadi salah satu fokus protes mereka kepada pemerintah.

Connie Picciotto. Foto: Edge od Day Photography

Sejak usia muda dan sampai akhir hayatnya, Connie berdiri di depan Gedung Putih, ‘menantang’ para pemimpin AS yang tinggal di bangunan itu dari masa ke masa. Termasuk saat Negaranya berperang dengan Irak dan Afghanistan, Connie berdiri di sana. Dengan perawakan yang pendek, Connie berdiri sampai titik terakhir memberitahukan semua orang yang berkunjung ke area peristirahatan Presiden itu dan pada dunia bahwa perang harus dihentikan.

Pada 2016, Connie yang wajahnya sudah berkeriput karena perjuangan menghembuskan nafas terakhir dan sempat menjadi laporan utama di Washington Post karena perjuangannya yang ikonik. Kini, lelaki paruh baya itu yang menggantikan Connie.

Berasal dari kota Virginia, Philipos Malako, begitu nama lelaki itu, rela meninggalkan rumahnya untuk melanjutkan perjuangan William dan Connie bersama rekan lainnya ‘menantang Gedung Putih’. Kembali ke cerita pertemuan saya dengan Philip, pria berusia 55 tahun itu tersenyum lebar saat saya berusaha mendekati tendanya.

Sebelum hendak bertanya, Philip menyapa duluan dan mengatakan, “biar saya tebak, kamu pasti orang Indonesia,” katanya. Sambil mengiyakan, obrolan kami berlangsung hangat walaupun singkat. Barulah Philip mengungkap alasan bendera Palestina ditaruh di atas paling tinggi tendanya.

Menurut Philip, WHPV menuntut Palestina dibebaskan dari penjajahan, dan seluruh warga Palestina yang diusir Israel pada 1967 agar dikembalikan ke tanahnya. “Kami tidak menentang kaum Ibrani itu, jika mereka mau mempraktikkan Judaism mereka silakan saja, tapi itu wilayah milik Palestina.”

Pria bergaya Gipsy itu juga mengatakan Israel selama ini tidak tahu malu karena menduduki tanah orang lain, warga Palestina, dan mengklaimnya sebagai tanah sendiri.

Dia mengatakan, warga di negara lain tidak bisa menuntut pemimpin mereka di pengadilan, tapi di Amerika Serikat mereka bisa melakukan itu. Karena berusaha ditekan otoritas untuk berhenti melakukan protes di area Gedung Putih, organisasi WHPV menuntut Presiden AS kala itu, George W. Bush, di pengadilan. Akhirnya setelah perjuangan panjang, dimana saat itu belum ada hukum yang memberatkan mereka, WHPV menang. Kini mereka menjadi satu- satunya organisasi yang bisa melakukan protes dan menginap di lokasi itu.

“Kami menjadi satu-satunya organisasi yang diperbolehkan menginap disini, kami lahir sebelum undang-undang mengatur tidak bolehnya protes menginap di lokasi ini. Sehingga kami adalah pengecualian mereka di pengadilan,” ungkapnya.

Philip yang kini duduk di kursi roda terlihat menyapa semua orang yang penasaran dengan poster-poster di sekitarnya, dia menjelaskan saat ini ada lebih dari 10 ribu senjata nuklir yang dimiliki negara-negara besar di seluruh dunia, sementara dia memprihatinkan kondisi warga yang terjajah seperti di Suriah, Palestina dan Darfur.

Jika diakumulasikan, protes yang dilalui WHPV sudah melampaui lebih dari 314 ribu jam sejak awal dimulai. Para aktivis silih berganti layaknya sebuah perusahaan yang memiliki karyawan dengan jam kerja sifht. Bedanya, mereka tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan hidupnya. William dan Connie menjadi ikon organisasi ini karena meninggal selama melakukan tugas mereka.

Di mata warga, WHPV menjadi sebuah ikon aktivis di antara kehidupan para elit, ironi di dalam perpolitikan Amerika Serikat. Dari tahun ke tahun, ratusan warga mengunjungi tenda yang kini dijaga Philip dan teman-temannya. Dan dari tahun ke tahun pula, para aktivis bertambah. (A/RE1/RS1)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.