Oleh: Imam Shamsi Ali*
Timur Tengah memang ditakdirkan untuk menjadi pusat perhatian di abad 21 ini. Selain karena Timur Tengah masih merupakan pusat energi dunia, juga karena Timur Tengah dipersepsikan secara salah sebagai jantung dunia Islam. Justeru di saat Islam secara salah dipahami dan dianggap sebagai ancaman kepada peradaban Barat, bahkan peradaban manusia (human civilization).
Sejarah mencatat, sejak Perang Dunia I dan II Timur Tengah sudah menjadi sorotan tersendiri. Penjajah berebutan di antara kubu Inggris dan Prancis di satu sisi. Secara internal umat Islam, eksistensi Khilafah Utsmaniyah ditantang oleh kehadiran kerajaan keluarga Saud di Nejed. Bukan rahasia umum jika jatuhnya Khilafah Utsmaniyah tidak terlepas dari, salah satunya, karena makar yang dilakukan oleh kerajaan Al Saud yang melahirkan kerajaan Saudi Arabia.
Sejak itu angin konflik selalu bertiup, baik secara luar (external) dalam maupun di kalangan pihak-pihak dalam (internal) selalu terasa. Saat ini di Timur Tengah ada minimal tiga pihak yang memiliki impian sejarah besar. Turki dengan Khilafah Utsmaniyah. Iran dengan kerajaan Persia. Dan Saudi Arabia dengan dinasti Al Saud (kerajaan Saudi Arabia, di dalamnya penguasa-penguasa teluk lainnya; Bahrain, Qatar, Kuwait dan Emirates).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Di sisi lain, sejak Inggris memberikan sepotong tanah Palestina ke Israel, kepentingan Barat juga semakin membesar. Kepentingan Barat sesungguhnya bukan untuk melindungi negara Yahudi itu. Tapi sebaliknya eksistensi negara Yahudi di Timur Tengah itu justeru dijadikan “cover up” untuk memperkokoh pengaruh (influence). Tentu dengan tujuan tunggal menjaga kepentingan kapitalisme dunia, khususnya dalam kaitannya dengan penemuan lahan-lahan minyak di negara teluk.
Dendam Sejarah dan Pertarungan Pengaruh
Ketegangan yang terjadi antara Saudi Arabia (dan sekutunya) dengan Iran (dan sekutunya) karena eksekusi ulama Syiah Saudi, Sheikh Al-Nimr, hanyalah secuil buih di permukaan samudra luas kebencian dan dendam sejarah yang ada.
Di satu sisi isu Sunni-Syiah kembali diangkat dan dijadikan kendaraan kepentingan (dengan segala ragamnya). Tidak diragukan bahwa dalam perjalanannya isu Sunni-Syiah menjadi semakin besar karena sejak awal timbulnya memang tidak terlepas dari kepentingan politik.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Sejujurnya sejarah timbulnya isu tersebut memang, dalam bahasa modern, dikarenakan oleh perbedaan ijtihad politik antara menunjuk Ali R.A sebagai Khalifah atau dilakukan pemilihan (dengan berbaiat) kepada calon terbaik. Ternyata mayoritas generasi pertama umat ini memutuskan untuk menempuh jalur pemilihan dalam menentukan pemimpin umat. Maka terpilihlah Abu Bakar R.A sebagai khalifah pertama menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW.
Peristiwa perbedaan ijtihad politik tersebut ternyata berujung panjang dan tajam di antara kedua pihak. Ironisnya kemudian isu teknis penggantian kepemimpinan umat itu lalu beralih atau tepatnya dialihkan menjadi isu agama. Dan sejak itu pula isu Sunni-Syiah menjadi isu agama.
Melihat ketegangan antara Saudi dan Iran saat ini, saya melihatnya justeru agama sesungguhnya adalah isu kesekian. Justeru isu terutama di antara keduanya adalah pertarungan pengaruh (influence), yang lebih didasarkan kepada “keangkuhan sejarah” mereka masing-masing.
Iran dengan sejarah kerajaan Persia yang besar. Sebuah kerajaan yang bahkan diabadikan dalam Al-Quran (Surah Ar-Rum). Sementara Saudi Arabia dengan Al-Saud, yang dikenal bergandengan tangan dengan gerakan puritanisme agama Muhammad bin Abdul Wahhab (dikenal dengan wahabiyah, yang kemudian diperhalus dengan istilah salafiyah).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Oleh sebab itu menitik beratkan konflik ini kepada isu agama adalah kurang tepat. Walaupun memang diakui bahwa agama selalu menjadi komoditas kepentingan yang empuk.
Kalau sekiranya Iran atau Saudi Arabia melihat pembelaan agama sebagai basis mereka, maka tentu mereka akan memilih untuk tidak berkolaborasi dengan pihak-pihak luar yang justeru secara agama lebih berseberangan.
Bukan rahasia umum jika Saudi selalu menjadikan Amerika dan Barat sebagai “master” dalam setiap keputusan dan aksi di Timur Tengah. Bahkan berbagai sumber menyebutkan jika Saudi membuka diri untuk berkolaborasi dengan Israel untuk menjadikan Iran sebagai “musuh bersama” (common enemy).
Di sisi lain Iran lebih memilih menbangun koalisi dengann Rusia, negara komunis, dan sekutunya termasuk India. Siapa yang tidak mengenal Rusia di Balkan dengan pembantaian Muslim Bosnia? Di Chechniya dan Afghanistan? Siapa pula yang tidak mengenal India di Kashmir?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Semua ini semakin meyakinkan bahwa keduanya terseret ke dalam konflik, sekali lagi bukan untuk kepentingan agama. Tidak juga untuk kepentingan perjuangan Palestina dan Masjidil Aqsa. Tapi demi dominasi dan pengaruh di negara-negara kawasan.
Dan semua itu didasarkan kepada keangkuhan dan dendam sejarah “kerajaan” masa lalu.
Lalu wajarkah jika umat Indonesia bersikukuh melihatnya sebagai isu agama (Sunni-Syiah)? Atau memang keputusan pemerintah RI untuk tidak terlibat dalam koalisi kedua pihak memang keputusan yang bijak?
Nampaknya memang demikian.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
*) Presiden Nusantara Foundation USA. Syamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan. Syamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).
(P006/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang