Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab Lemahnya Iman (bag. 1)

Bahron Ansori - Rabu, 24 Juli 2019 - 14:46 WIB

Rabu, 24 Juli 2019 - 14:46 WIB

26 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Iman adalah mutiara berharga dalam diri seorang muslim. Karena itu, iman itu harus senantiasa dijaga, dirawat dan terus ditingkatkan. Dalam kehidupan yang serba permisif ini, iman bisa menjadi tameng kuat bagi seorang muslim untuk menangkal berbagai ujian dunia dan segala permasalahannya.

Mempertahankan iman di era modern dan serba era digital hari ini tentu saja memerlukan energi tersendiri, mulai dari kesungguhan dan keseriusan termasuk kesabaran. Sedikit saja seseorang lemah, maka imannya pun menjadi lemah. Jika sudah begitu, maka dengan mudah setan menguasai hatinya.

Tulisan ini akan membahas tentang sebab-sebab lemahnya iman. Sebab-sebab itu antara lain sebagai berikut.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Pertama, Kurang Ikhlas. Dalam firman-Nya, Allah Ta’ala sudah menjelaskan,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al Bayyinah: 5)

Ikhlas adalah pujian dan hinaan manusia sama nilainya di sisimu, dan kesepadanan antara yang lahir dan yang batin pada dirimu. Di zaman ini, keikhlasan merupakan sesuatu yang langka (tidak ada yang memilikinya), kecuali bagi mereka yang dirahmati Allah, terlebih lagi di tengah kehidupan yang penuh dengan tipu muslihat, fitnah, juga lemahnya muroqobah (mawas diri) dan keyakinan kepada Allah Ta’ala.

Tentu saja penulis tidak mengatakan keikhlasan itu telah musnah, sebab itu adalah perkataan dusta. Namun, untuk menuju keikhlasan itu membutuhkan mujahadah (kesungguhan) yang terus-menerus dengan istikomah dalam setiap amal dan perbuatan. Tidak mudah memang, tapi Allah Ta’ala-lah yang akan memudahkan selama niat seseorang itu lurus dan benar.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku paling sangat tidak membutuhkan kesyirikan, maka siapa yang melakukan suatu perbuatan yang dalam perbuatan itu ia mempersekutukan-Ku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim)

Terkadang seseorang telah ber-iltizam (konsisten) hingga ia termasuk dalam golongan orang yang konsisten. Namun, tujuannya bukan untuk konsistensi itu sendiri dan tidak pula bertujuan untuk mendapat rida Allah, melainkan ia memiliki maksud-maksud lain yang dengan cepat menghancurkan konsistensinya, sebab ia tidak mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat.

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi rahimahullah, “Ikhlas itu adalah memusatkan niat dalam melaksanakan ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala semata. Yaitu melakukan ketaatan hanya bermaksud untuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, tidak ada maksud lain, seperti; untuk mendapatkan perhatian, pujian manusia atau tujuan-tujuan lain yang bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sementara itu, Sahal bin Abdullah At-Tasatturi rahimahullah berkata, “Orang yang bijaksana ketika menafsirkan ikhlas maka mereka tidak mendapatkan selain pengertian bahwa hendaknya bergerak atau berdiamnya seseorang dalam situasi terlihat ataupun tersembunyi hanya karena Allah semata, dan tidak dinodai oleh hawa nafsu atau pun dorongan duniawi.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Sejatinya, siapa pun yang mendambakan keselamatan di dunia dan akhirat, hendaknya ia bersikap ikhlas dan secara terus-menerus mengawasi niatnya, karena hanya dengan sikap itulah suatu pekerjaan memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Pekerjaan sedikit tapi disertai keikhlasan, jauh lebih baik daripada pekerjaan banyak namun hampa dari keikhlasan, wallahua’alam.(A/RS3/)

Sumber: Buku “31 Sebab Lemahnya Iman penerbit: Darul Haq

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
MINA Preneur
Tausiyah
Kolom
Kolom