Sebab Lemahnya Iman (bag. 1)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

adalah mutiara berharga dalam diri seorang muslim. Karena itu, iman itu harus senantiasa dijaga, dirawat dan terus ditingkatkan. Dalam kehidupan yang serba permisif ini, iman bisa menjadi tameng kuat bagi seorang muslim untuk menangkal berbagai ujian dunia dan segala permasalahannya.

Mempertahankan iman di era modern dan serba era digital hari ini tentu saja memerlukan energi tersendiri, mulai dari kesungguhan dan keseriusan termasuk kesabaran. Sedikit saja seseorang lemah, maka imannya pun menjadi lemah. Jika sudah begitu, maka dengan mudah setan menguasai hatinya.

Tulisan ini akan membahas tentang -sebab iman. Sebab-sebab itu antara lain sebagai berikut.

Pertama, Kurang Ikhlas. Dalam firman-Nya, Allah Ta’ala sudah menjelaskan,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al Bayyinah: 5)

Ikhlas adalah pujian dan hinaan manusia sama nilainya di sisimu, dan kesepadanan antara yang lahir dan yang batin pada dirimu. Di zaman ini, keikhlasan merupakan sesuatu yang langka (tidak ada yang memilikinya), kecuali bagi mereka yang dirahmati Allah, terlebih lagi di tengah kehidupan yang penuh dengan tipu muslihat, fitnah, juga lemahnya muroqobah (mawas diri) dan keyakinan kepada Allah Ta’ala.

Tentu saja penulis tidak mengatakan keikhlasan itu telah musnah, sebab itu adalah perkataan dusta. Namun, untuk menuju keikhlasan itu membutuhkan mujahadah (kesungguhan) yang terus-menerus dengan istikomah dalam setiap amal dan perbuatan. Tidak mudah memang, tapi Allah Ta’ala-lah yang akan memudahkan selama niat seseorang itu lurus dan benar.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku paling sangat tidak membutuhkan kesyirikan, maka siapa yang melakukan suatu perbuatan yang dalam perbuatan itu ia mempersekutukan-Ku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim)

Terkadang seseorang telah ber-iltizam (konsisten) hingga ia termasuk dalam golongan orang yang konsisten. Namun, tujuannya bukan untuk konsistensi itu sendiri dan tidak pula bertujuan untuk mendapat rida Allah, melainkan ia memiliki maksud-maksud lain yang dengan cepat menghancurkan konsistensinya, sebab ia tidak mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat.

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi rahimahullah, “Ikhlas itu adalah memusatkan niat dalam melaksanakan ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala semata. Yaitu melakukan ketaatan hanya bermaksud untuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, tidak ada maksud lain, seperti; untuk mendapatkan perhatian, pujian manusia atau tujuan-tujuan lain yang bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sementara itu, Sahal bin Abdullah At-Tasatturi rahimahullah berkata, “Orang yang bijaksana ketika menafsirkan ikhlas maka mereka tidak mendapatkan selain pengertian bahwa hendaknya bergerak atau berdiamnya seseorang dalam situasi terlihat ataupun tersembunyi hanya karena Allah semata, dan tidak dinodai oleh hawa nafsu atau pun dorongan duniawi.

Sejatinya, siapa pun yang mendambakan keselamatan di dunia dan akhirat, hendaknya ia bersikap ikhlas dan secara terus-menerus mengawasi niatnya, karena hanya dengan sikap itulah suatu pekerjaan memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Pekerjaan sedikit tapi disertai keikhlasan, jauh lebih baik daripada pekerjaan banyak namun hampa dari keikhlasan, wallahua’alam.(A/RS3/)

Sumber: Buku “31 Sebab Lemahnya Iman” penerbit: Darul Haq

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: bahron

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.