kaya-miskin.png">kaya-miskin-300x212.png" alt="kaya miskin" width="300" height="212" />Oleh: Bahron A., Redaktur Kantor Berita Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Jujur, tak ada manusia di muka bumi ini yang mau hidup dalam kefakiran (miskin). Tapi, kefakiran itu tak bisa dihindari jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki terjadi pada seorang hamba. Masalah utamanya adalah, bukan menjadi fakir atau kaya, sebab keduanya pun punya resiko yang sama, yakni pertanggungjawaban di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jika seseorang dikaruniai oleh Allah harta yang melimpah, maka dia harus mempersiapkan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Yang Maha Menghisab. Allah akan menghisab satu per satu bahkan sedetail-detailnya dari harta yang ia peroleh: dari mana harta itu diperoleh dan kemana harta itu digunakan. Harta itu halalnya dihisab dan haramnya diazab.
Maka siapa yang mampu menundukkan nafsunya saat ia diuji dengan kekayaan, Allah akan mudahkan jalan baginya menuju keselamatan di dunia dan akhirat kelak. Namun, jika kekayaannya tak mampu menambah rasa syukurnya kepada Allah, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit, meskipun secara zahir ia adalah orang yang melimpah hartanya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sebaliknya, jika Allah menghendaki hamba-Nya hidup dalam kemiskinan, maka ia pun harus mempertanggungjawabkan tentang ’kemiskinan’nya kelak di hadapan Allah Ta’ala. Apakah dengan ujian kemiskinan itu dia mampu bersabar, banyak berdoa dan tawakal kepada Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Memiliki?
Memang, hidup dalam kefakiran itu bisa mendekatkan seseorang pada kekufuran bila tak sungguh-sungguh bertakwa kepada Allah Ta’ala. Tak sedikit orang yang tadinya tekun membangun ketaatan kepada Allah dalam setiap ibadahnya, tiba-tiba menjadi kufur karena ia tak mampu menerima terpaan kemiskinan.
Menjadi miskin atau kaya, kedua-duanya merupakan ujian keimanan sekaligus pilihan dalam hidup. Disebut pilihan karena hakikatnya kaya atau miskin itu bermula dari bagaimana cara hati kita mempersepsikannya. Bicara tentang persepsi artinya bicara tentang prasangka. Sebagai muslim, kita dituntut untuk selalu berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. “Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih).
Karena itu, ketika kita miskin, maka berbaik sangkalah bahwa Allah sedang menguji kita, dan jika kita sabar, maka Dia akan mengeluarkan kita dari kondisi yang tak kita inginkan (miskin) itu kepada suatu kondisi yang menenteramkan hati.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tak kalah penting untuk disiapkan adalah, paradigma siap dan menerima dengan ikhlas untuk menjadi orang fakir atau kaya. Siap menerima kondisi miskin artinya berusaha untuk ikhlas dan ridha atas takdir yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan. Sebaliknya, ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki kita menjadi orang kaya, maka jadilah orang kaya yang shalih lagi dermawan. Orang kaya yang tak pernah lupa dari mana sumber kekayaannya diperoleh. Memperbanyak sedekah dan menggunakan harta yang dimiliki untuk membela kepentingan Islam dan Muslimin.
Dalam tulisan ini, akan difokuskan pada masalah kemiskinan atau kefakiran. Ada beberapa hal yang harus difahami seorang hamba mengapa seseorang menjadi fakir antara lain sebagai berikut.
Sebab Kefakiran
Pertama, Lemah dan Malas. Penyakit lemah dan malas kadang menjadi salah satu sebab dari kefakiran seorang Muslim. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan manusia dalam keadan memiliki potensi untuk berusaha dan bekerja, serta diberi kemampuan untuk berjuang mencari rizki. Oleh karenanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad; 90:4).
Susah payah mengharuskan seseorang untuk berusaha, bekerja keras dan berjuang untuk memperoleh rezeki dan keberkahan. Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam banyak berlindung dari sikap malas dan lemah, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kegelisahan dan kesedihan, dari sifat lemah dan malas, dari sikap pengecut dan kikir, dari belitan hutang dan tekanan orang.” (HR. al-Bukhari).
Kedua, Dosa dan Maksiat. Kefakiran dan kemelaratan merupakan bagian dari musibah. Itu terjadi kadang disebabkan kemaksiatan sebagaimana musibah lain pada umumnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(QS. Ash-Shuraa; 42: 30).
Ibu Abbas ra berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu sinar di wajah, cahaya di dalam hati, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, kecintaan di dalam hati setiap orang. Sedangkan keburukan adalah kemuraman di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, mengurangi rezeki, dan penyebab kebencian di hati orang.”
Maka cukuplah kemaksiatan itu akan menghilangkan keberkahan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam yang artinya, “Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rizki dengan sebab dosa yang dia kerjakan.” (HR. Ahmad & Ibnu Majah).
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Kalau kita menyadari, maka sungguh tidak ada seorang pun di antara manusia yang lepas dari berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam yang artinya, “Seluruh bani Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi).
Ketiga, Penjagaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Hamba. Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Tahu. Bisa jadi jika seorang hamba diberi kekayaan, justru akan menjadikannya celaka di dunia dan di akhirat. Atau menjadikan dia sombong dan besar kepala yang berakibat pada turunnya siksa dan bencana.
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia ini, padahal Dia mencintainya, sebagaimana kalian semua berhati-hati (menjaga) orang sakit dalam memberi makan dan minum, karena khawatir (terjadi sesuatu) terhadapnya.” (HR. Ahmad, terdapat di Shahih al-Jami no. 181).
Keempat, Telah Ditetapkan Memperoleh Kedudukan di Sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Termasuk besarnya kemuliaan dan kemurahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Dia memuliakan hamba-Nya sebelum hamba itu melakukan suatu prestasi, dan Dia telah menulis untuk seorang hamba satu kedudukan yang tidak mungkin hamba tersebut mencapainya hanya dengan amal perbuatannya. Sehingga, Dia memberikan kebaikan dengan cara mengujinya, baik itu dalam harta, anak, atau badannya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditulis baginya satu kedudukan yang tidak mampu dia capai dengan amalnya, maka Allah mengujinya di dalam harta atau badan atau anaknya.” (HR. Abu Dawud).
Kedudukan yang tinggi hanya dicapai oleh seorang mukmin. Maka ketika ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam lalu berkata, “Sungguh aku mencintaimu.” Maka Nabi menjawab, “Siapkan dirimu menjadi orang fakir.” Apakah Anda siap hidup dalam kefakiran saudaraku? Wallahua’lam. (R02/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh