Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SEBAGIAN PENGUNGSI DI EROPA ADALAH KELAS MENENGAH

Admin - Senin, 14 September 2015 - 16:22 WIB

Senin, 14 September 2015 - 16:22 WIB

346 Views ㅤ

(Sumber foto;: Dailymail)
(Sumber foto: Dailymail/Getty Image)

(Sumber foto: Dailymail/Getty Image)

Paris, 01 Dzulhijjah 1436/14 September 2015 (MINA) – Al-Taweel, Fayiq, Zyad, dan Bilal hanya empat dari ratusan ribu pengungsi yang melarikan diri dari rumah mereka di Timur Tengah untuk melakukan perjalanan panjang dan berbahaya ke Eropa.

Di negara asal, tiga di antara empat lelaki itu bekerja sebagai seorang insinyur, akuntan, dan dokter ahli jantung, sedangkan satu lagi baru beranjak ke bangku SMA.

Mereka jauh dari latar belakang pendidikan dan ekonomi yang sangat rendah, demikian dilaporkan The National yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Senin (14/9).

Berdasarkan data yang dikumpulkan Kantor Imigrasi dan Pengungsi Jerman antara Januari 2013-September 2014, sekitar 78% pengungsi dari Suriah merupakan masyarakat kelas menengah atau atas.

Baca Juga: Dokter Palestina Kumpulkan Dana untuk Pendidikan Kedokteran di Gaza

Menurut sejumlah pihak berwenang imigrasi Eropa, sebagian besar pengungsi mengenyam pendidikan tinggi, terutama pengungsi dari Suriah. Faktanya, Suriah menjadi salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di Timur Tengah sebelum bergejolak pada 2011.

“Orang Suriah mencari tempat yang bisa menawarkan kualitas hidup yang pernah mereka miliki sebelum konflik,” kata Arezo Malakooti, ​​Kepala Penelitian Migrasi di Altai Consulting.

“Sebelum perang, Suriah mirip dengan negara Eropa. Standar hidup masyarakatnya relatif baik dan tinggi,” tambah Malakooti.

Warga Afghanistan yang mengungsi ke Eropa juga tidak selalu orang terbelakang, meski Afghanistan dilanda kemiskinan dengan tingkat buta huruf yang tinggi, kata Malakooti. Fayiq Abubakar dari Mazar-e-Sharif, Afghanistan, misalnya. Dia pergi ke Jerman untuk menemui pamannya.

Baca Juga: Kelelahan Meningkat, Banyak Tentara Israel Enggan Bertugas

“Saya datang ke Eropa karena ingin belajar ilmu perdagangan internasional dan keuangan. Saya lulus dari salah satu sekolah terbaik di wilayah Afghanistan,” imbuhnya.

Melalui penelitiannya, Malakooti menemukan iming-iming kehidupan yang lebih baik di tempat lain jauh lebih berpengaruh dalam mendorong orang untuk bermigrasi ketimbang kebutuhan mutlak.

Perjuangan Belum Berakhir

Namun, setelah selamat dari penyeberangan laut yang berbahaya dan lolos dari pasukan keamanan, beberapa pengungsi yang mengejar impiannya di Eropa berakhir sangat kecewa.

Baca Juga: Bahas Krisis Regional, Iran Agendakan Pembicaraan dengan Prancis, Jerman, Inggris

“Ketika Anda mendapatkan status pengungsi, perjuangan belum berakhir,” kata Fatiha Mlati, Kepala Integrasi di Prancis Terre d’Asile, sebuah asosiasi yang bekerja dengan pencari suaka dan pengungsi.

“Akses layanan kesehatan, hak-hak sosial, dan pengakuan ijazah tidaklah mudah,” sambungnya.

Di Perancis, banyak pengungsi bergelar sarjana yang harus rela bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran, pengantar pizza, atau sama sekali belum mendapatkan pekerjaan.

Bilal, seorang akuntan yang tinggal di Aleppo, Suriah, mengaku sampai saat ini masih menganggur. “Saya mendapatkan status pengungsi pada tahun lalu. Tapi, saya masih tidak memiliki pekerjaan. Kendala utamanya bahasa,” katanya. (T/P020/R05)

Baca Juga: Serangan Hezbollah Terus Meluas, Permukiman Nahariya di Israel Jadi Kota Hantu

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Israel Dukung Gencatan Senjata dengan Lebanon

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Amerika
Internasional
Asia
Asia