Dunia tidak boleh melupakan pembantaian sembilan aktivis di kapal bantuan Mavi Marmara menuju Gaza dan dicegat oleh pasukan angkatan laut Israel pada 31 Mei 2010, di perairan internasional Laut Mediterania.
Kapal itu adalah bagian dari armada yang berusaha memberikan bantuan dan dukungan kemanusiaan terhadap Jalur Gaza yang diblokade Israel dan Mesir sejak 2007.
Delapan warga negara Turki dan seorang aktivis Amerika-Turki ditembak mati selama penyerbuan kapal, sementara warga negara Turki lainnya kemudian meninggal karena luka-luka. Puluhan terluka.
Dari Indonesia, beberapa relawan Medical Emergency Rescue Commite (Mer-C) turut ikut menyaksikan dan merasakan ancaman tentara Israel di dalam kapal Mavi Marmara.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Pada hari itu, 13 komando angkatan laut Israel menaiki kapal dari speedboat dan helikopter untuk memaksa mereka menuju pelabuhan Israel Ashdod untuk diperiksa, yang menyebabkan kematian para aktivis.
Setelah 11 tahun sejak peristiwa itu, belum ada siapapun yang berhasil menyeret Israel atas segala kejahatan-kejahatannya, loby Israel di meja hijau begitu kuat. Jendral-jendral Israel yang memerintahkan penyerangan atas kapal kemanusiaan itu tidak kunjung diadili.
Penulis melihat lemahnya publik dalam memahami peristiwa dan hukum internasional menjadi salah satu faktor Israel tidak kunjung mendapat sanksinya, maka dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan dengan singkat aturan internasional yang mengatur perlindungan relawan kemanusiaan di medan-medan konflik.
Kita menyadari dunia tidak pernah berhenti dengan peristiwa peperangan, konflik bersenjata selalu mengorbankan nyawa manusia serta menciptakan kondisi sosial, kesehatan, lingkungan yang memprihatinkan. Keberadaan relawan kemanusiaan dalam situasi tersebut amatlah penting demi terwujudnya rasa kemanusiaan, kepeduliaan terhadap sesama. Tapi tidak jarang para relawan ini ikut terbunuh, luka-luka, hilang atau disandra saat menjalankan misi kemanusiaannya.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Model peperangan berkembang seiring teknologi komunikasi dan transportasi, seperti nonton film, perang terjadi dan bisa disaksikan secara langsung oleh masyarakat dunia. Dengan adanya masyarakat internasional menjadi bagian penting dalam strategi perang.
Saluran-saluran televisi menyiarkan Perang di Irak, Balkan, Suriah, Yaman, Darfur hingga terakhir ini Palestina menimbulkan simpati dan empati seluruh dunia. Opini inilah yang telah menjadi bagian strategi negara-negaraa dalam situasi peran.
Seiring dengan berkembangnya perang, maka bantuan kemanusiaan pun seiring mengikuti, yang pada mulanya diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh sebuah negara kepada negara lain karena bencana alam (disaster): tsunami, gempa bumi, banjir, kebakaran hutan,kelaparan dan lain lain.
Pengertian bencana ini berkembang kepada hal yang bersifat tidak temporer, walakin pada korban sipil di tengan konflik bersenjata seperti bencana sosial dan endemik. Bantuan yang diberikan dapat berupa logistik, pangan, sandang, papan, keperluan sehar—hari pelayanan kesehatan dan lainnya. Di daerah konflik ini terdapat beberapa organisasi internasional seperti PBB, Komiter International Palang Merah (ICRC) dan Amnesty International.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Hukum Internasional membenarkan segala jenis kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh organisasi humaniter yang tidak berpihak karena mereka senyawa dengan asas-asas terbentuknya palang merah internasional.
Diantara kesamaan antara relawan kemanusiaan dan palang merah internasional adalah Palang Merah didirikan berdasarkan keinginan untuk menolong yang terluka dalam konflik bersenjata dan berusaha mencegah penderitaan manusia di manapun ditemukan (humanity). Meningkatkan pengertian, persahabatan, kerja sama, dan penghormatan terhadap sesama manusia dapat ikut menciptakan perdamaian. Tidak membedakan kebangsaan, suku, agama, kepercayaan, kedudukan, golongan, dan kriteria mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata. Sama-sama tidak melibatkan diri dalam pihak yang bertikai atau pihak yang bersengketa baik itu bersifat politik, agama, dan kesukuan.
Organisasi humaniter seperti yang ddefiniskan oleh Konvensi Jenwa adalah bahwa organisasi itu “must be concerned with the condition of man, considered solely as human being, regardless of his value as a military, political, professional or other unit.” (harus peduli dengan kondisi manusia, serta hanya sematamata untuk kemanusiaan, tidak berpihak atau terikat pada militer, kepentingan politik, profesi, atau unit lainnya)”.
Hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil termasuk relawan kemanusiaan.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Oleh karena itu, istilah penduduk sipil mencakup warga sipil yang tinggal di daerah-daerah yang sedang terjadi konflik bersenjata, atau warga sipil yang berdomisili di daerah-daerah pendudukan.
Dengan kata lain orang sipil adalah setiap orang yang tidak terlibat atau ikut dalam peperangan. Bila ada keraguan apakah seseorang itu seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang sipil. Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup orang-orang yang bekerja sebagai penolong atau relawan, wartawan, dan personel pertahanan sipil.
Para relawan kemanusian ini saat melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya, biasanya mereka dilengkapi dengan fasilitas seperti transportasi, bangunan-bangunan khusus, maupun lambing-lambang tertentu. Apabila sedang dalam melaksanakan tugasnya, mereka harus dan sewajibnya dihormati (respected) dan dilindungi (protected). “Dihormati” berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka sengketa bersenjata; sedangkan pengertian “dilindungi” adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran militer.
Mavi Marmara
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Kasus Marvi Marvara yang telah menimbulkan korban jiwa memerlukan hukum internasional untuk melindungi warga internasional. Israel telah melakukan blokade jalur perbatasan Gaza sejak Juni 2007. Blokade ini menyebabkan penduduk Gaza kelaparan karena Israel menghentikan pengiriman barang ke Jalur Gaza, termasuk bahan makanan dan bahan bakar.
Blokade juga menyebabkan pembangkit listrik dimatikan. Israel memberikan BBM dalam jumlah terbatas melewati perbatasan Gaza, tetapi Israel menghadang pengiriman makanan. Pada tanggal 31 Mei 2010 Senin dini hari, pasukan komando Israel menyerang armada kapal kemanusiaan Mavi Marmara. Kapal Mavi Marmara merupakan salah satu dari 6 kapal yang tergabung dalam armada The Freedom Flotilla dan membawa 563 relawan dari 31 negara.
Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Gaza dan meringankan penderitaan warga Gaza dari blokade yang telah dilakukan oleh Israel. Pada saat penyerbuan, Kapal Mavi Marmara berada di 65 km (104mil) yang merupakan ZEE dan telah masuk ke dalam yurisdiksi blokade Gaza.
Fakta menunjukkan adanya beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dalam penyerbuan Kapal Mavi Marmara yaitu pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa karena Israel menyerbu kapal kemanusiaan yang membawa relawan kemanusiaan, penduduk sipil dan jurnalis yang mendapat perlindungan dalam Konvensi Jenewa.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Pelanggaran terhadap Statuta Roma karena penyerbuan yang dilakukan oleh Israel ke Kapal Mavi Marmara merupakan kejahatan perang yang diatur dalam pasal 8 ayat 2 (b) yaitu secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan.
Kapal yang diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai belahan dunia, dalam konvensi Jenewa 1949 berisi wartawan yang bertugas di daerah pertikaian bersenjata harus dilindungi. wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya.
Maka jika ditinjau dari perspektif hukum internasional, penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip HAM dan kemanusiaan.
Pertama, serangan dilakukan di wilayah perairan internasional.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Kedua, kapal sedang membawa bantuan dan mengangkut warga sipil yang telah terbukti tidak membawa senjata. Tidak ada satupun konvensi internasional melarang bantuan kemanusiaan. Bahkan, majelis umum PBB menyatakan pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil yang berada dalam peperangan sesuai dengan piagam PBB, deklarasi universal hak asasi manusia dan instrument hak asasi manusia internasional lainnya.
Masyarakat internasional ikut mengecam aksi brutal pasukan Zionis itu karena berlangsung di wilayah laut lepas (perairan internasional) dan bukan di wilayah perairan Israel. Dalam perspektif hukum internasional, filosofi mare libelum (free sea) berlaku bagi semua kawasan samudra/laut lepas. Bahwa menurut Konvensi PBB tentang hukum laut (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS) tahun 1982, laut lepas tidak berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun. Di laut lepas, yang berlaku adalah kemerdekaan navigasi dan pelayaran. Setiap Negara dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas, diantaranya adalah kebebasan untuk berlayar. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut pasal 87 dari UNCLOS.
Oleh karena itu penyerangan terhadap kapal Marvi Marmara yang berbendara Turki tidak dapat dibenarkan dan dapat tergolong sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Turki.
Meski di sisi lain, Israel berdalih penembakan yang dilakukan pasukan komando Israel terhadap penumpang Mavi Marmara adalah untuk membela diri. Hal ini sangat tidak bisa diterima oleh nalar logika, karena logika semacam itu tidak dapat diterima secara akal sehat karena berbagai media dan video yang beredar jelas-jelas menunjukkan bahwa pasukan Israel lah yang menyerbu kapal tersebut. Selain itu, dengan latar belakang penumpang kapal seperti itu, sangat tidak masuk akal jika mereka para nelayan menyerang pasukan khusus Israel.
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Penggunaan senjata oleh pasukan Israel dengan alasan untuk membela diri tidaklah sesuai dengan prinsip dasar proporsionalitas hukum humaniter internasional. Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan- tujuan militer. Artinya secara jelas bahwa Israel menggunakan senjata untuk menakuti dan meneror relawan kemanusiaan hingga menewaskan korban jiwa.
Selain itu, sudah banyak kasus kejahatan Israel terhadap tenaga-tenaga medis Palestina. Salah satunya adalah Razan al Najjar seorang perawat di Palestinian Medical Relief Society (PMRS) yang ditembak Israel pada Juni 2018 di perbatasan kota Khan Younis saat ia hendak menolong korban luka.
Razan yang mengenakan baju putih seragam paramedis, “Dia mengangkat tangannya tinggi- tinggi dengan sangat jelas, tapi tentara Israel menembak dan dia tertembak di dada,” kata seorang saksi.
“Menembak anggota medis adalah kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa,” kata PMRS.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Hal ini sudah jelas bahwa dalam kasus penyerangan kapal Marvi Marmara yang dilakukan oleh Israel kepada para relawan yang berada diatas kapal tersebut telah melanggar Konvensi Jenewa. Ditambah dengan serangan terhadap penduduk sipil yang membabi buta merugikan dengan hingga menewaskan relawan dan luka berat.
Israel sudah berkali-kali melakukan pelanggaran hukum internasional, sepertinya hampir seluruh cakupan daratan, lautan dan udara telah dilakoninya, Israel begitu abai dan hukum begitu tumpul terhadap Israel.
11 tahun sejak misi Gaza Freedom Flotilla dan agresi brutal Israel terhadap Mavi Marmara menjadi tanda pentingnya menegaskan kembali keberadaan hukum humaniter internasional, sinergitas antar negara dan lembaga-lembaga internasional sangat diperlukan sehingga tidak ada lagi kejahatan yang menimpa relawan kemanusiaan di medan konflik dan memberikan sanksi yang seberat-beratnya pada pelaku yang melanggar hukum humaniter. (A/A-1/P2)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih