Oleh: Agus Sudarmaji, Psikolog, Motivator “Simple Life”
“Mudahkanlah, jangan buat sulit.” (Al Hadits)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Beberapa malam sebelum Ramadan 1441H seseorang mengetuk pintu rumah saya sambil bersalam.
“Pak, saya nikah lagi. Ini buat Bapak.” Ternyata Ayah Imad datang membawa bancaan. Nasi kotak yang sederhana, satu lauk, satu jenis sayur, kerupuk terbungkus plastik dan sebuah pisang. Harganya tak lebih dua puluh ribuan. Tak sempat saya konfirmasi apa maksudnya menikah lagi dan dengan siapa, dia buru-buru meninggalkan saya yang hanya bisa membalas salam dan berterima kasih. Seratus pertanyaan pun menganga dan menanti jawaban besok paginya.
Ternyata Ayah Imad sudah rujuk dan menikahi lagi dengan Bunda Imad setelah sekitar setahun bercerai. Mereka punya anak lelaki bernama Imad yang sampai usia 10 tahunan belum punya adik. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah kami.
Kasus klasik, KDRT, dan sang istri pun dijemput keluarganya tanpa menunggu proses peradilan. Pisahlah mereka dan Ayah Imad tiba-tiba jadi single parent. Tentu hari-hari setelah itu dilaluinya dengan getir dan babak belur.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Bisa dibayangkan sejak pagi dia harus mempersiapkan Imad ke sekolah lengkap dengan bekal nasi. Biasanya sang bunda selalu membekali Imad atau kalau agak telat diantarkannya bekal nasi itu ke sekolah yang tidak jauh dari rumah. Itu karena Imad adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) yang punya keterbelakangan wicara dan tidak trampil jajan seperti anak lainnya.
Setelah urusan Imad selesai, dia pun harus bergegas mengejar waktu agar sampai pangkalan ojek di Metland Transyogi Cibubur sekitar seperempat jam dari rumahnya. Kecelakan sepeda motor 3 tahun lalu membuat Ayah Imad alih profesi dari menarik ojek ke dagang minuman di atas sepeda motor. Kecelakaan itu begitu serius sehingga merusak separuh wajahnya, bahkan hilang satu matanya.
Sebelum waktu zuhur dia pun sudah harus tiba di rumah karena Imad bubar sekolah jam 12. Pengasuhan Imad dari urusan mandi, pakaian, makan, istirahat dan belajar sungguh merepotkannya. Dia semakin rajin ke masjid dan mungkin menyesali perbuatannya. Bagi orang seperti Ayah Imad, hidup tak banyak pilihan. Tak berpendidikan, tak punya skill khusus dan fisik yang separuh invalid.
Kondisi ekonomi keluarga membuatnya tertekan dan sering uring-uringan. Kerap kali terdengar suaranya tinggi membentak-bentak istrinya. Biasanya keributan itu pecah saat Ayah Imad tiba di rumah nyaris tengah malam. Bentakan, hardikan, juga maki-maki dengan kata-kata yang merendahkan sudah masuk kategori KDRT. Memang belum sampai main tangan.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Bunda Imad sering gagal menangkap keinginan suaminya. Apalagi sang suami bukan lelaki yang trampil berkomunikasi. Saat pulang tak ada nasi hangat dan telor dadar, juga secangkir kopi panas pelepas penat. Ekspektasinya yang tinggi mungkin tidak dapat begitu saja dipenuhi oleh sang istri yang penuh keterbatasan itu. Maka terjadilah apa yang pernah masyhur dalam lirik lagu “Jangan Ditanya” oleh Krisbiantoro : Putuslah rambut, putus sudah ikatan. Pecahlah piring hilang sudah harapan…”
Hanya Tuhan yang tahu pasti bagaimana Ayah Imad bisa menikahi lagi mantan istrinya. Mereka pun kembali lagi serumah, tak lagi terdengar keributan tengah malam. Pagi tadi selepas shalat Idul Fitri dekat rumah, karena kampung kami tidak masuk zona merah COVID-19, tampak mereka berpakaian rapi seperti layaknya orang berlebaran. Imad bajunya baru, juga sandalnya. Ibunya bergamis biru tua. Ayahnya melempar senyum kepada saya seolah bermakna “akhirnya semua terkendali”. Mereka siap meluncur dengan sepeda motor satu-satunya yang biasa untuk menjemput rezeki, kini menjemput bahagia.
“Hidup itu sebenarnya sederhana, kitalah yang bikin sulit.” Pesan Confusius yang hidup 5 abad sebelum Masehi itu pantas untuk menjelaskan fenomena Ayah Imad ini. Tak ada mediasi di KUA yang birokrasi bikin pusing, Ayah Imad datang ke rumah mantan mertuanya, menjelaskan bahwa dia menyesal dan meminta izin rujuk dengan anak mertuanya. Seraya berjanji untuk memperbaiki segalanya, Ayah Imad pun membawa kembali Bunda Imad. Kata-kata Ayah Imad sederhana, cara berfikir sederhana dari keluarga mertuanya dan cara menikah laginya pun sederhana.
Siapa bilang untuk menikah bahkan yang sederhana, perlu modal minimal dua puluh juta rupiah. Itu di luar biaya administrasi di kecamatan, KUA, dan seterusnya. Pada kasus Ayah Imad, ternyata tidak harus jutaan. Cukup dengan total biaya dua ratus ribuan untuk beli nasi kotak yang diantar sendiri ke sepuluh tetangga terdekat. Tidak perlu masak sendiri, cukup pesan setengah jam di warung padang mana pun.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Kalau saja tidak terlaksana dengan sederhana, maka mereka tak bakal kumpul kembali. Begitu banyak mantan pasutri yang bercerai dan sebenarnya menyesali kesalahan masing-masing dan siap rujuk kembali. Namun tidak semudah itu, artinya tidak sesederhana itu. Mengapa? Karena memang tidak dibuat sederhana. Ada begitu banyak faktor dan juga pihak yang membuatnya tidak lagi sederhana. Akhirnya mereka harus hidup terpisah dengan label single parent. Dan tentu bagi sebagian dijalani dengan getir dan babak belur, persis seperti Ayah Imad. Ya, getir dan babak belur secara lahir dan batin.
Menurut catatan WHO, di seluruh dunia setiap tahun ada lebih dari 680 ribu kasus bunuh diri atau suicide karena depresi (WHO Report, 2018). Artinya ada sekitar 2.000 orang tewas karena bunuh diri setiap jam di seluruh dunia. Faktor penyumbang utama dari statistik yang mengenaskan ini adalah depresi karena tekanan hidup dan persoalan rumah tangga. Pasangan yang alkoholik, KDRT, perceraian, broken home, broken haert, lost generation, narkoba, dan seterusnya.
Andai saja bisa urusan nikah ini kita buat sederhana. Memang bukan berarti menyelepelekan. Life is simple, but not just easy. Sederhana niatnya, sederhana prosesnya dan sederhana pasca nikahnya. Mungkin dunia akan lebih baik bila urusan paling pokok dalam hidup manusia ini dibawa kembali kepada fitrahnya.
Untuk menjadikannya sederhana perlu upaya ekstra. “Simplicity is the ultimate sopihististication.” Kesederhanaan adalah kecanggihan yang tertinggi. Ini quotes dari orang paling kreatif yang pernah hidup di muka bumi yaitu Leonardo Da Vinci.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Da Vinci berkreasi di berbagai bidang seni, filsafat, sastra, ilmu pasti alam yang murni sampai terapan. Dia menemukan bahwa semua kompleksitas dari proses kreatifnya berujung pada inovasi yang menyederhanakan dan memudahkan hidup manusia. Artinya, sebuah inovasi tertinggi itu mudah dipahami, mudah diproduksi dan mudah digunakan untuk kebaikan hidup.
Selaras dengan Da Vinci, seorang guru besar ilmu statistik Indonesia yaitu Profesor Sutrisno Hadi mengatakan bahwa orang pintar itu bukan yang kata-katanya sulit dimengerti, melainkan orang yang mampu membuat sesuatu yang rumit atau sulit jadi mudah dan dapat dipahami orang awam. Data statistik yang full angka dan formula tak bakal dilirik orang, tetapi saat seorang seniman disain grafis menayangkannya dalam bentuk info-grafis maka semua mengunyahnya dengan nikmat bahkan mendorong munculnya berbagai analisis kreatif. Bila terus dikawal suatu analisis kreatif, tidak mustahil mencapai hadirnya inovasi dan pembaharuan teori di bidang sains.
Betapa banyak persoalan muncul dalam hidup kita karena kita gagal melihat hidup dengan sederhana. Kita terlalu membebani hidup dengan berbagai ambisi yang bukan membuatnya jadi mewah dan penuh warna, melainkan justru membuatnya rumit dan sulit.
Mudahkanlah, jangan bikin sulit. Ini pesan Nabi Muhammad kepada setiap muridnya yang diutus untuk berdakwah dan mengajar di berbagai penjuru dunia. Artinya, untuk membuat jadi mudah buat para murid setiap guru harus melakukan upaya ekstra. Juga mengerahkan proses kreatif ala Da Vinci sehingga materi atau persoalan sesulit apa pun dapat diterima dengan menyenangkan. Ini bagian dari misi Islam sebagai rahmat buat semesta raya. Dunia sudah dipenuhi berbagai kesulitan maka adalah tugas para ulama, pendakwah, guru, cendikiawan dan para pemimpin bangsa mengurainya jadi kemudahan buat manusia.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Pandemi COVID-19 ini pun mengajarkan kita untuk kembali hidup sederhana. Ternyata merumahkan orang sepenuh bumi justru menyelamatkan masa depan bumi dan ras manusia. WFH memaksa negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, terutama China, menurunkan produksi masifnya. Alhasil itu dapat menurunkan emisi karbondioksida dengan signifikan. Carbon Brief (2020) melaporan bahwa hal ini terjadi sejak pertengahan Februari lalu 2020. Lapisan Ozon terkoreksi dan langit kembali biru. Burung-burung, bunga dan kupu-kupu bermunculan di tengah kota. Ini berkah hidup sederhana.
Kita dipaksa sederhana justru di puncak capaian teknologi “internet of everything”. Tak lagi harus memaksa pabrik-pabrik megawatt berproduksi atau jaringan transportasi massal beroprasi. Sungguh ini berkah hidup sederhana. (AK/P2/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan