KAZAKHSTAN merupakan negara terbesar di Asia Tengah dengan luas lebih dari 2,7 juta kilometer persegi dan terbesar kesembilan di dunia.
Terletak di persimpangan Asia dan Eropa, Kazakhstan telah menjadi saksi pertemuan berbagai peradaban dan kekuatan besar dunia. Dari jejak kerajaan kuno hingga era modern yang penuh transformasi, masyarakat Kazakhstan terus mempertahankan identitas unik yang membanggakan.
Wilayahnya yang didominasi padang rumput (steppe), pegunungan, dan gurun luas telah membentuk karakter masyarakat Kazakh yang keras, tangguh, dan mandiri. Hidup di alam liar yang keras menuntut masyarakat untuk memiliki keterampilan bertahan, rasa saling bantu, dan mobilitas tinggi.
Sejarah bangsa Kazakh dimulai pada abad ke-15 ketika terbentuknya Khanat Kazakh, yang menyatukan berbagai suku dan klan yang sebelumnya sering berkonflik. Khanat menjadi simbol awal persatuan dan cikal bakal identitas nasional Kazakh. Mereka membangun sistem sosial yang terstruktur, dengan tradisi adat yang dipegang erat sebagai pedoman hidup.
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
Pada abad ke-18, Kazakhstan masuk dalam pengaruh Kekaisaran Rusia. Banyak pemimpin suku yang harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolonial, meskipun perlawanan tetap terjadi. Sejarawan Martha Brill Olcott dalam bukunya The Kazakhs (1995) menyebutkan bahwa masa ini menjadi titik penting dalam perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Kazakh, di mana tradisi nomaden mulai terganggu.
Masa Soviet, yang dimulai pada 1936 ketika Kazakhstan menjadi Republik Soviet Sosialis, membawa kebijakan kolektivisasi pertanian dan upaya modernisasi paksa. Banyak tradisi adat dan kegiatan keagamaan ditekan. Namun, di balik tekanan tersebut, masyarakat tetap menjaga nilai tradisi dalam ruang pribadi, terutama di dalam keluarga.
Setelah merdeka pada 1991, Kazakhstan berupaya membangun identitas nasional yang memadukan semangat modern, nilai tradisi, dan kebudayaan Islam. Pemerintah mendorong penguatan bahasa Kazakh, pemulihan festival adat, serta penghargaan terhadap tokoh budaya seperti Abai Qunanbaiuly sebagai inspirasi bangsa.
Tradisi Nomaden, Yurts, Kokpar dan Beshbarmak
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Budaya nomaden adalah ciri khas yang membedakan masyarakat Kazakh dari bangsa lain di Asia Tengah. Tradisi menggembala ternak di padang steppe membentuk pola hidup yang sangat bergantung pada alam. Kuda dianggap sebagai “sayap” orang Kazakh, simbol kebebasan dan harga diri. Masyarakat percaya bahwa keberhasilan seseorang dapat diukur dari keterampilan mengendalikan kuda.
Yurt atau kiiz ui menjadi simbol paling menonjol dalam budaya nomaden. Yurt bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga pusat kehidupan sosial, tempat berkumpul keluarga besar, serta ruang pelaksanaan upacara penting. Menurut Kazakh National Encyclopedia, struktur yurt melambangkan dunia kosmos, dengan atap bulat sebagai simbol langit dan lantai bundar sebagai simbol bumi.
Permainan kokpar, yaitu permainan berkuda yang menggunakan bangkai kambing sebagai bola, melatih kekuatan, kelincahan, dan kerja sama. Tradisi ini masih dilestarikan, terutama saat perayaan besar seperti Nauryz. Kokpar dianggap sebagai ajang unjuk keberanian dan solidaritas antarklan.
Kuliner tradisional juga erat kaitannya dengan kehidupan nomaden. Hidangan beshbarmak, yang berarti “lima jari”, dimakan langsung dengan tangan, mencerminkan keakraban dan kebersamaan. Minuman kumis, susu kuda fermentasi, dipercaya memperkuat daya tahan tubuh dan sudah dinikmati sejak ribuan tahun lalu.
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
Ritual Tusau kesu, memotong tali di kaki anak yang mulai berjalan, menandai kebebasan langkah pertama dalam hidup. Tradisi ini menunjukkan harapan agar anak kelak tumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan kuat, sesuai dengan karakter masyarakat steppe yang berjiwa petualang dan berani menghadapi tantangan.
Budaya Kazakhstan adalah hasil perpaduan tradisi nomaden, pengaruh Islam, dan unsur-unsur budaya Rusia serta Timur Tengah. Musik tradisional memainkan peran penting dalam keseharian masyarakat. Alat musik dombra, dengan dua senar, menjadi ikon nasional. Lagu-lagu yang dimainkan menggunakan dombra, seperti Kozimnin Karasy karya Abai, berisi pesan moral, kerinduan, serta pujian terhadap alam.
Seni aitys, atau berbalas puisi spontan, masih sangat populer. Para akyn (penyair) beradu kecerdasan, kreativitas, dan keberanian dalam mengekspresikan kritik sosial secara terbuka. Tradisi ini menjadi sarana menjaga semangat literasi lisan, menyampaikan keluh kesah masyarakat, serta mempererat solidaritas. Dalam festival budaya, aitys selalu menjadi acara utama yang ditunggu-tunggu.
Baca Juga: Rendah Hati di Zaman yang Mengagungkan Eksistensi
Pakaian tradisional Kazakh biasanya dibuat dari wol, kulit, atau sutra, dengan bordir khas yang memiliki makna filosofis. Motif pada pakaian perempuan sering menggambarkan doa, perlindungan, dan harapan untuk kesuburan atau kebahagiaan keluarga. Pada perayaan tertentu, laki-laki memakai chapan (jubah panjang) dan topi berbulu borsyk, yang menunjukkan status sosial.
Kerajinan tangan seperti karpet (kilim), bordir, dan perhiasan perak juga menjadi bagian penting budaya Kazakh. Perempuan memainkan peran besar dalam menjaga warisan ini. Seperti dikatakan perajin tradisional Aigerim Nurzhan dalam wawancara Kazinform (2023), “Setiap jahitan punya cerita, setiap motif adalah doa untuk anak cucu kita.”
Festival Nauryz, perayaan tahun baru musim semi yang jatuh pada 21 Maret, menjadi puncak ekspresi budaya. Pada perayaan ini, masyarakat mengenakan pakaian tradisional, mendirikan yurt, saling berbagi hidangan, serta menggelar lomba tradisi seperti kokpar, adu gulat, dan tarian rakyat. Menurut Kazakh National Encyclopedia, Nauryz dianggap sebagai simbol kelahiran kembali, persatuan, dan harapan baru.
Abai Qunanbaiuly: Guru Moral Bangsa
Baca Juga: Belajar Memaafkan Meski Hati Belum Ikhlas
Abai Qunanbaiuly lahir pada 1845 di wilayah Chinghiz Tau, Kazakhstan Timur. Ia dibesarkan dalam keluarga terpandang yang mendalami adat dan keagamaan. Sejak kecil, Abai menunjukkan minat mendalam pada sastra Timur, filsafat, serta karya sastra Rusia, yang kelak membentuk gaya berpikirnya yang terbuka dan kritis.
Sebagai seorang filsuf, Abai mendorong masyarakat Kazakh untuk lebih terbuka terhadap pengetahuan baru dan menjauhi fanatisme sempit. Dalam karyanya “Kara Sozder”, Abai menulis, “Kecintaan pada ilmu adalah syarat utama menjadi manusia yang berguna.” Buku ini berisi 45 esai pendek yang membahas moral, pendidikan, serta kritik sosial, dan dianggap sebagai “kitab etika” bagi bangsa Kazakh.
Abai juga dikenal sebagai komponis yang menggubah lagu-lagu bermuatan pesan moral. Lagu Kozimnin Karasy adalah contoh bagaimana musik dijadikan media introspeksi. Abai sering tampil dengan dombra untuk menyampaikan pesan sosial secara lebih emosional dan menyentuh.
Selain seni, Abai aktif menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Kazakh. Ia menerjemahkan karya Puškin, Goethe, hingga Lermontov. Langkah ini bertujuan agar masyarakat Kazakh dapat memahami nilai-nilai universal dan memperluas cakrawala berpikir. Menurut Kazinform (2023), Abai adalah “jembatan antara Timur dan Barat bagi bangsa Kazakh.”
Baca Juga: Jangan Hanya Islam di KTP, Jadikan Islam di Hati
Zharmakhan Tuyakbay, peneliti budaya Kazakhstan, menyebut Abai sebagai “guru moral” bangsa. “Abai bukan hanya pujangga, tapi pemandu spiritual yang mengajarkan cara hidup seimbang antara tradisi, agama, dan ilmu pengetahuan,” ujarnya dalam wawancara bersama Kazinform.
Islam dan Peranannya di Kazakhstan
Islam masuk ke Kazakhstan pada abad ke-8 hingga ke-12 melalui pedagang dan ulama dari Asia Tengah. Awalnya, masyarakat Kazakh memeluk kepercayaan Tengrism (kepercayaan pada roh alam dan langit), sebelum perlahan beralih ke Islam. Proses islamisasi semakin menguat pada abad ke-15 bersamaan dengan berdirinya Khanat Kazakh.
Pada masa penjajahan Rusia dan kemudian masa Soviet, praktik Islam ditekan. Kebijakan anti-agama menyebabkan banyak masjid ditutup, kitab suci dilarang, dan pendidikan agama dihentikan. Namun, masyarakat Kazakh tetap mempertahankan ajaran Islam di lingkup keluarga. Upacara keagamaan tetap dijalankan secara diam-diam, termasuk membaca doa dan menjaga tradisi khitan.
Baca Juga: Ini Cara Islam Memberantas Judi Online di Kalangan Rakyat Kecil
Setelah kemerdekaan pada 1991, Kazakhstan mengalami kebangkitan spiritual. Pemerintah mendukung pembangunan masjid dan pembukaan sekolah agama. Menurut Pew Research Center (2017), sekitar 70% penduduk Kazakhstan mengidentifikasi diri sebagai Muslim, meskipun praktik keagamaannya cenderung moderat.
Islam di Kazakhstan lebih menekankan aspek moral dan sosial. Banyak masyarakat mengaitkan ajaran Islam dengan nilai tradisi Kazakh, seperti rasa hormat pada orang tua, kebersamaan, dan kerendahan hati. Abai sendiri menekankan pentingnya Islam yang rasional dan damai. Dalam Kara Sozder, ia menulis, “Beragama bukan sekadar ritual, melainkan menjaga hati agar tetap suci dan pikiran tetap jernih.”
Hingga kini, Islam di Kazakhstan menjadi perekat sosial yang membantu memperkuat identitas bangsa. Festival-festival keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha dirayakan dengan penuh kegembiraan, sejalan dengan nilai adat yang mengutamakan kebersamaan. Islam dan tradisi lokal berpadu, menciptakan harmoni budaya yang unik.
Kazakhstan berhasil memadukan sejarah panjang, tradisi nomaden, kebudayaan, dan ajaran Islam menjadi satu identitas nasional yang solid. Tradisi seperti yurt, kokpar, aitys, hingga upacara Tusau kesu tetap dijaga, meski di tengah modernisasi kota-kota besar seperti Astana dan Almaty.
Baca Juga: Al-Quds Gerbang Bumi Menuju Surga
Budaya Kazakhstan sangat kaya, dari dombra hingga pakaian bordir khas, dari karpet kilim hingga festival Nauryz yang penuh warna. Semua ini memperlihatkan upaya kolektif masyarakat untuk mempertahankan nilai lama tanpa menolak kemajuan. Kerajinan tradisional yang diwariskan para perempuan pun menjadi simbol ketekunan dan doa bagi generasi berikutnya.
Abai Qunanbaiuly menjadi sosok sentral yang merajut semua unsur tersebut. Dengan Kara Sozder dan karya musiknya, Abai memberikan pondasi moral untuk menghadapi tantangan global. Monumen, universitas, hingga festival sastra yang mengusung namanya menjadi bukti bagaimana seorang tokoh bisa terus hidup dalam memori kolektif bangsa.
Islam, yang dulu ditekan pada masa Soviet, kini tumbuh dengan corak moderat yang memprioritaskan harmoni. Tradisi Islam dan adat berjalan beriringan, memperkuat solidaritas, serta menjadi benteng moral yang membentengi generasi muda dari krisis identitas.
Seperti pesan Abai, “Jika ingin melihat masa depan bangsa, lihatlah akhlak anak mudanya.” Pesan ini tetap relevan, menjadi pengingat bahwa membangun bangsa tidak hanya soal ekonomi dan teknologi, melainkan juga tentang menjaga jiwa, warisan, dan hati yang bersih. []
Baca Juga: 20 Tahun BDS, Konsisten Serukan Aksi Global Akhiri Apartheid Israel
Mi’raj News Agency (MINA)