Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Kelam David Ben-Gurion: Zionisme, Penjajahan, dan Penderitaan Palestina

Bahron Ansori Editor : Rudi Hendrik - 1 jam yang lalu

1 jam yang lalu

9 Views

David Ben Gurion, otak dibalik kehancuran Palestina (foto: ig)

DAVID Ben-Gurion adalah tokoh utama di balik berdirinya negara Israel pada tahun 1948, tetapi sejarah mencatat banyak kontroversi dan kejahatan yang menyertai perjuangannya. Sebagai pemimpin gerakan Zionis, ia bertanggung jawab atas pembersihan etnis warga Palestina, pengusiran massal, dan berbagai kebijakan represif yang menindas penduduk asli Palestina.

Di bawah kepemimpinannya, pasukan Zionis melancarkan berbagai serangan brutal terhadap desa-desa Palestina dalam Perang 1948, termasuk peristiwa Nakba, di mana ratusan ribu warga Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka. Ben-Gurion juga membiarkan aksi teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata seperti Haganah, Irgun, dan Lehi, yang melakukan pembantaian terhadap warga sipil, seperti yang terjadi di Deir Yassin.

David Ben-Gurion lahir dengan nama David Grün pada 16 Oktober 1886 di Plonsk, Kekaisaran Rusia (sekarang Polandia). Ia berasal dari keluarga Yahudi yang aktif dalam gerakan Zionis. Ayahnya, Avigdor Grün, adalah seorang pengacara dan aktivis Zionis, yang menginspirasi Ben-Gurion untuk berjuang demi pembentukan negara Yahudi di Palestina.

Sejak muda, Ben-Gurion telah menunjukkan ketertarikan pada gerakan Zionisme. Ia bergabung dengan kelompok sosialis Zionis Poale Zion dan terlibat dalam kegiatan politik. Pada tahun 1906, ia pindah ke Palestina yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Baca Juga: Mengenang 29 Tahun Kesyahidan Yahya Ayyash, Insinyur Pejuang Pemberani

Setibanya di Palestina, Ben-Gurion bekerja sebagai buruh pertanian di pemukiman Yahudi. Pengalaman ini mengokohkan keyakinannya akan pentingnya tenaga kerja Yahudi dalam pembangunan tanah air. Ia juga terlibat dalam organisasi tenaga kerja Yahudi dan menjadi salah satu pemimpin serikat buruh Histadrut.

Selama Perang Dunia I, Ben-Gurion diusir oleh otoritas Utsmaniyah karena aktivitas Zionisnya. Ia kemudian pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1915, di mana ia berupaya mendapatkan dukungan dari komunitas Yahudi di sana. Selama di Amerika, ia juga menikah dengan Paula Munweis, seorang Yahudi Amerika, yang mendampinginya dalam perjuangan politik.

Setelah Perang Dunia I, Ben-Gurion kembali ke Palestina, yang saat itu berada di bawah mandat Inggris. Ia semakin aktif dalam politik dan menjadi pemimpin utama gerakan buruh Yahudi. Pada tahun 1930, ia mendirikan partai politik Mapai, yang kemudian menjadi kekuatan dominan dalam politik Yahudi di Palestina.

Pada periode 1930-an dan 1940-an, Ben-Gurion terlibat dalam perjuangan melawan kebijakan Inggris di Palestina. Ia mendukung imigrasi besar-besaran Yahudi, terutama setelah Holocaust di Eropa. Ia juga berperan dalam membangun Haganah, sebuah organisasi pertahanan Yahudi yang kelak menjadi cikal bakal Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Baca Juga: Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Kunci Sanad Ulama Nusantara

Puncak perjuangan Ben-Gurion terjadi pada 14 Mei 1948, ketika ia membacakan Deklarasi Kemerdekaan Israel di Tel Aviv. Sehari setelah deklarasi ini, negara-negara Arab langsung menyerang Israel, yang memulai Perang Arab-Israel 1948.

Sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan pertama Israel, Ben-Gurion memimpin upaya pertahanan negara yang baru lahir ini. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Israel berhasil mempertahankan wilayahnya dan bahkan memperluas batas-batas negara.

Setelah perang, Ben-Gurion berfokus pada pembangunan negara. Ia mendorong imigrasi massal Yahudi dari berbagai belahan dunia, terutama dari Eropa dan negara-negara Arab. Ia juga menekankan pembangunan ekonomi dan militer Israel.

Konflik dengan Kelompok Oposisi

Baca Juga: Teungku Chik di Awe Geutah, Jejak Sumur Penawar dan Zamzam dari Tanah Arab

Ben-Gurion sering berselisih dengan kelompok Zionis lain, seperti Irgun dan Lehi, yang menentang pendekatannya terhadap Inggris dan strategi politiknya. Salah satu insiden terkenal adalah peristiwa Altalena pada tahun 1948, ketika Ben-Gurion memerintahkan pemboman kapal yang membawa senjata untuk Irgun, kelompok bersenjata Zionis sayap kanan.

Sebagai pemimpin negara, Ben-Gurion menerapkan kebijakan sosialisme demokratis dengan menekankan peran negara dalam ekonomi. Ia memperkuat Histadrut sebagai organisasi buruh dan mendorong industrialisasi serta pembangunan infrastruktur di Israel.

Pada tahun 1953, Ben-Gurion secara mengejutkan mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri dan menetap di kibbutz Sde Boker, di Gurun Negev. Namun, pada tahun 1955, ia kembali ke dunia politik dan sekali lagi menjabat sebagai perdana menteri hingga 1963.

Salah satu peristiwa besar di masa jabatan keduanya adalah Krisis Suez 1956, ketika Israel bekerja sama dengan Inggris dan Prancis untuk menyerang Mesir setelah nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Gamal Abdel Nasser. Meskipun Israel meraih kemenangan militer, tekanan internasional memaksa mereka menarik diri dari Sinai.

Baca Juga: Sri Aminah, Ikan Asin, dan Kisah ‘Kebersamaan yang Meredup’

Pada tahun 1965, Ben-Gurion mengalami perpecahan dengan partai Mapai dan mendirikan partai baru, Rafi. Namun, pengaruh politiknya mulai melemah, dan ia akhirnya pensiun dari politik aktif pada tahun 1970.

Tahun-Tahun Akhir

Setelah pensiun, Ben-Gurion menghabiskan waktunya di kibbutz Sde Boker, menulis dan mengajar. Ia tetap menjadi tokoh yang dihormati di Israel, meskipun beberapa kebijakannya masih menjadi kontroversi.

David Ben-Gurion meninggal pada 1 Desember 1973 dalam usia 87 tahun. Ia dimakamkan di Sde Boker, tempat ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Warisannya sebagai pendiri Israel tetap kuat, dan banyak institusi serta jalan di Israel dinamai untuk menghormatinya.

Baca Juga: Abu Ishaq Al-Amiry; Sufi Pendiri Dayah Ulee Titi Aceh Besar

Warisan David Ben-Gurion bukan hanya berdirinya Israel, tetapi juga jejak luka yang tak terhapus dari sejarah Palestina. Ribuan bahkan jutaan nyawa melayang, jutaan orang kehilangan tanah airnya, dan generasi demi generasi hidup dalam penderitaan akibat ambisi busuknya.

Dari reruntuhan desa-desa yang dihancurkan hingga tangisan para pengungsi yang terusir, setiap langkahnya meninggalkan jejak derita yang tak terbayarkan. Ia mungkin dipuja sebagai pendiri Israel, tetapi bagi rakyat Palestina, namanya akan selalu dikenang sebagai arsitek penjajahan, pemusnah harapan, dan simbol kezaliman yang menorehkan luka abadi dalam sejarah kemanusiaan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Thohriyah, Keluar dari PNS Berdakwah Menemani Suami

Rekomendasi untuk Anda