Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-11
Pada tahun 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin.
Selain itu, Jacob Mossel pun segera mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra mahkota. Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan mempertegas kekuasaan VOC atas Banten.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Sementara itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan serangan-serangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti.
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-12
Pada tahun 1753 Pangeran Gusti putra Sultan Banten ke-10 keponakan Sultan Banten ke-11, dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773). Beliau Wafat pada tahun 1773.
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-13
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pada tahun 1773 Sultan Abu Nasr Muhammad Syifa’ Zainul Asyikin wafat dan digantikan oleh putra beliau bergelar Sultan Abul Mufakhir Muhammad Aliyuddin I yang memimpin dari tahun 1773-1799. Sultan Aliyuddin I beralias Sultan Gemuk merupakan pula ulama dan berkarya mengarang wawasan-wawasan tentang agama, perjuangan Islam dan menulis kisah para Ambia dan Aulia.
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-14
Pada tahun 1799, Sultan Aliyuddin I wafat dan digantikan dengan adik beliau Pangeran Muhyiddin yang bergelar Sultan Abdul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussolikhin.
Perpindahan tahta kepada adik bukannya putra dikarenakan putra-putra Sultan Aliyuddin I, meskipun ada namun tidak ada yang berasal dari ibu permaisuri melainkan dari selir sehingga sesuai pakem pewarisan tahta kesultanan Banten yang mensyaratkan diutamakannya keturunan pewaris tahta dari ibu yang permaisuri, kepewarisan tahta lantas berpindah kepada adik Sultan Sebelumnya yang satu ayah dan satu ibu yang permaisuri.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Beliau Tidak lama menjabat dikarenakan wafat pada tahun 1801 dan meninggalkan putra yang masih bayi, yang kelak beberapa tahun kemudian akan naik tahta denga gelar Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin (Sultan Penuh Banten ke-17).
Salah satu saat bersejarah pada masa kekuasaan Sultan Banten Zainussolikhin adalah saat pembubaran VOC tahun 1799 sehingga mulai di masa ini hubungan politik dan ekonomi maupun perselisihan antara Kesultanan Banten tidak lagi dengan pihak VOC/Kompeni namun langsung dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-15
Pasca wafatnya Sultan Penuh Banten ke-14, tahta Kesultanan Banten kembali berpindah kepada keturunan Sultan Aliyuddin I (Sultan Penuh Banten ke-13) yakni kepada putranya yang bergelar Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin atau keponakan dari Sultan Penuh Banten ke-14.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Beliau menentang tindakan-tindakan Kompeni Belanda yang melukai hati jiwa Kebantenan. Beliau bertahta hanya satu tahun dari tahun 1801-1802, kemudian pada tahun 1802-1803 administrasi Kesultanan Banten dipegang oleh care taker Sultan Wakil Pangeran Natawijaya.
Dalam sebagian tulisan mengenai sejarah Kesultanan Banten, yang menyerakan para care taker Sultan Wakil sebagai Sultan Banten. Care taker Sultan Wakil Pangeran Natawijaya biasa disebut sebagai Sultan Banten ke-17. Sedangkan Sultan Penuh Banten ke-15 diurutkan sebagai Sultan Banten ke-16 dan Sultan Penuh Banten ke-16 diurutkan sebagai Sultan Banten ke-18.
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-16
Tahun 1803 kesultanan kembali kepada dipegang oleh pewaris tahta Putra Sultan Penuh Banten ke-13, keponakan Sultan Penuh Banten ke-14, adik Sultan Penuh Banten ke-15; yakni Sultan Abul Mufakhir Muhammad Aqiluddin/Aliyuddin II yang memimpin dari tahun 1803-1808.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Mulai tahun 1807, Belanda dikuasai oleh Perancis. Louis Napoleon adik Kaisar Napoleon Bonaparte Perancis diberi kekuasaan atas Belanda dan mengangkat Herman Williams Daendels sebagai Gubernur di Kepulauan Nusantara atau Gubernur Hindia Belanda.
Daendels datang ke Batavia tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India, untuk tugas tersebut Daendels berencana membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dengan mempekerjakan masyarakat Banten dengan sistem Kerja Paksa atau Rodi.
Sultan Aqiluddin/Aliyuddin II sempat menentang tuntutan Belanda atas sistem kerja paksa. Lantas Daendels mengutus Komandeur Philip Pieter Du Puy dan pasukannya ke Istana Surasowan untuk mendorong Sultan menyetujui tuntutan Belanda, hal ini mendorong kemarahan rakyat Banten sehingga Du Puy dibunuh di depan pintu gerbang Surasowan.
Daendels membalas menyerang Surasowan pada hari itu juga yakni 22 November 1808 dengan serangan kejutan yang berhasil merebut Surasowan. Sultan dibuang ke Ambon, Patih Mangkubumi dihukum pancung dan jasadnya dibuang ke laut.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Masa Raja/Sultan Penuh Banten ke-17
Dengan dibuangnya Sultan Banten Aliyuddin II, maka dari keluarga besar Trah Kesultanan Banten dilantiklah pewaris tahta putra Sultan Penuh Banten ke-14 sebagai Sultan Penuh Banten ke-17 dari garis ibu yang permaisuri (Ratu Aisiyah), kembali sesuai keutamaan pakem pewaris tahta kesultanan Banten, dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin. Beliau adalah saudara sepupu Sultan Penuh Banten ke-15 dan ke-16.
Beliaulah yang merupakan Sultan Penuh Terakhir Banten Berdaulat dari garis keturunan pewaris tahta resmi Kesultanan Banten.
Dikarenakan dianggap belum dewasa dan masih dalam tahap pendidikan dan persiapan kepemimpinan sebagai Sultan maka secara administratif diangkatlah care take Sultan Wakil Pangeran Suramenggala yang menjabat tahun 1808-1809.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Dalam sebagian penulisan sejarah Kesultanan Banten yang menyertakan para care taker Sultan Wakil sebagai Sultan Banten; care taker Sultan Wakil Pangeran Suramenggala kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke- 19, sebelumnya Sultan Penuh Banten ke-16 diurutkan sebagai Sultan Banten ke-18 dan Sultan Penuh Banten ke-17 kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke-20.
Ketika telah dewasa Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin menikah dengan Ratu Putri Fatimah binti Pangeran Ahmad bin Sultan Aliyuddin I (Sultan Penuh Banten ke-13) sebagai penanda pengakuan keluarga dari keturunan Sultan Aliyuddin I atas hak dan sahnya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai pewaris tunggal Kesultanan Banten.
Dikarenakan ketidak puasan rakyat terhadap Belanda yang menindas, sering terjadi perlawanan kepada Belanda, untuk melemahkan perlawanan rakyat, Banten dibagi ke dalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten yakni: Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin kala itu ditunjuk Belanda untuk memimpin Banten Hulu.
Sedangkan untuk kepentingan politis, Belanda juga menunjuk suami dari bibi Sultan Shafiuddin, yakni Joyo Miharjo dari Rembang suami Ratu Arsiyah bibi Sultan Shafiuddin sebagai Bupati Banten Hilir dengan gelar Sultan Tituler Bupati Muhammad Rafiuddin.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Hal ini membuat beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah Kesultanan Banten bahwa Sultan Terakhir Kesultanan Banten adalah Sultan Rafiuddin yang disalah kira sebagai anak Sultan Shafiuddin. Padahal Rafiuddin bukan pewaris sah keturunan para Sultan Banten melainkan orang Rembang yang diberikan pangkat (Tituler) oleh Belanda sebagai Bupati dengan Gelar Sultan Bupati.
Adapun anak-anak dari Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin adalah:
- Pangeran Surya Kumolo;
- Pangeran Surya Kusumo;
- Ratu Ayu Kunthi; dan
- Pangeran Timoer Soerjaatmadja.
Anak-anak Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sempat disalah kira dalam beberapa penulisan sebagai anak dari Sultan Tituler Bupati Rafiuddin. Hal ini dikarenakan masyhur dikenal bahwa merekalah anak- anak Sultan Terakhir Banten namun terjadi kesalahfahaman mengenai Sultan Terakhir Banten yang resmi dari trah Kesultanan Banten yang semestinya pada Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, bukan pada nama Rafiuddin dari Rembang yang sekedar Sultan Tituler Bupati diangkat Belanda dan bukan dari keturunan para Sultan Banten.
Semenjak tahun 1809, Wilayah Banten sudah banyak diotak-atik penjajah Asing dengan pembagian- pembagian wilayah yang meminimalisir kekuatan pengaruh Kesultanan Banten dan untuk memperlemah perlawanan Rakyat Banten yang seringkali terus melawan.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Pada saat terjadi peralihan kekuasaan di Nusantara dari Belanda kepada Inggris, diakibatkan kekalahan Napoleon Perancis kepada Inggris. Gubernur Thomas Stanford Rafles dari pemerintahan Inggris tahun 1813 membagi wilayah Banten menjadi empat Kabupaten yakni Banten Lor (Banten Utara kelak menjadi Kabupaten Serang), Banten Kidul (Banten Selatan kelak menjadi Kabupaten Caringin yang pada tahun 1907 masuk ke dalam Kabupaten Pandeglang), Banten Tengah (Kelak menjadi Kabupaten Pandeglang) dan Banten Kulon (Banten Barat kelak menjadi Kabupaten Lebak). Pada tahun 1816 kekuasaan dikembalikan dari Inggris kepada Belanda.
Pada tahun 1832 dikarenakan adanya perlawanan dari rakyat Banten yang terus menerus kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama dengan adanya Bajak Laut Selat Sunda.
Pemerintah Belanda menganggap adanya bantuan Kesultanan Banten dalam perlawanan tersebut, sehingga pada tahun tersebut Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dan keluarga dibuang Belanda ke Surabaya hingga wafatnya di tahun 1899 dan dimakamkan di Pemakaman Boto Putih Surabaya di seberang pemakaman Sunan Ampel. (R05/R02)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)