Oleh : Tubagus Nurfadhil Azmatkhan Al-Husaini, Pengurus Besar PATRAH Kesultanan Banten dan Rabitah Azmatkhan Al-Husaini
Masa Raja Ke-1 Banten
Pangeran Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati Cirebon merupakan orang pertama yang menyusun kekuatan dan kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri.
Pangeran Hasanudin-lah yang memerdekakan Banten dari Demak sehingga menjadi kerajaan yang merdeka. Sebelumnya pada masa (1526-1552), Banten merupakan kerajaan vazal Kesultanan Demak.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Dalam membangun, Hasanudin menekankan pada bidang spiritual dan material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran agama Islam yang dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552.
Sementara itu, bidang material dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan kegiatan perniagaan dan pertanian yang telah ada serta mempertahankan kedudukan dan peranan Banten sebagai kota pelabuhan.
Jalur niaga Banten semakin banyak dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Ketika Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama dengan Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil menguasai pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527 untuk menggagalkan usaha Portugis yang rentan untuk menduduki Pulau Jawa, sebagaimana kependudukan Portugis di selat Malaka dan Maluku.
Keberhasilan itu ditandai dengan diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai strategis dari peristiwa ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan perjanjian dengan Raja Sunda.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Beberapa daerah di luar Pulau Jawa yakni Lampung, Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat, berhasil dimasukkan juga ke dalam wilayah Banten, agar Banten dapat menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas kebun lada.
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun Keraton Surosowan dan dikenal oleh rakyatnya sebagai penguasa yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah ia wafat, rakyatnya memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan Sabakinking. Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa Maulana Hasanudin sangat bijaksana. Sepeninggalnya (Seda/Seba/Saba) rakyat Banten berduka dan merindukan kebijaksanaannya. (Kinking, rindu akan kebijaksanaan)
Masa Raja ke-2 Banten
Maulana Hasanuddin kemudian digantikan oleh putra beliau Maulana Yusuf sebagai penguasa Banten kedua yang memerintah tahun 1570-1580. Hasil karya beliau antara lain mendirikan pesantren-pesantren untuk syiar Islam di Banten, membangun tembok Keraton Surasowan dan membangun sawah percobaan “tandur” dan peng-irigasian.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pemerintahan masa itu menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan, pertanian, dan perluasan wilayah Kesultanan Banten. Dalam upaya perluasan wilayah, daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu Cirebon dengan berhasil dibawanya Batu Penobatan Raja-Raja Sunda ke Banten, yakni Watu Gilang. Para ponggawa yang ditaklukkan lalu diislamkan dan dibiarkan memegang jabatannya semula.
Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian. Proses selanjutnya adalah ditetapkannya batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan Cirebon, yaitu Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Masa Raja Banten ke-3
Sepeninggalnya Maulana Yusuf, Kesultanan Banten sempat dilanda konflik perebutan tahta. Muhammad Nasrudin selaku putera dari Maulana Yusuf baru berusia sembilan tahun ketika Maulana Yusuf meninggal dunia. Pangeran Jepara merasa dirinya lebih berhak atas tahta Banten karena ia adik Maulana Yusuf satu ayah satu ibu dan lebih dewasa dan kompeten dibanding keponakannya yang masih kecil.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Namun upaya Pangeran Jepara berhasil dihentikan, karena dukungan penuh kaum ulama kepada Maulana Muhammad untuk menduduki tahta Banten meskipun usianya belum cukup dewasa. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, segala urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi dan sebagai penguasa Banten, Maulana Muhammad berada di bawah bimbingan seorang kadi (hakim agung).
Demikianlah, Maulana Muhammad menduduki tahta Banten menggantikan Maulana Yusuf yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596). Maulana Muhammad berniat untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten dengan cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat Malaka, namun sebelum upaya tersebut berhasil beliau lebih dahulu meninggal dunia di Palembang. Setelah dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten, Maulana Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Masa Raja/Sultan Banten ke-4
Sepeninggal Maulana Muhammad, tahta Kesultanan Banten diserahkan kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan, sehingga sampai dengan ia dewasa, kepemimpinan Kesultanan Banten dipegang oleh para Wali pengasuhnya sebagai Patih Mangkubumi Kesultanan Banten.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Pada bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia dipandang sudah cukup dewasa.
Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Selain itu, ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Sultan Abdul Mufakhir dapat bersikap tegas misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC Belanda yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam, seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia sejak 1619. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.
Pada tahun 1636, beliau beserta sang putra mahkota, dari Syarif Mekah dengan otorisasi Kesultanan Turki memberikan pengesahan gelar Sultan kepada beliau dan putra mahkota. Dengan demikian beliau adalah Raja Islam di Nusantara yang pertama kali resmi menggunakan gelar Sultan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Beliau juga seorang alim Ulama yang saleh dan ahli dalam bidang tasawuf. Beliau meninggalkan karya tulis yang berjudul Insan Kamil.
Pada 10 Maret 1651 beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Kenari Banten.
Masa Raja/Sultan Banten ke-5
Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten yang dibuat dari besi dan timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa. BERSAMBUNG.
(R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel