Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Khalifah: Yazid bin Muawiyah dan Tiga Peristiwa Besar

Rendi Setiawan - Selasa, 12 Maret 2019 - 22:42 WIB

Selasa, 12 Maret 2019 - 22:42 WIB

165 Views

(Gambar: pustakamadrasah)

Oleh : Rendi Setiawan, Wartawan MINA

Nama Yazid bin Muawiyah cukup tenar di kalangan umat Islam, sama seperti nama ayahnya, Muawiyah bin Abu Sufyan. Meski memimpin Umat Islam tak selama ayahnya yang hampir dua dasawarsa, namun di zaman Yazid, tiga peristiwa besar terjadi dalam waktu yang terbilang saling berdekatan dan berkaitan.

Yazid adalah khalifah yang berkuasa sejak tahun 680 sampai 683 masehi. Ia menjadi khalifah kedua dalam sejarah Dinasti Umayyah menggantikan ayahnya Muawiyah bin Abu Sufyan. Yazid berasal dari Bani Umayyah cabang Sufyani, sebutan untuk keturunan Abu Sufyan bin Harb.

Kedudukannya sebagai khalifah tidak diakui beberapa tokoh Muslim lantaran dianggap menyalahi perjanjian yang dilakukan antara Muawiyah dengan Hasan pada tahun 661 masehi, di mana Hasan sepakat menanggalkan jubah kekhalifahannya dan menyerahkannya kepada Muawiyah dengan beberapa syarat.

Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis

Kala itu, salah satu syarat yang disepakati di antara keduanya adalah urusan kepemimpinan harus dikembalikan kepada umat Islam selepas Muawiyah wafat atau mengundurkan diri.

Yazid lahir tahun 646 masehi pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan. Ayahnya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu memimpin Syam.

Sementara ibunya bernama Maysun binti Bahdal, adalah seorang yang sangat terikat dengan kampung halamannya dan tidak nyaman dengan kehidupan istana, sehingga Muawiyah kemudian menceraikannya.

Beberapa sejarawan Muslim berbeda pendapat soal apakah Maysun mengandung Yazid atau Yazid masih menyusui pada saat itu.

Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara

Masa kecil Yazid dihabiskan di kabilah ibunya, Bani Kalb, suku Arab yang mendiami kawasan Arab barat daya, Gurun Syam, dan Dataran Tinggi Golan. Bani Kalb sendiri terkenal akan keahliannya dalam sastra dan syair Arab.

Sumber lain menyebutkan bahwa Yazid tinggal bersama Muawiyah di Syam, sehingga ia hidup dalam keadaan glanmor penuh kemewahan.

Ketika Muawiyah menjadi khalifah, Yazid beberapa kali memimpin peperangan melawan Kekaisaran Byzantium. Pada 670 masehi, ia turut serta dalam upaya penaklukan Konstantinopel walaupun berakhir dengan kegagalan. Yazid juga memimpin rombongan haji dalam beberapa kesempatan.

Namun demikian, Yazid kerap digambarkan sebagai sosok yang buruk oleh sejumlah sejarawan lantaran dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW) Husain bin Ali di Karbala serta pengepungan Madinah dan Makkah.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Pada 676 masehi, Muawiyah memutuskan untuk menetapkan Yazid sebagai pewaris tampuk kekhalifahan sepeninggalnya. Majelis musyawarah Damaskus menyepakatinya. Muawiyah kemudian memanggil tokoh-tokoh terkemuka di tiap provinsi ke Damaskus dan membujuk mereka menerimanya.

Yazid mewarisi tampuk kekhalifahan setelah Muawiyah wafat pada tahun 680 masehi. Ia kemudian menulis surat kepada Gubernur Madinah kala itu, Walid bin Utbah bin Abu Sufyan, mengabarkan kabar meninggalnya Muawiyah dan mendesaknya untuk mengambil sumpah dari Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar.

Saat Walid meminta nasihat Marwan bin Al-Hakam terkait surat tersebut, Marwan menyarankan agar Husain dan Abdullah bin Zubair harus dipaksa menyatakan baiat kepada Yazid. Sementara Abdullah bin Umar dibiarkan karena dipandang bukan ancaman.

Pada akhirnya hanya Husain yang mendatangi panggilan Walid, sementara Abdullah bin Zubair tetap bertahan di kediamannya.

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Saat bertemu dengan Walid dan Marwan di ruangan semi pribadi saat malam, Husain diberitahu kabar meninggalnya Muawiyah dan naiknya Yazid sebagai khalifah baru, dan memintanya melakukan baiat pada Yazid.

Husain berdalih bahwa baiat tidak akan berguna bila dilakukan secara pribadi dan lebih baik dilakukan di ruang terbuka. Walid sepakat, tapi Marwan menyela bahwa Husain harus ditahan sampai dia memberi baiat kepada Yazid.

Husain kemudian menghardik Marwan dan kemudian keluar meninggalkan Walid dan Marwan. Abdullah bin Zubair sendiri keluar menuju Makkah saat malam. Paginya, Walid mengirim delapan puluh pasukan berkuda untuk menangkapnya.

Husain juga pergi ke Makkah setelahnya tanpa memberikan baiat kepada Yazid. Yazid kemudian mengganti Walid dengan Amr bin Sa’id sebagai gubernur. Amr bin Sa’id mengirim pasukan ke Makkah untuk menangkap Abdullah bin Zubair, tetapi pasukan tersebut dapat dikalahkan.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Di sisi lain, meski dulu menolak saat Muawiyah menetapkan Yazid sebagai pewaris, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Abbas memberikan baiat mereka pada Yazid.

Peristiwa Karbala

Masa kepemimpinan Yazid tak terlepas dari peristiwa paling bersejarah, yakni peristiwa pertempuran di Karbala. Ini dimulai ketika Husain menerima surat dari masyarakat Kufah yang dulu menjadi pendukung ayahnya, Ali, mengundangnya ke kota itu untuk memimpin revolusi melawan Yazid.

Husain kemudian memerintahkan sepupunya, Muslim bin Aqil bin Abi Thalib untuk memantau keadaan di Kufah. Husain juga menulis surat ke Bashrah, tetapi pembawa pesan ditangkap dan surat tersebut diserahkan kepada Ubaidullah bin Ziyad, salah satu orang kepercayaan Yazid.

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Di Kufah, Ibnu Aqil menyaksikan dukungan sangat besar dari penduduk Kufah dan meminta Husain untuk datang. Mendapat kabar dari Ibnu Aqil, Husain akhirnya berencana bertolak ke Kufah.

Diungkap oleh sejarawan Utsman Al-Khamis dalam bukunya Hiqbah min At-Tarikh (yang diterjemahkan dengan judul Inilah Faktanya), sejumlah sahabat seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas menentang rencana Husain dan memintanya tetap tinggal di Makkah. Namun Husain tetap pada pendiriannya.

Mengetahui rencana perlawanan yang sedang digalang oleh Husain dan penduduk Kufah atas pemerintahannya, Yazid memerintahkan Ubaidullah mengirim pasukan ke Kufah. Ubaidullah kemudian menangkap Ibnu Aqil dan membunuhnya.

Di tengah perjalanan, Husain menerima kabar terbunuhnya Ibnu Aqil. Tak hanya itu, Husain juga menerima kabar penduduk Kufah yang telah beralih pihak. Meski begitu, menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Husain dan para pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Ubaidullah yang memimpin setidaknya 4 ribu pasukan Umayyah kemudian bertolak dari Kufah menuju jalur perjalanan yang dilalui Husain. Kedua rombongan itu kemudian bertemu di Karbala pada 10 Oktober 680 masehi. Pertempuran dari dua pihak yang tak berimbang itu pun terjadi.

Peristiwa tersebut mengakibatkan lebih dari seribuan pasukan tewas di pihak Umayyah. Korban di pihak Husain sendiri berjumlah antara 72 sampai 110 dan Husain sendiri terbunuh pada peristiwa tersebut. Keluarga Husain yang masih hidup kemudian ditangkap dan dibawa ke Syam.

Terbunuhnya Husain menjadikan reputasi Yazid jatuh di mata sebagian umat Islam. Hal ini juga menggiring perlawanan yang awalnya hanya penentangan terhadap Yazid berubah menjadi gerakan anti-Umayyah. Peristiwa ini juga semakin memperuncing perselisihan antara Sunni dan Syiah.

Meski dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Husain, Al-Khamis justeru berpendapat bahwa Yazid tidak tahu-menahu hal ini. Menurutnya, Yazid saat itu tidak berada di lokasi kejadian dan hanya memerintahkan Ubaidullah untuk menangkapnya bukan membunuhnya.

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Dalam pandangan Al-Khamis, justeru Ubaidullah-lah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Husain. Sebab, Ubaidullah memiliki dendam terhadap keluarga Ali. Selain itu, ia juga tidak mengindahkan perintah dari Yazid dan lebih memilih untuk melampiaskan dendamnya.

Pengepungan Makkah dan Madinah

Setelah terbunuhnya Husain di Karbala, Abdullah bin Zubair kemudian mengumpulkan baiat dari para penduduk Makkah. Ia kemudian mengirim gubernur ke Kufah. Gelombang anti-Umayyah menjadikan Abdullah bin Zubair dengan cepat mendapat dukungan di Iraq, Arab selatan, sebagian Mesir dan bahkan sebagian Syam yang menjadi pusat kekuasaan Umayyah.

Meski begitu, Abdullah bin Zubair tidak mengklaim tampuk kekhalifahan.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Yazid kemudian memerintahkan Amr bin Sa’id untuk menangkap Abdullah bin Zubair dan Amr bin Sa’id kemudian memerintahkan kepala keamanan Madinah yang merupakan saudara Abdullah bin Zubair, juga bernama Amr, untuk melaksanakan tugas tersebut.

Namun pasukan Dinasti Umayyah dapat dikalahkan dan Amr sendiri tertangkap dan meninggal. Abdullah bin Zubair kemudian menyatakan ketidakabsahan pemerintahan Yazid dan menghubungi kaum Ansar di Madinah untuk bekerja sama.

Demi membendung pengaruh Abdullah bin Zubair, Yazid mengundang para tokoh Madinah ke Damaskus dan memberikan mereka berbagai hadiah untuk melunakkan hati mereka.

Namun bukannya terbujuk, para pemuka justru malah tidak menyukai Yazid lantaran mereka melihat sendiri gaya hidupnya yang dipandang tidak pantas untuk seorang pemimpin umat, seperti bermewah-mewah dan terlalu menggandrungi musik.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Masyarakat Madinah yang mengetahui gaya hidup Yazid dari cerita para tokoh tersebut kemudian membatalkan kesetiaan mereka pada Yazid. Menanggapi penentangan dari pihak Madinah, Yazid kemudian mengirimkan 12 ribu pasukan khusus Arab Syam yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah.

Pada Agustus 683 masehi, Muslim bin Uqbah tiba di Madinah dan memberi waktu penduduknya untuk menyerah dalam tiga hari. Namun setelah batas waktu berakhir dan pihak Madinah tetap tidak bersedia memberikan kepatuhan, perang dimulai, yang kemudian dikenal dengan Perang Al-Harrah.

Setelah pasukan Dinasti Umayyah memenangkan pertarungan tersebut, mereka melakukan tindakan ibahat (tradisi Romawi yang memperbolehkan pasukan melakukan apa saja di wilayah taklukkannya) atas Madinah selama tiga hari.

Beberapa tokoh Madinah, salah satunya adalah putra sahabat Nabi, Hanzhalah bin Abu Amir, wafat dalam pertempuran ini. Namun menurut sumber lain, tidak ada penjarahan di Madinah dan hanya para pemimpin perlawanan yang dihukum mati.

Pasukan Umayyah kemudian meneruskan perjalanan untuk menundukkan Makkah, tetapi pimpinan diambil alih oleh Husain bin Numair lantaran Muslim bin ‘Uqbah meninggal dalam perjalanan. Makkah berada dalam pengepungan pada September 683 masehi setelah Abdullah bin Zubair menolak untuk menyerah.

Dalam pengepungan selama beberapa pekan ini, pihak Umayyah menggunakan manjanik (ketapel raksasa) untuk melempar bola api ke tengah Kota Makkah. Akibatnya, sebagian Kabah terbakar dan Hajar Aswad hancur.

Sebagian berpendapat bahwa penyebab kebakaran dikarenakan lontaran batu api dari manjanik milik pasukan Dinasti Umayyah. Sedangkan versi yang lain menyatakan bahwa api berasal dari obor pengikut Abdullah bin Zubair yang terkena angin.

Pengepungan Makkah berakhir setelah Yazid meninggal mendadak pada November 683 masehi dan pasukan Umayyah mundur ke Syam. Dengan mangkatnya Yazid, Abdullah bin Zubair kemudian menyatakan dirinya sebagai khalifah, menjadi khalifah pesaing bagi Umayyah yang berpusat di Syam.

Beberapa ulama Sunni sepakat memilih diam sebagaimana yang diambil oleh Abdullah bin Umar daripada ikut berkomentar dengan situasi yang terjadi saat itu. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, kita tidak mencaci maki Yazid, tapi tidak pula mencintainya. (A/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Dunia Islam
Dunia Islam
Dunia Islam
Dunia Islam