Oleh: Munif Nasir, Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauliy Yaman Konsentrasi Studi Sejarah Al-Quds dan Palestina
“Tanah tanpa bangsa, untuk bangsa tanpa tanah.”
Ucapan Lord Shafterbury (1801-1885) di atas diangkat kembali dan dipopulerkan oleh pendukung Zionisme bernama Israel Zangwill (1864-1926) dengan kalimat “Berikan sebuah negeri yang tidak mempunyai penduduk kepada sebuah bangsa yang tidak memiliki negeri.” Kalimat yang dijadikan sebagai motto perjuangan orang-orang Yahudi dan diajukan kepada pemerintah Inggris melalui Perdana Menteri Inggris, Lord Palmerston, di Konferensi London (Zaenal, h.28; Garaudy, h.82).
Zionis telah menggambarkan kepada dunia bahwa wilayah yang mereka duduki sekarang, dulunya adalah wilayah yang tidak mempunyai penduduk sama sekali. Di kemudian hari gambaran tersebut diyakini dan didukung oleh para pemeluk Katolik dan Protestan hingga hari ini.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Salah satu buktinya pada tahun 1984 Joan Peters menulis sebuah buku berjudul From Time Immemorial : The Origins of the Arab-Jewish Conflict Over Palestine yang mendeskripsikan bahwa sejak dulu sampai menjelang kemerdekaan Israel, mayoritas penduduk Palestina adalah orang Yahudi. Orang Arab baru datang setelah Palestina makmur berkat kerja keras penduduk Yahudi tersebut (www.serendipity.li). Ternyata buku tersebut mendapat sambutan meriah dari para intelektual di Amerika (Katz, h.x).
Benarkah demikian?
Negara Palestina terletak di jantung “Daerah Bulan Sabit Subur” yang membentang dari tepian sungai Nil sampai ke tebing sungai Eufrat. Sejak zaman perunggu dini daerah ini telah dilintasi banyak manusia dan sekaligus merupakan wilayah di mana bangsa-bangsa berbaur. Cara hidup penduduk “Bulan Sabit Subur” banyak ditiru oleh pengembara dari Mesopotamia dan Trans Yordania dalam perjalanan yang mereka lakukan pada permulaan millennium ke-2 SM. di mana penduduk tersebut telah mampu menemukan dan mengolah besi (Garaudi, h.70).
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Ketika sekian banyak suku bangsa sampai di Palestina, mereka bertemu dengan penduduk wilayah tersebut yang bersuku Phoenicia di sepanjang pesisir Laut Tengah. Para sejarawan memperkirakan bahwa orang Phoenicia telah menetap di sana antara abad 16-8 SM (Muqbil, h.3).
Kemudian mereka juga mendapati suku Kana’an yang berasal dari Arab menetap di sebelah selatan Al-Quds dan lembah Karmel antara Sungai Yordan dan Laut Tengah (Garaudi, h.73) sejak tahun 2500 SM. Lalu berturut-turut ada suku Arami di Damsyik (Shalaby, h.7), suku Hittit di Hebron, suku Ammonit di Amman, suku Maobit di timur Laut Mati, suku Edomit di sebelah tenggara, bangsa Filistin di antara Jaffa dan Gaza (Garaudi, h.73; Muqbil, h.3).
Bangsa Filistin datang dari Pulau Creta di Yunani pada tahun 1200 SM. atas izin dari Fir’aun di Mesir. Kota yang ditempati orang Filistin dicatat dalam sejarah kuno dan kitab suci dengan B-L-T-N sehingga orang Yunani dan Romawi menyebut orang-orang yang tinggal di daerah “Bulan Sabit Subur” itu dengan Filistin (Muqbil, h3). Terlebih lagi setelah bangsa Filistin mampu berbaur dengan semua suku, terutama suku Kana’an, wilayah yang luas itu dikenal dengan Negeri Palestina (Shalaby, h.7).
Bangsa Arab yang datang berikutnya, yaitu pada abad ke-7 M. bukan saja orangnya yang diterima tetapi agama Islam yang dibawa orang Arab juga diterima dengan baik oleh bangsa Palestina (Garaudi, h.73-74).
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Bukti arkeologis dan statistik
Mulai tahun 1887 para arkeolog berturut-turut menemukan lempengan tanah sehingga terkumpul sebanyak 400 buah. Lempengan itu berisi catatan, antara lain tentang adanya surat-menyurat yang dilakukan oleh Fir’aun Amenophis IV (1375-1385 SM.) dan para penguasa wilayah Palestina dan Suriah. Tidak tersirat sedikitpun bahwa di palestina terdapat daerah atau bangsa bernama Israil. Penyebutan nama Israil yang paling dini ada pada lempengan Batu Tegak yang bertarikh 1225 SM. yang memberikan informasi kemenangan Fir’aun Meneptah atas kota-kota di Palestina (Garaudi, h.72-73).
Hasil sensus yang dilakukan orang-orang Inggris pada 31 Desember 1922 populasi penduduk di Palestina sebanyak 757.000 orang terdiri dari 89% orang Arab dan 11% orang Yahudi (Garaudi, h.85).
Sebelum kedatangan orang-orang Yahudi ke Palestina, petani Palestina telah biasa mengekspor 30.000 ton gandum dan jeruk setiap tahunnya.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Laporan Peel pada bab 6, paragraf 19 halaman 214 kepada Parlemen Inggris tahun 1937 mengemukakan proyeksi hasil tanaman buah jeruk yang dihasilkan sepuluh tahun ke depan oleh rakyat Palestina pada musim salju ialah 30 juta butir, sedang Amerika hanya 7 juta, Spanyol 5 juta, negara lain (Syprus, Mesir, Aljazair) 3 juta (Garaudi, h.86-87).
Beberapa sejarawan dan pemikir dari kalangan Arab, Eropa, dan kalangan lain menegaskan keabsahan Arab atas Palestina. Seperti Arnold Toynbe: “Wilayah Israel, secara konstitusional, dari dulu hingga sekarang, adalah milik bangsa Arab Palestina yang diusir dari rumah rumah mereka secara paksa.” Lord Muin, Gubernur Inggris untuk Kairo berkata di hadapan pertemuan para bangsawan Inggris pada tanggal 9 Juni 1942, “Orang-orang Yahudi bukanlah anak cucu bangsa Ibrani, dan mereka tidak punya hak untuk menuntut Tanah Suci.”(Agha, h.187).
Palestina berpindah tangan
Napoleon Bonaparte telah membuka mata dunia bahwa Turki Utsmaniyah begitu lemahnya setelah menduduki Mesir dengan mudah pada tahun 1798. Kenyataan ini menyulut semangat Eropa, terutama Inggris, untuk menjajah wilayah Utsmaniyah ini. Selain alasan agama dan sejarah (melangsungkan perang salib) juga untuk mengamankan jalur ekonomi.
Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan
Maka Inggris menempatkan konsulatnya di Al-Quds pada tahun 1838 saat mana Inggris sudah dipengaruhi lobi-lobi Zionis di pemerintahannya, sehingga konsulat itu berfungsi untuk pusat pembelaan kepentingan Yahudi hingga pecah perang dunia I tahun 1941 (Shaleh, h.34-35).
Di tengah kemerosotan Khilafah Turki Utsmani, Inggris mulai menguasai Siprus (1878) dan Mesir (1882) untuk melindungi jalur transportasinya ke India di bagian timur Terusan Suez.
Sementara itu tekanan Czar Rusia – Alexander II yang makin massif terhadap Yahudi tahun 1881 membuat para pemikir Yahudi makin serius untuk mengumpulkan Yahudi di Palestina dengan tahapan:
- Mengadakan kongres Zionis pertama di Basl Swiss pada 27-29 Agustus 1897 untuk memohon kepada Sultan Abdul Hamid II supaya Yahudi bisa tinggal di Palestina dengan kompensasi yang besar.
- Setelah jelas bahwa Sultan menolak permintaan Zionis itu, mereka meningkatkan intensitas lobi-lobi terutama kepada para pemimpin Inggris yang saat itu sebagai negara adidaya.
- Membiayai gerakan pemberontakan Turki Fatat yang didirikan melalui konggres di Perancis pada 4-9 Februari 1901 untuk meruntuhkan Turki Utsmani.
- Membujuk Syarif Husein untuk memberontak kepada Khilafah Turki Utsmani.
Rancangan pembagian wilayah
Baca Juga: Palestina Tolak Rencana Israel Bangun Zona Penyangga di Gaza Utara
Hasil kerja Zionis mulai terlihat dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1909. Kemudian pemerintah Inggris bersama Perancis merancang untuk menggantikan wilayah administratif dalam Perjanjian Sykes-Picot pada 2 November 1916 yang membagi-bagi wilayah Turki Utsmani dalam daerah-daerah jajahan. Dalam rancangan itu Inggris akan menguasai Irak Timur, Yordan dan Haifa, sementara Perancis menguasai Libanon, Suriah (Shaleh, h.42).
Kemudian perjanjian diperluas dengan Italia yang mendapatkan daerah jajahan Aegen, Izmir dan Asia kecil. Sementara Rusia mendapat Amenia dan Kurdistan.
Sementara itu Al-Quds dijadikan wilayah International yang dipersiapkan untuk pendudukan Israel (Nurdi, h.108) yang kemudian dituangkan dalam Perjanjian Balfour pada 2 November 1917. Perjanjian mana menggambarkan dengan jelas bahwa Inggris menjanjikan kepada Lord Rotschild sebagai pemimpin Zionis bahwa negeri Palestina akan diberikan kepada orang-orang Yahudi sebagai Negara mereka (Nurdi, h.132).
Perjanjian Balfour adalah pernyataan yang paling aneh dalam sejarah manusia. Balfour, Menlu Inggris itu, berjanji memberikan wilayah negeri yang bukan miliknya, bahkan belum dijajahnya, kepada orang yang tidak berhak sama sekali. Karena Inggris dengan semangat perang salib, baru dapat menduduki dan menjajah Palestina pada 9 Desember 1917. Ucapan Jenderal Allenby yang memimpin pasukan Inggris menyiratkan semua itu saat merayakan pendudukan. Katanya “Hari ini perang salib telah usai.” (Shaleh , h.42, 45).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Penjajahan Inggris atas Palestina disempurnakan oleh PBB dengan dikeluarkannya resolusi PBB 24 Juli 1922 yang memberi wewenang kepada Inggris untuk menjadi protektorat atas Palestina.
Resolusi itu menjadi modal Inggris untuk membuka perwakilan Yahudi di Palestina pada tahun 1929.
31 Agustus 1947 menghentikan pememerintahan protektorat di Palestina.
29 Nopember 1947 keluar Resolusi PBB 181 yang membagi Palestina menjadi tiga bagian yaitu: 54.7% untuk Yahudi, 44.8% untuk Arab, 0.5% (Al-Quds) untuk wilayah International. (A/P3/P1)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Bersambung . . .
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas Kutuk AS yang Memveto Gencatan Senjata di Gaza