Perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Konflik ini bukan hanya sekadar perselisihan wilayah, tetapi juga mencerminkan perjuangan melawan kolonialisme, apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut. Sejarah panjang penjajahan di Palestina melibatkan berbagai kekuatan global dan menjadi salah satu isu paling kompleks di dunia modern. Konflik ini telah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, baik di Palestina maupun di dunia internasional, dan meskipun telah banyak perundingan dan resolusi yang dikeluarkan, akar permasalahannya tetap bertahan.
Akar konflik Palestina dapat ditelusuri sejak akhir abad ke-19, ketika gerakan Zionisme muncul dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina. Imigrasi massal orang-orang Yahudi ke Palestina meningkat setelah Deklarasi Balfour 1917, di mana Inggris secara sepihak mendukung pembentukan “tanah air bagi bangsa Yahudi” di wilayah yang saat itu masih dihuni mayoritas oleh bangsa Arab Palestina. Deklarasi ini memicu ketegangan yang berlarut-larut antara komunitas Arab dan Yahudi, yang pada akhirnya semakin memperburuk hubungan antara kedua kelompok ini dalam dekade-dekade berikutnya.
Pada 1920, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggris untuk menguasai Palestina. Selama masa mandat ini, ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab meningkat. Puncaknya terjadi pada 1948, ketika Inggris menarik diri dan kelompok Zionis mendeklarasikan berdirinya Israel. Peristiwa ini memicu perang Arab-Israel pertama dan menyebabkan eksodus massal rakyat Palestina yang dikenal sebagai “Nakba” (malapetaka), di mana lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka. Eksodus ini menandai awal dari penderitaan yang tak kunjung usai bagi rakyat Palestina, yang hingga kini masih menjadi perdebatan tentang hak mereka untuk kembali ke tanah leluhur mereka.
Pendudukan Israel dan Perluasan Wilayah
Baca Juga: Ternyata, Ini 10 Ciri Suami Sholeh dalam Pandangan Islam yang Sering Terlewatkan!
Setelah Perang 1948, Israel menguasai sebagian besar wilayah Palestina, sementara Tepi Barat dikuasai Yordania dan Jalur Gaza dikuasai Mesir. Namun, pada Perang Enam Hari 1967, Israel merebut Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Sejak saat itu, Israel terus melakukan pembangunan permukiman ilegal di wilayah pendudukan, yang secara terang-terangan melanggar hukum internasional, termasuk Resolusi PBB. Tindakan ini memperburuk kondisi rakyat Palestina, yang semakin terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap tanah serta sumber daya alam yang menjadi hak mereka.
Seiring meningkatnya penindasan Israel, rakyat Palestina melancarkan perlawanan. Pada 1987, Intifada pertama meletus, yaitu gerakan perlawanan massal yang melibatkan demonstrasi, boikot, dan aksi tanpa kekerasan. Intifada kedua terjadi pada 2000, dipicu oleh provokasi Israel di Masjid Al-Aqsa. Dalam kedua intifada tersebut, ribuan warga Palestina tewas akibat tindakan represif Israel. Perlawanan ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi kekuatan militer yang jauh lebih besar, semangat perjuangan rakyat Palestina tetap bertahan, dan mereka terus berusaha untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Sejak awal konflik, PBB telah mengeluarkan berbagai resolusi yang menuntut penghentian pendudukan Israel, termasuk Resolusi 242 (1967) dan 338 (1973), yang menyerukan Israel mundur dari wilayah yang didudukinya. Namun, Israel secara sistematis mengabaikan resolusi-resolusi ini dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Dukungan ini menjadikan PBB, meskipun telah mengeluarkan seruan-seruan internasional, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan memberikan hak-hak yang layak bagi rakyat Palestina.
Blokade Gaza dan Krisis Kemanusiaan
Baca Juga: 13 Kesengsaraan Orang Kafir di Akhirat
Jalur Gaza telah berada di bawah blokade Israel sejak 2007 setelah Hamas memenangkan pemilu Palestina. Blokade ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan keterbatasan akses terhadap air bersih, listrik, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya. Serangan militer Israel yang berulang kali menghancurkan infrastruktur Gaza semakin memperburuk kondisi kehidupan lebih dari dua juta penduduknya. Blokade ini tidak hanya menghalangi pembangunan Gaza, tetapi juga memperburuk ketidakpastian dan ketegangan sosial, dengan semakin banyaknya pengungsi dan korban yang tak terhitung jumlahnya.
Lembaga hak asasi manusia internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, telah menyebut tindakan Israel terhadap Palestina sebagai bentuk apartheid. Kebijakan diskriminatif Israel meliputi pembatasan pergerakan warga Palestina, perampasan tanah, penghancuran rumah, dan perlakuan tidak adil di sistem hukum yang berbeda antara warga Israel dan Palestina. Kebijakan ini menciptakan pemisahan yang jelas antara warga Palestina dan Yahudi, dan membentuk masyarakat yang terfragmentasi dan terisolasi, dengan rakyat Palestina terus-menerus dirugikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem merupakan simbol penting bagi umat Islam. Israel sering kali melakukan pelanggaran terhadap kompleks suci ini, termasuk membiarkan kelompok ekstremis Yahudi masuk dengan perlindungan polisi Israel. Ketegangan ini berulang kali memicu bentrokan dan meningkatkan eskalasi kekerasan di wilayah Palestina. Meskipun Masjid Al-Aqsa adalah situs yang dianggap suci oleh umat Islam, hal ini tidak menghentikan Israel dari upaya untuk mengambil alih kontrol atas tempat tersebut, yang semakin memperburuk situasi antara kedua kelompok tersebut.
Meski mengalami penjajahan, Palestina terus berjuang melalui jalur diplomatik. Pada 2012, Palestina diakui sebagai negara pengamat non-anggota di PBB. Selain itu, berbagai negara telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, meskipun Israel dan sekutunya terus berusaha menghambat pengakuan ini di forum internasional. Upaya diplomatik ini memberikan harapan bagi rakyat Palestina bahwa meskipun perjuangan mereka sulit, pengakuan internasional terhadap hak mereka untuk memiliki negara tetap berlanjut.
Baca Juga: Indonesia Bergabung di BRICS, Apa Untung Ruginya?
Untuk melawan penjajahan Israel, gerakan BDS berkembang secara global. Kampanye ini menyerukan boikot terhadap produk Israel, menarik investasi dari perusahaan yang mendukung pendudukan, dan menerapkan sanksi terhadap Israel hingga negara tersebut menghentikan kebijakan apartheid-nya. Gerakan ini telah mendapat dukungan luas dari berbagai kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia. Meskipun mendapat tantangan besar dari pemerintah-pemerintah tertentu, terutama di negara-negara Barat, gerakan BDS tetap menjadi simbol solidaritas internasional dengan perjuangan Palestina.
Peran Media dan Propaganda
Media memiliki peran penting dalam membentuk opini global tentang konflik Palestina-Israel. Sayangnya, banyak media arus utama di Barat yang sering kali menyajikan narasi yang bias, menggambarkan Palestina sebagai pelaku kekerasan, sementara mengabaikan kejahatan Israel. Namun, media alternatif dan jurnalis independen terus mengungkap kebenaran tentang penderitaan rakyat Palestina, serta dampak dari kebijakan Israel yang terus memperburuk keadaan. Dengan meningkatnya kesadaran global, peran media independen semakin vital dalam menyampaikan suara rakyat Palestina ke dunia.
Meski menghadapi penindasan yang sistematis, semangat perjuangan rakyat Palestina tidak pernah padam. Dukungan dari dunia internasional semakin meningkat, terutama dari kalangan akademisi, aktivis, dan organisasi kemanusiaan. Perjuangan ini bukan hanya tentang Palestina, tetapi juga tentang keadilan global dan hak asasi manusia. Dengan semakin kuatnya suara global yang mendukung Palestina, ada harapan bahwa suatu hari nanti konflik ini akan mencapai penyelesaian yang adil, di mana rakyat Palestina dapat hidup merdeka di tanah mereka sendiri.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-37] Berniat Baik dan Jelek, Namun Tak Terlaksana
Perjuangan Palestina melawan penjajahan merupakan kisah yang belum berakhir. Selama hak-hak dasar rakyat Palestina tidak ditegakkan, perdamaian sejati tidak akan tercapai. Dunia memiliki tanggung jawab untuk terus mendukung Palestina dalam melawan penjajahan dan menuntut pertanggungjawaban bagi pihak-pihak yang melanggar hukum internasional. Keadilan untuk Palestina bukan hanya impian, tetapi sebuah keharusan bagi dunia yang lebih adil. Sehingga, dalam perjalanan panjang ini, setiap langkah menuju kebebasan adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bulan Rajab, Persiapan Jelang Bulan Suci Ramadhan