Banda Aceh, MINA – Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh melakukan observasi ke tempat Karantina Jamaah Haji Nusantara yang terletak di Pulau Rubiah, Sabang.
Bangunan yang menjadi catatan sejarah perhajian Indonesia itu dibangun tahun 1920 pada zaman kolonial belanda, dan saat itu menjadi tempat persinggahan terakhir dari kapal jamaah haji yang hendak pergi atau pulang dari Makkah.
Dalam Kesempatan tersebut, tim yang dipimpin Kabag TU Kanwil Kemenag Aceh Saifuddin, melihat langsung bangunan dan jejak perjalanan haji nusantara yang ada di sana, Selasa (18/6).
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Tiba di lokasi, terlihat bangunan karantina haji jaman dulu itu tak terawat, bahkan kondisi bangunannya memprihatinkan yang sudah dipenuhi reruntuhan atap plafon, dari luar ditumbuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa, terkesan gedung tua itu dibiarkan begitu saja.
Di depan bangunan itu juga terdapat sumur tua, sebagai tempat penampungan air. Namun, kondisinya juga terbengkalai begitu saja, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya.
Teuku Yahya yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah tersebut, menceritakan bahwa gedung karantina Haji itu digunakan sampai Jepang Masuk ke Indonesia, saat Indonesia Merdeka Gedung Karantina Haji ini tidak digunakan lagi, namun pemberangkatan jamaah haji masih dilakukan dari Sabang.
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Asrama haji yang digunakan berada di Kampung Haji Kota Sabang sampai dengan tahun 70-an.
“Gedung ini merupakan Tempat Karantina Haji untuk Seluruh Jemaah Haji yang akan berangkat ke Jeddah (Saudi Arabia) melalui transportasi Laut. Gedung Karantina Haji dibangun memadati lebih dari Setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas loundry juga tersedia dalam gedung tersebut. Proses pemberangkatan jamaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1 s.d 2 bulan sebelum keberangkatan, dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan,” ujar Tgk. Yahya.
Menurut keterangannya, banyak juga kapal-kapal kecil dari Pulau Jawa dan daerah lainnya yang mengantarkan jamaah haji ke gedung karantina haji ini, sebelum kapal besar dari Jeddah menjemput jamaah haji.
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas
“Kapal besar tersebut tidak berlabuh di Pulau Rubiah, sehingga jamaah setelah lolos pemeriksaan akan dibawa ke kapal besar tersebut dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Dan Pada Masa pemulangan, jamaah juga harus dikarantina kembali selama lebih kurang 1 bulan, meskipun jemaah tersebut berasal dari Iboih (Sabang) yaitu pulau di samping Pulau Rubiah, tidak diperbolehkan pulang, setelah melakukan pemeriksaan kesehatan dan seluruh baju jemaah dicuci pada Loundry, baru jamaah diperbolehkan dijemput untuk pulang kembali ke daerah masing-masing,” cerita Tgk. Yahya.
Usai meninjau bangunan tersebut, Saifuddin didampingi Kasubbag Inmas dan Kasi Informasi Haji Kanwil Kemenag Aceh mengaku prihatin dan berharap tempat tersebut menjadi perhatian Pemerintah Daerah, menjadikannya sebagai situs sejarah atau bahkan membangun museum haji sebagai pusat edukasi di masa mendatang.
“Tempat Karantina haji di Pulau Rubiah ini meiliki catatan sejarah dalam riwayat perjalanan haji Indonesia, dulu tempat ini merupakan pusat karantina haji pertama di Indonesia, akan lebih bermanfaat kalau asrama haji ini bisa dijadikan situs sejarah dan museum haji, yang mengandung banyak koleksi arsip, foto foto haji, buku, catatan perjalanan haji, replika kapal ke Jeddah dan pemugaran serta perawatan bangunan lebih layak, karena selain tempat bersejarah, bangunan tersebut juga cocok dijadikan tempat wisata islami,” lanjut Saifuddin.
Namun, saat ini kondisi bangunan itu sudah tidak terawat, hanya tersisa beberapa bangunan saja yang sudah di keliling semak belukar, sehinga banyak yang tidak tahu akan sejarah tersebut.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
“Sekarang wisatawan lebih menyukai mengamati aneka ikan dengan melakukan snorkling atau menikmati taman laut dengan menyelam (diving),” lanjut Saifuddin. (L/AP/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa