Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلاً۬ مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُ ۥ لِنُرِيَهُ ۥ مِنۡ ءَايَـٰتِنَآۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Isra [17] : 1).
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Masjid Al-Aqsha di Kota Al-Quds (Yerusalem), Palestina, merupakan masjid ketiga yang sangat dianjurkan untuk dikunjungi umat Islam, setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Masjid Al-Aqsha juga merupakan kiblat pertama umat Islam, sebelum kemudian beralih ke kiblat Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi.
Nama Masjid Al-Aqsha yang disematkan pada masjid ini, adalah Allah sendiri yang memberinya nama, bersamaan dengan nama Masjidil Haram.
Adapun arti “Al-Aqsha”, secara bahasa, artinya “Al-Ab’ad” yang paling jauh, karena Masjid Al-Aqsha adalah jarak masjid paling jauh dari Masjidil Haram, saat itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
Jarak Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina sekitar 1.500 km, yang memerlukan waktu perjalanan naik unta atau kuda saat itu sekitar 40 hari.
Selain kata Al-Aqsha yang disandingkan dengan nama Masjid Al-Aqsha, ada dua ayat lainnya di dalam Al-Quran yang menyebutkan kata “Aqhsa”, yaitu:
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
Artinya: “Dan datanglah dari bagian kota yang terjauh seorang lelaki secara bergegas penuh upaya, dia berkata, Wahai kaumku, ikutilah para utusan Allah itu.” (Q.S. Yasin [36]: 20).
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
وَجَاۤءَ رَجُلٌ مِّنْ اَقْصَى الْمَدِيْنَةِ يَسْعٰىۖ قَالَ يٰمُوْسٰٓى اِنَّ الْمَلَاَ يَأْتَمِرُوْنَ بِكَ لِيَقْتُلُوْكَ فَاخْرُجْ اِنِّيْ لَكَ مِنَ النّٰصِحِيْنَ
Artinya: “Dan datanglah seorang lelaki dari bagian kota yang terjauh secara bergegas penuh upaya, dia berkata, ‘Wahai Musa, sungguh para pembesar negeri telah berunding untuk menangkap dan membunuhmu, maka segera keluarlah dari negeri ini. Sungguh aku termasuk orang yang tulus menasihatimu.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 20).
Menurut pendapat Salim A. Fillah, penasihat di lembaga Sahabat Al-Aqsha, ayat pertama pada Surat Al-Isra’ membawakan kabar gembira bahwa akan dianugerahkan pada Rasulullah masjid yang lebih jauh.
Ayat ini, menurut sebagian ulama turun pada tahun ke-12 Kenabian, atau setahun sebelum hijrah Rasulullah .
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Sebagian mufassir juga memakna Al-Aqsha dengan “uqshiya minal ashnam” artinya dijauhkan dari berhala.
Dr Amer Khaled, ulama asal Mesir yang berdakwah di Inggris, menambahkan, dikatakan terjauh karena ibadah di dalamnya juga dapat menjauhkan dari kotoran dan dosa.
Dari sudut sejarah mencatat, sejak dahulu memang para pembebas Al-Aqsha ternyata didatangkan dari jauh, dengan perjalanan yang tak mudah, dan dengan perjuangan yang berpayah-berpayah tak kenal lelah.
Pada zamannya, Khalifah ‘Umar bin Khaththab datang dari daerah yang jauh, yakni Madinah, ke Al-Aqsha untuk menerima kota ini dari Patriark Sophronius.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, juga Allah datangkan dari negeri yang jauh, Kurdi (Irak) untuk membebaskan Al-Aqsha dari pasukan Salibis.
Kinipun, kita yang berada di negeri yang jauh, Indonesia, ribuan km jaraknya dari Al-Aqsha, terus bertekad membebaskannya dari belenggu cengkeraman Zionis.
Begitulah nama Masjid Al-Aqsha merupakan nama yang agung, mulia lagi penuh berkah, yang dinamai langsung oleh Allah, dan disebutkan langsung oleh Rasulullah .
Adapun sejarah pembangunan Masjid Al-Aqsha sejak awal, perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah Islam, tentang siapa yang pertama kali membangun atau mendirikan Masjid Al-Aqsha. Sebab tidak ditemukan dalil atau teks yang jelas tentang siapa yang pertama membangun Masjidil Aqsha.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Namun tidak ada perselisihan bahwa Masjid Al-Aqsha di Palestina adalah tempat tertua di muka bumi yang telah mengenal tauhid setelah Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah. Juga tidak ada perbedaan jangka waktu penempatan keduanya adalah 40 tahun.
Di dalam hadits dinyatakan bahwa Masjid Al-Aqsha adalah masjid kedua yang didirikan di muka bumi setelah Masjidil Haram.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً
Artinya : “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid Al-Aqsha”. Berkata Abu Mu’awiyah “Yakni Baitul Maqdis” . Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”. Beliau menjawab, “Empat puluh tahun”. (HR Ahmad dari Abu Dzar).
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Adapun kompleks Masjid Al-Aqsha adalah seluruh bangunan di dalam tembok, luasnya mencapai 144 dunum atau 14,4 hektar (144.000 m2). Ukuran Kompleks Masjid Al-Aqsha adalah 281 m dari selatan, 310 m dari utara, 462 m dari timur, dan 491 m dari barat.
Luas Kompleks Masjid Al-Aqsha merupakan 1/6 luas Kota Al-Quds, dan batas-batas tersebut tidak berubah sejak pertama kali masjid ini didirikan sebagai tempat shalat sampai saat ini. Hal ini berbeda dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang beberapa kali diperluas.
Berdasarkan hadits tersebut, para ilmuwan dan sejarawan mengetengahkan sejumlah hasil penelitian tentang yang membangun pertama kali Masjid Al-Aqsha, sedikitnya ada empat pendapat mengenai hal ini, yaitu :
Pendapat Pertama, Para Malaikat.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Pendapat Kedua, Nabi Adam ‘Alaihis Salam.
Pendapat Ketiga, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam.
Pendapat Keempat, Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam.
Mengenai pendapat pertama, bahwa para Malaikat yang mendirikan awal pondasi Masjidil Aqsha. Tentu belum seperti bangunan yang sekarang, dengan tembok tinggi, dikelilingi pagar tembok dengan area 114 hektar, dan ada Masjid Kubah Sakhrahnya.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Pendapat ini disanggah sebagian ahli tafsir, karena para Malaikat punya alam sendiri dan memiliki tempat tersendiri sebagai pusat ibadah yaitu Baitul Makmur di langit. Seperti disebutkan di dalam Al-Quran:
وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ
Artinya: “Demi Baitul Ma’mur. Demi atap yang ditinggikan (langit). Demi laut yang di dalam tanahnya ada api,” (Q.S. Ath-Thur : 4-6).
Baitul Makmur adalah bangunan yang sangat mulia, berada di langit ketujuh. Di sanalah para Malaikat thawaf, sebagaimana manusia thawaf di sekitar Ka’bah.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi dalam Kitab Tafsir An-Nafahat Al-Makkiyah menjelaskan mengenai ayat ini, “Dan demi Baitul Ma’mur,” yaitu rumah yang berada di atas langit ketujuh yang dimakmurkan sepanjang waktu oleh para Malaikat yang mulia.
Sejumlah 70.000 malaikat, di tempat itu menyembah Allah, kemudian tidak keluar lagi hingga Hari Kiamat.
Baitul Ma’mur dikatakan juga sebagai Baitullah (rumah Allah) yang dimakmurkan oleh para Malaikat yang berthawaf, shalat dan berdzikir setiap waktu.
Penjelasan tersebut juga berdasarkan peristiwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperjalankan pada malam peristiwa Isra Mi’raj, ketika sampai di langit ketujuh, beliau melihat Baitul Ma’mur.
فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ السَّابِعَةَ فَأَتَيْتُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنِ ابْنٍ وَنَبِىٍّ، فَرُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ ، فَقَالَ : هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ ، يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ
Artinya: Kami mendatangi langit ketujuh. Lalu aku mendatangi Nabi Ibrahim, aku memberi salam kepadanya dan beliau menyambut, “Selamat datang putraku, sang Nabi.” Lalu aku melihat Baitul Makmur. Akupun bertanya kepada Jibril. “Ini adalah Baitul Makmur, setiap hari, tempat ini dikunjungi 70.000 Malaikat untuk melakukan shalat di sana. Setelah mereka keluar, mereka tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut penjelasan Ibnu Katsir, Baitul Ma’mur adalah Ka’bah bagi penghuni langit ketujuh.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu menjelaskan tentang Baitul Makmur, itu adalah bangunan di langit, sejajar dengan Ka’bah. Kemuliaan bangunan ini di langit sebagaimana kemuliaan Ka’bah di bumi. Setiap hari dimasuki oleh 70.000 malaikat.
Mengenai pendapat kedua mengatakan bahwa Nabi Adam ‘Alaihis Salam yang mendirikan awal pondasi Masjidil Aqsha, 40 tahun setelah mendirikan Masjidil Haram, atas perintah Allah.
Pondasi Masjid Al-Aqsha yang dibangun oleh Nabi Adam serupa dengan pondasi Ka’bah, karena keduanya dibangun atas petunjuk Allah kepada Nabi Adam.
Sepeninggal Nabi Adam ‘Alaihis Salam, pembangunan dan pemakmuran Masjid Al-Aqsha dilanjutkan oleh Nabi Nuh ‘Alaihis Salam pada sekitar tahun 2000 SM.
Kemudian dilanjutkan oleh Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihis Salam, Nabi Ishaq ‘Alaihis Salam dan Nabi Ya’kub ‘Alaihis Salam, Nabi Dawud ‘Alaihis Salam dan diperbaharui kembali oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam pada tahun 1000 SM.
Adapun pendapat ketiga yang mengatakan bahwa Masjidil Aqsha dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, disanggah juga. Pendapat ini dianggap tidak tepat, sebab di dalam Al-Quran dikatakan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam itu mengangkat atau meninggikan kembali bangunan Ka’bah (Masjidil Haram) di atas pondasi dasarnya yang sudah ada sebelumnya.
Seperti disebutkan di dalam ayat:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail” (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS Al-Baqarah [2]: 127).
Jika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam disebutkan sebagai orang yang pertama kali membangun Ka’bah (Masjidil Haram), maka kalimatnya tentu bukan meninggikan, tapi membangun. Sementara berdasarkan hadits, 40 tahun setelah membangun Ka’bah (Masjidil Haram), dibangunlah Masjidil Aqsha.
Padahal Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam ketika berada di Yerusalem, tidak disebutkan membangun Masjidil Aqsha 40 tahun setelah membangun Masjidil Haram.
Dasar yang lebih kuat wallahu a’lam adalah bahwa yang membangun kedua Masjid suci itu, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah orang yang sama, yakni Nabi Adam ‘Alaihis Salam, dan diperintahkan oleh Dzat yang sama, Allah.
Saat banjir besar yang melanda bumi di masa Nabi Nuh ‘Alaihis Salam, masih bisa dijumpai sisa-sisa bangunan Masjid al-Aqsha yang dibangun pertama kali oleh Nabi Adam ‘Alaihis Salam.
Pandangan keempat tentang penyebutan Nabi Sulaiman bin Dawud ‘Alaihimas Salam yang pertama kali membangun Masjidil Aqsha, tidak sesuai dengan hadits berikut:
أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ دَاوُدَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَى بَيْتَ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ – خِلَالاً ثَلَاثَةً؛ سَأَلَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ – : حُكْماً يُصَادِفُ حُكْمَهُ، فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ – مُلْكاً لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ – حِيْنَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَنْ لَا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ إلَّا الصَّلَاةُ فِيْهِ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيْئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ (فِي رِوَايَةٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا وَأَرْجُو أَنْ يَكُوْنَ قَدْ أُعطِيَ الثَّالِثَةَ(
Artinya : ”Sesungguhnya ketika Nabi Sulaiman bin Nabi Dawud membangun kembali Baitul Maqdis, (ia) meminta kepada Allah ’azza wa jalla tiga perkara. (Yaitu), meminta kepada Allah ’azza wa jalla agar (diberi taufiq) dalam memutuskan hukum yang menepati hukum-Nya, lalu dikabulkan; dan meminta kepada Allah ’azza wa jalla dianugerahi kerajaan yang tidak patut diberikan kepada seseorang setelahnya, lalu dikabulkan; serta memohon kepada Allah bila selesai membangun masjid, agar tidak ada seorangpun yang berkeinginan shalat di situ, kecuali agar dikeluarkan kesalahannya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya (dalam riwayat lain : Lalu Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Adapun yang kedua, maka telah diberikan. Dan aku berharap, yang ketiga pun dikabulkan)”. (HR An-Nasa’i, Ibn Majah, dan Ahmad).
Di sini dikatakan Nabi Sulaiman bin Nabi Dawud ‘Alihimas Salam membangun kembali Masjid Al-Aqsha. Jadi, bukan membangun yang pertama kalinya.
Pendapat ini lebih kuat bahwa adalah Nabi Adam yang membangun pondasi awal Masjid Al-Aqsha.
Ketika Nabi Muhammad diperjalankan Allah pada malam Isra Mi’raj, bangunan Masjid Al-Aqsha belum seperti sekarang, dengan Kubah emasnya. Pada masa Nabi, Kota Al-Quds, termasuk kawasan Masjid Al-Aqsha berada di bawah pemerintahan Romawi (63 SM- 636 M)
Penguasa Romawi menindas orang-orang Yahudi di kawasan Al-Quds (Yerusalem) karena melakukan kerusuhan dan pembangkangan sipil. Kaisar Romawi Titus, membakar Kota Al-Quds dan menangkap banyak orang Yahudi.
Pada era Kaisar Romawi Hadrian, Romawi kembali menindak dengann keras orang-orang Yahudi yang kembali melakukan kerusuhan. Penguasa Romawi menghancurkan Kota Al-Quds untuk kedua kalinya, dan mengusir orang-orang Yahudi yang tinggal di sana, hanya menyisakan orang-orang Kristen.
Kemudian Penguasa Romawi memerintahkan nama kota itu diubah menjadi Aelia atau lengkapnya Aelia Capitolina. Penguasa Romawi juga menetapkan bahwa tidak ada orang Yahudi yang boleh tinggal di sana.
Era setelah wafatnya Rasulullah, Khalifah Umar bin Khattab memasuki Kota Al-Quds dan membebaskannya dari cengkeraman Romawi, pada tahun 636 M./15 H. Khalifah Umar dan umat Islam kala itu membersihkan kawasan Al-Aqsha yang sebelumnya terlihat kotor dan tak terusus karena tidak digunakan untuk ibadah.
Sejak itu, Kota Al-Quds dalam kendali kaum Muslimin. Dilanjutkan Bani Umayyah (661 – 750 M) dan Abbasiyah (750 – 878 M).
Di antara monumen Islam terpenting pada masa itu adalah Kubah Sakhrah (Dome of The Rock) dengan kubah emasnya yang dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan pada periode tahun 682-691 M. Abdul Malik juga menyempurnakan bangunan utama Masjid Al-Qibli hingga kubah abu-abunya.
Abdul Malik menunjuk arsitek Roja bin Haywah dan Yazid bin Salam, dalam waktu 7 tahun. Setelah wafat, kemudian dilanjutkan putranya, Khalifah al-Walid.
Periode berikutnya, Kota Al-Quds menyaksikan ketidakstabilan akibat konflik yang pecah antara Abbasiyah, Fatimiyah hingga pemerintahan Seljuk Tahun 1071 M.
Al-Quds sempat jatuh ke tangan Tentara Salib pada tahun 1099 M setelah lima abad dalam kekuasaan Islam. Setelah memasuki Kota Al-Quds, Tentara Salib membunuh sekitar 70.000 kaum Muslimin dan melanggar kesucian Islam.
Dinasti Bani Umayyah Abd al-Malik ibn Marwan memulai proyek ini dan membangun Kubah Sakhrah. Kemudian putranya, Khalifah al-Walid, menyelesaikan proyeknya.
Dinasti Abbasiyah tidak melakukan penambahan sesuatu yang berarti terhadap arsitektur Masjid Al-Aqsha, kecuali beberapa renovasi yang dilakukan oleh Al-Mahdi terhadap arsitektur Al-Aqsa, dan yang dilakukan Al-Ma’mun pada arsitektur Kubah Sakhrah.
Adapun Dinasti Fatimiyah fokus merawat Al-Aqsha dan berkontribusi dalam pelestariannya, terutama pada masa pemerintahan Al-Hakim bi-Amrillah dan putranya, Al-Zahir.
Selanjutnya, Al-Aqsha mengalami sejumlah perubahan yang dilakukan oleh Tentara Salib pada arsitekturnya selama periode pendudukan mereka tahun 492-582 H (1099-1187 M).
Dinasti Bani Ayyubiyah yang datang setelah mengakahkan Pasukan Salib, menambahkan beberapa bangunan hingga Dinasti Mamluk datang setelah tahun 648. H (1260 M) yang melakukan beberapa rekonstruksi menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh Dinasti Bani Umayyah.
Bani Ayyubiyah menambahkan beberapa bangunan dikompleks Al-Aqsha, di antaranya : koridor, madrasah, menara, pintu, kubah, jalan raya, teras, serta sejumlah bagian bangunan yang menambah arsitektur yang unik.
Pada masa Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) melanjutkan mengelola seluruh kawasan Al-Aqsha, hingga datangnya pendudukan Inggris pada tahun 1336 H/1917 M.
Manajemen Pemeliharaan Masjid Al-Aqsha dipegang oleh Komisi Islam Khusus yang menginduk pada pemerintah Yordania sejak 1954, dan di bawah pengawasan Kementerian Wakaf Palestina.
Pada tanggal 21 Agustus 1969, Masjid Al-Aqsha sempat dibakar oleh warga berkebangsaan Australia, Denis Michael Rohan. Akibatnya mimbar Masjid Al-Aqsha hancur dilalap api.
Rohan berhasil ditangkap dan diadili, tapi tidak dihukum dengan alasan dinyatakan ada gangguan kejiwaan. Kemudian, ia dideportasi ke Australia pada 14 Mei 1974, dengan alasan untuk perawatan di Rumah Sakit Callan Park di Australia. Ia mati 6 Oktober 1995.
Merespon pembakaran Masjid Al-Aqsha, para pemimpin Negara-negara Islam menyelenggarakan pertemuan darurat pada tanggal 12 Rajab 1389 H. (25 September 1969) di Rabat, Maroko. Dalam pertemuan itu lahirlah Organiasi Kerjasama Islam (OKI). Sekretyariat OKI ada di Jeddah, Arab Saudi.
Saat ini semua yang terkait dengan Masjid Al-Aqsha dalam kendali rezim zionis Israel. Karena itu menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk membebaskan Al-Aqsha dari belenggu penjajahan Zionis.[]
Mi’raj News Agency (MINA)