Sekjen PBB Peringatkan ‘Kekejaman Terhadap Warga Sipil’ di Aleppo

Damaskus,13 Rabiul Awwal 1438/13 Desember 2016 – Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon hari Senin (12/12) telah memberikan peringatan “atas laporan-laporan terjadinya kekejaman terhadap sejumlah besar penduduk sipil” di kota Aleppo di Suriah.

Ban mendesak semua pihak, terutama pemerintah Suriah dan sekutu-sekutunya, untuk melindungi penduduk sipil.

Juru bicara Ban, Stephane Dujarric mengatakan di Damaskus, Selasa (13/12), “Sekjen telah memberi peringatan atas laporan-laporan terjadinya kekejaman terhadap sejumlah besar penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak.”

Penasihat urusan Kemanusiaan PBB, Jan Egeland mengatakan, Suriah dan Rusia “bertanggung-jawab” atas kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh milisi-milisi pro-pemerintah.

Kemenangan besar yang dicapai pasukan Suriah telah menyebabkan para pejuang pemberontak di Aleppo berada di ambang kekalahan.

“Pada saat PBB menyatakan tak bisa secara independen membuktikan laporan-laporan tersebut, Sekjen menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perang Suriah.”

“Dia telah memerintahkan utusan khususnya bagi Suriah untuk meneruskan keprihatinan ini kepada pihak-pihak yang terlibat,” kata pernyataan itu.

Sejauh ini belum ada tanggapan-tanggapan tentang masalah tersebut baik dari pemerintah Suriah maupun sekutunya Rusia. Egeland sebelumnya bercuit bahwa pemerintah Suriah dan sekutunya “bertanggung-jawab atas semua kekejaman di Aleppo setelah kemenangan milisi.”

Para pemberontak telah kehilangan hampir 90 persen wilayah yang pernah dikuasinya di timur Aleppo sejak pasukan-pasukan pemerintah Suriah meningkatkan serangan mereka terhadap kota itu sebulan lalu.

Hari Senin, Letjen Zaid al-Saleh, kepala komisi keamanan lokal pemerintah Suriah mengatakan, para pemberontak tidak “mempunyai banyak waktu” dan harus “menyerah atau mati”.

Puluhan dari ribuan penduduk sipil diyakini berada di daerah kantong pemberontak.

Stasiun TV pemerintah Suriah menayangkan perayaan di Aleppo, di tengah berbagai laporan bahwa tentara telah mencapai kemenangan.

Selama empat tahun terakhir ini kota Aleppo telah terbagi menjadi dua, di mana pemerintah menguasai bagian barat dan para pemberontak menduduki bagian timur.

Pasukan-pasukan Suriah mendobrak kebuntuan dengan bantuan milisi-milisi yang didukung Iran dan serangan-serangan udara Rusia, mengepung kembali Aleppo timur awal September lalu dan melancarkan serangan besar-besaran beberapa pekan berikutnya.

Rusia, yang mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad mengatakan, lebih dari 100.000 penduduk sipil terjebak dalam pertempuran dan 2.200 pejuang pemberontak menyerahkan diri.

Observatori Suriah menyebutkan, sedikitnya 415 penduduk sipil dan 364 pejuang pemberontak telah tewas di daerah yang dikuasai pemberontak sejak 15 November. 130 lainnya tewas akibat roket dan motir pemberontak di daerah barat yang dikuasai pemerintah.

Rusia dan Amerika Serikat yang mendukung pemberontak, menggelar pembicaraan di Jenewa akhir pekan lalu guna membahas kesepakatan bagi warga sipil dan pejuang pemberontak untuk meninggalkan Aleppo.

Namun hari Ahad (11/12) para pejabat AS mengatakan, rekan-rekan mereka dari Rusia telah menolak sebuah usulan penghentian permusuhan untuk memungkinkan keberangkatan warga sipil ke luar dari Aleppo dengan aman.

Para pengamat mengatakan, kejatuhan Aleppo merupakan pukulan keras bagi kelompok oposisi, karena hal itu akan menyebabkan pemerintah menguasai empat kota besar di Suriah.

Ketika pertempuran ditingkatkan di lingkungan yang masih dikuasai para pemberontak, ada upaya-upaya gila untuk menjamin keamanan penduduk paling rentan – yang sakit parah, cedera hebat dan anak-anak tak berdosa. Semua upaya itu sia-sia.

“Itu jauh dari impian,” kata pejabat urusan bantuan dengan kecewa,  hari Senin (12/12) tentang permintaannya bagi misi yang diorganisir PBB untuk mendapatkan obat-obatan untuk sekitar 500 pasien dan keluarga mereka.

Dua upaya, yang tampaknya akan berakhir dengan kesepakatan, gagal pekan lalu ketika Rusia menyatakan tak ada perlunya sebuah genjatan senjata karena puluhan dari ribuan penduduk sedang melarikan diri.

Sumber-sumber mengatakan, Rusia kemudian mengubah pendiriannya.  Tetapi kelompok-kelompok pemberontak menghendaki genjatan senjata dan memberikan bantuan lebih dulu.

Dalam keputus-asaan, lembaga-lembaga bantuan mempercepat tempo permintaannya dari 72 jam menjadi tiga jam. Sebuah kelompok yang dikenal sebagai “dokter-dokter dalam pertempuran” juga telah mengajukan permintaan untuk melakukan evakuasi ratusan anak-anak.

Ahli bedah Inggeris Dr David Nott mengatakan, “kami hanya butuh penghentian permusuhan 60 menit saja untuk menyelamatkan semua warga sipil.” Bahkan permintaan tersebut seakan-akan terlalu berlebihan. (T/R01/P2)

Miraj Islamic News Agency (MINA)