Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Prancis adalah negara yang menerapkan konsep masyarakat sekuler atau dalam bahasa Prancis disebut dengan laïcité. Maka, pada masyarakat Prancis, urusan agama dipisah dari negara.
Menurut Wikipedia, selama abad ke-20, konsep ini berkembang menjadi penyetaraan semua agama. Landasan sekularisme Prancis ini telah memainkan peran dalam pengasingan komunitas Muslim di negara itu.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Laïcité itu sendiri diadopsi melalui undang-undang tahun 1905, yang isinya menjamin kebebasan hati nurani warga negara dan memisahkan negara dari keyakinan, kepercayaan, atau agama apa pun. Dengan kata lain, negara Prancis tidak mengakui agama apa pun.
Meskipun ini mungkin tampak tidak berbahaya. Namun ketentuan turunan hukumnya melarang pertunjukan simbol-simbol agama di depan umum. Ini menjadi ancaman yang cukup besar bagi keharmonisan kehidupan publik Prancis.
Mengutip analisis peneliti pada Observer Research Foundation (ORF), Prasanna Aditya, yang mengatakan, arus perkembangan populasi Muslim dari bekas jajahan Prancis telah mengubah susunan demografis Prancis. Ini secara bersamaan memunculkan pertanyaan baru tentang laïcité’.
Larangan pakaian Muslim seperti kerudung dan cadar dianggap diskriminatif terhadap Islam. Ketika negara menolak untuk menyerah pada tekanan rakyat, itu semakin mengecewakan rakyat Muslimnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Menurutnya, penerapan laïcité yang kaku dipandang sebagai tindakan serampangan. Tidak bisa disamakan lagi dengan saat undang-undang 1905 disahkan, di mana Prancis saat itu adalah negara yang relatif homogen.
“Namun pada masa sekarang, Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa Barat. Komunitas Muslim yang dipandang miskin dan tidak bergerak secara sosial sekarang dihadapkan pada penghinaan di bidang budaya yang didukung oleh kerangka hukum Prancis yang memperkuat rasa pengucilan mereka dari masyarakat,” ujar Prasanna Aditya. (ORF Online, 6 November 2020)
Benoist Apparu, politikus Prancis dari Partai Republik dan anggota Majelis Nasional Prancis mengatakan, laïcité telah berkembang menyerupai sesuatu seperti ‘totalitarianisme sekuler’.
Charlie Hebdo
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dunia Islam sempat marah ketika surat kabar satir Charlie Hebdo, berpusat di Paris, pada awal tahun 2015, menerbitkan serangkaian kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad dengan cara yang tidak tepat, yang dianggap menghujat dalam Islam.
Charlie Hedbo (berdiri tahun 1969 kemudian tutup, dan buka lagi tahun 1992) adalah surat kabar mingguan satir (sindiran dalam bentuk ironi, sarkasme, atau parodi). Majalah ini menampilkan kartun, laporan, polemik dan lelucon, yang secara terbuka non-konformis dalam publikasi. Bahkan memiliki kecenderungan sangat antireligius dan anarkis.
Charlie Hebdo juga memiliki sejarah terkenal dengan gemar menyinggung agama-agama, tidak terbatas pada Islam.
Majalah satir itu pun memicu kekerasan yang dilakukan dua saudara laki-laki keturunan Aljazair, dengan masuk ke dalam kantor redaksi surat kabar dan membunuh 11 orang, termasuk pemimpin redaksi dan kartunis.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Serangan itu menuai kecaman luas, juga memicu perdebatan tentang kebebasan untuk menyinggung.
Menyusul serangan tersebut, surat kabar tersebut menarik dukungan dari komunitas global, atas nama kebebasan berekspresi.
Namun yang jelas, memang Charlie Hebdo telah melanggar norma moral tertentu. Penggambaran Muhammad dalam keadaan telanjang seharusnya dianggap memalukan bukan hanya karena merendahkan Islam. Melainkan juga karena melanggar kesusilaan dasar manusia.
Kombinasi dari kebebasan berekspresi yang tidak dibatasi dan prinsip-prinsip sekuler Prancis ini rupanya telah bersekongkol untuk menghasilkan rasa antagonisme terhadap umat Islam. Ini kemudian membentuk opini yang mengarah ke Islamofobia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Menghina Nabi
Presiden Emmanuel Macron bersikukuh akan membela kebebasan berekspresi, termasuk dukungan penuh atas hak Charlie Hedbo menerbitkan kartun Nabi Muhammad.
Ucapannya itu memicu reaksi perlawanan dunia Islam internasional. Berbagai kecaman dari tokoh Islam dan kepala negara-negara, hingga aksi boikot produk Prancis pun muncul di mana-mana.
Macron telah menodai perkatannya sendiri yang menyebutkan menghormati semua perbedaan dalam semangat perdamaian. Namun ia lupa bahwa kebebasan berkespresi itu bukan tanpa batas. Apapun dan di manapun. Apalagi kalau sudah menyinggung hak paling asasi manusia, agama.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Elizabeth Winkler, seorang kritikus buku yang secara teratur menulis di The Wall Street Journal, The New Republic, dan The Washington Post, menulis, ‘Satir harus dibiarkan berkembang bersama ekspresi religius.’
Bahkan, Pengadilan HAM Eropa sendiri sudah memutuskan pada tahun 2018, bahwa menghina Nabi Muhammad bukan kebebasan berekspresi dan tidak bisa dibuat dalih sebagai kebebasan berekspresi.
Putusan Pengadilan HAM Eropa yang bermarkas di Strasbourg, Prancis itu, menyebutkan bahwa menghina Nabi Muhammad adalah perbuatan ‘melampaui batas debat yang objektif’ dan ‘dapat memicu prasangka dan mengancam perdamaian.’
Akar Terorisme
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Begitulah, maka diksi ‘terorisme’ dan ‘separatisme’ yang dipakai Macron, serta pembelaan terhadap majalah penghina Nabinya umat Islam, menjadi kontradiksi dengan penciptaan perdamaian dan keamanan dunia.
Rencana Macron untuk ‘mereformasi’ Islam versi Prancis juga telah mengabaikan untuk mengatasi akar penyebab bencana teroris yang melanda Prancis. Upaya itu justru hanya akan memperkuat antipati rakyat Muslimnya sendiri.
Presiden Macron seharusnya fokus pada upayanya mengatasi krisis ekonomi, kesenjangan kaum borjuis dan pinggiran, mengatasi pandemi Covid-19, dan penyelamatan negaranya dari perpecahan sosial dengan bekerja keras mengintegrasikan bagian-bagian dari populasi warganya. Bukan dengan membenturkannya atas nama kebebasan berekspresi atau paham sekulerismenya yang sempit dan kaku.
Emmanuel Macron (42 tahun, lahir tahun 1977) sebagai presiden juga harus menjalankan semboyan resmi negaranya, Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan). Ia tidak bisa seenaknya mengatasnamakan liberté (kebebasan) saja. Namun juga harus menyertakan dua lainnya, yaitu égalité (kesetaraan), dan fraternité (persaudaraan), yang meliputi seluruh warga negaranya. Termasuk sekitar 7 juta Muslim (sekitar 10%) dari populasi 66 juta keseluruhan penduduk Prancis.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Saat ini Macron harus mewaspadai bahwa penyebab ‘terorisme’ sesungguhnya justru terletak pada ketidakpuasan sosial-ekonomi rakyat Prancis sendiri yang dikelola oleh ‘kebijakan’ pemerintahan Macron sendiri. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin