Beita, sebuah kota di selatan Nablus, Tepi Barat yang diduduki Israel, kembali mempersembahkan putra-putranya menjadi martir dalam pertempuran mempertahankan tanah Palestina.
Beita merupakan kawasan pegunungan yang disebut dengan Jabal Sabih, menjadi salah satu target Zionis Israel untuk membangun pemukiman.
Sebelum darah Issa Barham yang gugur mengering, seorang pemuda guru bahasa Arab Zakaria Hamayel (28 tahun) mengikuti jejaknya.
Hamayel mengorbankan dengan darahnya untuk untuk mempertahankan tanah pegunungan Beita dari rampasan zionis Israel, sehingga namanya tercatat sebagai salah satu pembela gunung ini yang terancam pemukiman.
Baca Juga: Al-Qassam Hancurkan Pengangkut Pasukan Israel di Jabalia
Hamayel yang masih lajang ini gugur meninggal dunia karena terluka oleh peluru yang ditembakkan ke arahnya oleh seorang tentara dengan peredam, seperti diungkapkan oleh saksi mata.
Peluru itu menembus dadanya dan melukainya hingga meninggal, sesaat setelah tiba di Rumah Sakit Rafidia di Nablus.
Bentrokan hebat meletus pada Jumat (28/5) sore, antara ratusan pemuda Palestina, dengan pasukan pendudukan, dan pemukim di dekat lokasi pos terdepan, yang baru-baru ini dibangun oleh para pemukim di puncak Jabal Sabih, yang berada di tengah kota Beita, Tama dan Qablan.
Warga Palestina di Beita dan desa-desa sekitarnya melakukan unjuk rasa massal setelah melakukan shalat Jumat di tanah dekat pos terdepan, dan konfrontasi terjadi antara mereka dengan pasukan pendudukan, yang berusaha mencegah mereka maju ke pos terdepan.
Baca Juga: Zionis Israel Serang Pelabuhan Al-Bayda dan Latakia, Suriah
Konfrontasi makin panas setelah sore hari, ketika para pemuda Palestina mendekati pos terdepan, dan para pemukim Yahudi Israel menembakkan peluru tajam.
Pada saat itu ada seruan untuk membantu orang-orang Beita untuk membantu para pemuda dan mendukung mereka yang melakukan upaya mempertahankan Jabal Sabih.
Dengan kata-kata yang tersendat, saudaranya Nidal menceritakan tentang jam-jam terakhir tentang saudaranya sebelum menemui kesyahidannya.
“Alhamdulillah, dia ikhlas menemui kematiannya,” kepada media Safa yang dikutip MINA.
Baca Juga: Majelis Umum PBB akan Beri Suara untuk Gencatan Senjata ‘Tanpa Syarat’ di Gaza
Nidal menambahkan, setiap kali dia berbicara dengan suadaranya tentang pernikahan, dia akan menolak dan mengatakan bahwa dia ingin menikah di Surga.
Diungkapkan Hamayel shalat Jumat bersama penduduk kota di Jabal Sabih, dan kembali ke rumahnya seolah-olah dia ingin mengucapkan selamat tinggal kepada kerabat dan keluarganya, dan setelah sore dia pergi lagi ke gunung untuk mendukung para pemuda.
Saat itu sekan merasakan waktunya semakin dekat, dia memeluk keponakannya, mengucapkan selamat tinggal, dan memanjatkan doa memohon kedamaian untuk ayahnya.
Hamayel lahir di Yordania, dan menerima pendidikan sekolah dan universitasnya di sana, sampai ia lulus dengan gelar sarjana bahasa dan sastra Arab dari Universitas Hashemite di Zarqa.
Baca Juga: Sudah 66 Hari Israel Blokir Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Utara
Tinggal jauh dari tanah air selama bertahun-tahun, tidak mengurangi rasa cinta di dalam hatinya, karena dialah yang matanya terbuka dan dia melihat rakyatnya menderita di bawah penindasan penjajahan.
Semasa hidupnya Hamayel biasa mengunjungi Tepi Barat dan kampung halamannya terus-menerus, melihat penindasan pendudukan dan pesta pora para pemukim yang mencuri tanah dan merusak bangunan, pohon, serta penduduk Palestina yang menolak pendudukan.
Tiga tahun lalu, Hamayel kembali menetap di kota Beita, tempat tinggal keluarganya.
Meskipun tinggal sebentar di Palestina, ini tidak mencegahnya untuk bersikap pro-aktif dalam melawan pendudukan. Dia ditangkap setelah kembali ke Tepi Barat, ketika mencoba melakukan serangan penikaman di kota Huwara, dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina
Hamayel dibebaskan dari penjara pendudukan pada tahun 2020, setelah itu ia bergabung dengan profesi guru sebagai guru bahasa Arab di kota Bir Nabala di Yerusalem yang diduduki.
Hamayel ini merupakan korban kedua dalam pertempuran untuk mempertahankan Jabal Sabih, yang terancam oleh ambisi pemukim yang terus berupaya merampasnya untuk mengubahnya menjadi pemukiman.
Dua pekan lalu, putra Beita yakni Issa Barham, mendahului gugur dalam kekerasan konfrontasi di gunung itu.
Ambisi para pemukim untuk mendirikan pos terdepan pemukiman yang disebut “Abitar” di Jabal Sabih sudah ada sejak lebih dari delapan tahun yang lalu.
Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah
Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi banyak peristiwa konfrontasi dengan pemukim dan pendudukan, termasuk beberapa kali pembongkarannya.
Pemukim Yahudi Israel mengambil keuntungan dari serangan penembakan di pos pemeriksaan Za’tara bulan lalu, di mana seorang pemukim tewas dan dua lainnya terluka, jadi mereka mencoba lagi dan membangun rumah permanen di gunung sebagai awal untuk mengubahnya menjadi pemukiman.
Selamat jalan Hamayel, guru yang belum sempat menyelesaikan tahun ajaran bersama rekan-rekan gurunya. Pelajaran terakhir yang sempat diberikan adalah pelajaran praktis yang menginformasikan semua pelajaran, dan sebelum sempat memberi soal ujian akhir tahun bagi siswa-siswanya. (T/B04/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan