Di tengah gemerlap papan iklan rokok yang masih mendominasi sudut-sudut kota, Indonesia tengah menghadapi kenyataan pahit yang bisa mengancam masa depan generasi mudanya. Indonesia boleh dibilang menjadi surga terakhir industri rokok global. Harga rokok yang murah, regulasi iklan yang longgar, dan penetrasi pasar yang masif membuat anak-anak menjadi target pasar potensial.
Untuk itu, dalam momen Hari Anak Nasional 2025 yang diperingati bulan ini, seharusnya bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan momen refleksi mendalam: apakah negara benar-benar serius melindungi anak-anak dari ancaman terbesar kesehatan publik, yaitu tembakau?
Indonesia saat ini menghadapi kenyataan bahwa lebih dari 9% remaja usia 10–18 tahun adalah perokok aktif, sementara harga rokok masih relatif murah dan aksesnya nyaris tanpa hambatan.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat 70 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Ironisnya, prevalensi tertinggi justru ada pada kelompok usia 15–19 tahun yang mencapai 56,5%, disusul kelompok usia 10–14 tahun sebesar 18,4%. Data SKI tersebut juga menyoroti prevalensi perokok remaja naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018), dan terus stagnan di sekitar 9% pada 2023.
Baca Juga: Belajar Qanaah: Kunci Ketenangan di Tengah Arus Hedonisme
Lebih dari itu, riset Tobacco Atlas 2024 menyebutkan bahwa setiap tahun 268.000 kematian di Indonesia terkait konsumsi tembakau, dan beban ekonominya mencapai Rp 288 triliun akibat biaya pengobatan dan hilangnya produktivitas.
Lebih memprihatinkan lagi, rokok elektronik yang dulu dianggap sebagai alternatif “lebih aman” kini menunjukkan peningkatan prevalensi dari 0,06% menjadi 0,13%. Di balik angka-angka ini, ada ancaman nyata: penyakit tidak menular (PTM) yang bersifat katastropik, peningkatan stunting, hingga kematian dini.
Saat negara-negara maju memperketat kebijakan cukai tembakau dan melarang iklan rokok secara total, mengapa Indonesia masih menjadi surga bagi industri tembakau global?
Krisis Kesehatan Publik yang Diabaikan
Baca Juga: Surat Cinta dari Gaza: Negeri Kecil dengan Ujian Seluas Langit
Rokok bukan sekadar persoalan pilihan gaya hidup; ia adalah epidemi yang telah lama menggerogoti kesehatan publik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal, rokok telah terbukti menjadi faktor risiko utama untuk penyakit jantung, stroke, kanker paru, hingga tuberkulosis.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa kenaikan 10% tarif cukai pada 2023 berhasil menurunkan pertumbuhan produksi rokok hingga -1,8%. Ini bukti bahwa kebijakan fiskal dapat efektif sebagai alat pengendalian konsumsi tembakau. Namun, apakah langkah ini cukup?
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., mengingatkan bahwa adiksi nikotin pada usia muda jauh lebih sulit diintervensi.
“Remaja yang mulai merokok sebelum usia 18 tahun memiliki peluang lebih besar untuk menjadi perokok seumur hidup,” ujarnya dalam Workshop Media Advokasi Tobacco Tax dan Tobacco Control di Jakarta pada Rabu 23 Juli 2025.
Baca Juga: 10 Tanda Muslim Sejati Adalah: Cek Apakah Anda Memenuhi Semuanya?
Cukai Tembakau: Senjata yang Terbukti Efektif
Berbagai studi global mendukung fakta bahwa kenaikan tarif cukai adalah salah satu cara paling efektif untuk menurunkan prevalensi merokok. Di Filipina, kenaikan cukai rokok yang agresif berhasil mengurangi konsumsi hingga 14% dalam tiga tahun. Selain itu, reformasi cukai tahun 2012 di sana dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendanai sistem kesehatan universal.
Australia bahkan melangkah lebih jauh dengan kebijakan “plain packaging” yang melarang desain kemasan rokok yang menarik. Selainm, kenaikan tarif agresif kebijakan plain packaging berhasil menurunkan prevalensi merokok menjadi <10%. Sedangkan Selandia Baru mengummkan target menjadi negara bebas rokok 2025 dengan kombinasi tarif tinggi dan larangan generasi (generation ban).
Indonesia memiliki potensi untuk melakukan hal serupa. Namun, industri tembakau kerap mengklaim bahwa kenaikan cukai akan merugikan petani dan pekerja sektor ini. Benarkah demikian? Kajian Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI belum lama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan industri justru mengalir ke perusahaan multinasional, sementara petani tembakau tetap terjebak dalam kemiskinan struktural.
Baca Juga: Sebotol Harapan untuk Gaza, Inisiatif Kemanusiaan Melalui Laut
Reformasi Cukai Rokok yang direncanakan untuk 2026 menjadi peluang emas untuk menegaskan komitmen negara: melindungi generasi emas dari jerat nikotin dan menurunkan prevalensi merokok secara nyata.
Lalu mengapa harga rokok harus mahal? Harga rokok yang mahal adalah kebijakan paling efektif menekan prevalensi merokok. Dengan harga tinggi, anak-anak sulit mengakses rokok, sehingga terlindungi dari kecanduan sejak dini.
Biaya yang mahal juga mendorong perokok pemula berhenti, sekaligus mengurangi beban kesehatan masyarakat. Uang yang tadinya untuk membeli rokok dapat dialihkan ke kebutuhan keluarga seperti pendidikan dan pangan. Dampaknya, kesehatan masyarakat membaik, beban penyakit berkurang, dan produktivitas nasional meningkat.
Perlawanan Industri: Lobi, Framing, dan Misinformasi
Baca Juga: Genosida Melalui Kelaparan di Gaza
Industri tembakau telah lama dikenal lihai dalam mempengaruhi kebijakan publik. Mereka menggunakan strategi Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membangun citra positif di masyarakat, mensponsori acara olahraga, hingga mendanai penelitian yang bias. Framing media juga kerap dimanfaatkan untuk memunculkan narasi bahwa rokok adalah bagian dari budaya dan ekonomi lokal.
Pertanyaannya: apakah media di Indonesia cukup independen untuk melawan narasi ini? Saat sebagian besar pendapatan iklan masih berasal dari produk tembakau, jurnalis berada pada dilema etis antara idealisme dan realitas ekonomi redaksi.
Workshop Media yang digagas TCSC IAKMI bersama PEBS FEB UI belum lama ini menggarisbawahi pentingnya media sebagai garda terdepan edukasi publik. Pemberitaan yang berbasis data dan fakta mampu menekan ruang gerak misinformasi dari industri. Media harus berani mengangkat isu ini secara berkelanjutan, menyajikan data ilmiah, kisah korban dampak rokok, hingga menggugat lemahnya regulasi negara.
Selain itu, kolaborasi antara jurnalis, akademisi, dan aktivis kesehatan harus diperkuat untuk menghasilkan liputan investigasi yang mendalam. Tanpa keberanian media, advokasi pengendalian tembakau akan kehilangan salah satu senjata terkuatnya.
Baca Juga: Kader Adalah Benih Peradaban
Membebaskan Generasi Muda: Tanggung Jawab Siapa?
Hak anak untuk hidup sehat adalah hak asasi yang dijamin konstitusi. Namun, kenyataan bahwa jutaan remaja Indonesia menjadi perokok aktif menunjukkan lemahnya perlindungan negara.
Pemerintah harus berani mengambil langkah radikal: melarang total iklan dan promosi rokok, menaikkan cukai hingga rokok tak terjangkau remaja, memperluas kawasan bebas asap rokok, serta mendukung diversifikasi ekonomi bagi petani tembakau.
Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian tembakau akan menjadi teladan bagi negara berkembang lain, sekaligus menyelamatkan masa depan generasi emas bangsa.
Baca Juga: Vonis Tom Lembong: Jerat Prosedural, Preseden Baru bagi Pejabat?
Saatnya Memutus Rantai Adiksi
Indonesia tidak boleh lagi menjadi “surga industri tembakau” di saat dunia sudah bergerak menuju generasi bebas rokok. Hari Anak Nasional tahun ini harus menjadi turning point: Apakah kita membiarkan generasi emas tumbuh dengan paru-paru yang rusak, atau kita berani mengambil keputusan yang tidak populer bagi industri tetapi menyelamatkan jutaan anak dari kecanduan?
Momen ini tepat untuk menunjukkan keberpihakan negara pada anak-anak, bukan pada industri yang selama ini menyasar mereka melalui produk murah dan promosi agresif.
Ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga tentang martabat bangsa dan masa depan generasi muda. Media, akademisi, dan masyarakat sipil harus bersatu untuk mendesak keberanian politik dalam memutus mata rantai adiksi yang telah menjerat negeri ini selama puluhan tahun.
Baca Juga: Kekalahan Zionis Israel atas Rakyat Palestina
Jika tidak sekarang, kapan lagi? []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Aneksasi Zionis terhadap Masjid Ibrahimi Harus Dihentikan