Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation
Saya barangkali bisa memberikan titel pada diri saya sebagai veteran pbb/">khatib PBB (hehe). Saat ini saya adalah khatib terlama di ibadah jumatan yang dilakukan setiap pekan di kantor pusat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), New York.
Ada empat khatib yang bergiliran setiap Jumatnya, dan jika di suatu bulan ada Jumat kelima maka pengurus akan mengundang khatib tamu.
Jamaahnya berkisar 400-an orang, yang meliputi para diplomat negara-negara Islam, pegawai kantor PBB, maupun tamu-tamu yang datang bersidang di PBB. Saya telah menjadi khatib di kantor organisasi dunia ini sejak tahun 1998 silam, dengan jadwal pada Jumat keempat setiap bulannya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Jumat 28 Juli kemarin sekembali dari Indonesia saya kembali mendapat giliran khutbah. Sesungguhnya ragam tema di kepala saya yang ingin saya sampaikan. Tapi pada akhirnya saya melepaskan diri dari belenggu tema-temaan, dan menyampaikan khutbah saya secara lepas tanpa tema tertentu. Tentu tujuannya agar saya bisa menyampaikan isu-isu yang ragam.
Hal pertama yang saya sampaikan adalah mengingatkan kembali betapa “syukur” itu menjadi kata kunci dalam kesuksesan manusia. Kesuksesan sesungguhnya tidak ditentukan oleh bentuknya. Tapi bagaimana sikap yang mengikutinya. Sukses dalam bisnis hanya akan sukses ketika kesuksesan itu diikuti oleh kesyukuran. Keberhasilan seseorang dalam bisnis tanpa syukur akan melahirkan “ketidak puasan” yang tiada ujung.
Dalam mensyukuri hidup ini minimal ada dua tingkatan nikmat yang perlu disadari. Satu, nikmat Allah karena kita terpilih menjadi makhluk-Nya yang bernama manusia. Makhluk Allah yang paling sempurna (ahsan taqwiim) dan dengan bentukan terindah (ahsaana Shuwarakum).
Dua, diplihnya kita sebagai hamba-hamba-Nya yang beriman. Kata “iman” sejatinya dalam perspektif Islam adalah “hidup” itu sendiri. Dan karenanya manusia tanpa iman adalah manusia yang hidup dalam kepura-puraan. Karena hidup ditentukan oleh karya dan kreasi manusia. Sementara karya dan kreasi manusia itu akan ditentukan oleh imannya. Dengan demikian hidup yang sejati adalah hidup yang terbangun di atas iman.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Isu Al-Quds
Hal kedua yang saya ingatkan adalah isu Palestina dan secara khusus keadaan mutakhir di Jerusalem. Saya tidak lagi tertarik
menyampaikan pentingnya Al-Quds dan Masjidil Aqsha dalam pandangan Islam. Saya kira semua hadirin pun tahu hal itu.
Justeru yang saya tekankan pada kesempatan itu adalah bagaimana kewajiban setiap orang itu menjadi lebih berat ketika di hadapan mata kita terjadi pelanggaran yang nyata. Oleh karenanya saya menekankan, siapapun kita dan dalam kapasitas apapun memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu bagi kemerdekaan Palestina dan pembebasan masjid Al-Aqsha.
Kewajiban ini memiliki tiga tingkatan. Satu, tanggung kemanusiaan (human responsibility) karena setiap manusia secara fundamental memiliki hak untuk merdeka. Kemerderkaan (freedom) adalah hak asasi manusia yang paling mendasar. Dua, tanggung jawab ukhuwah (mas-uliyah akhawiyah). Bahwa umat ini adalah bersaudara dan bagaikan satu tubuh. Kezaliman yang terjadi di sebuah tempat atau negeri adalah kezaliman yang terjadi kepada kita semua. Tiga, tanggung jawab ukhrawi (mas-uliyah ukhrawiyah). Bahwa mau atau tidak, sadar atau tidak, semua yang punya posisi dan kapasitas untuk memperjuangkan kemerdekaan ini tapi tidak sungguh-sungguh, bahkan sekedar menjadikannya alat kepentingannnya, akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Dengan pertimbangan di atas tidak seorang pun bisa berpangku tangan dan merasa lepas tanggung jawab. Kalaupun tidak merasa terikat secara iman, karena mungkin saja merasa iman adalah urusan pribadi (karena pandangan sekuler) maka tanggung jawab itu tetap ada sebagai manusia. Dan apalagi ketika berbicara akhirat, akankah ada yang terlepas dari tanggung jawab ini?
Self Development
Hal ketiga yang saya sampaikan adalah bahwa hal terbaik untuk mendapatkan hak-hak keumatan kita adalah dengan kembali kepada diri kita sendiri (be our selves). Sudah terlalu lama umat ini bertumpu pada orang lain. Mengharap belas kasih dari orang lain. Jika sakit mengharap kesembuhan dari orang lain. Jika miskin mengharap donasi orang lain.
Sikap seperti ini pula yang melahirkan sikap mudah “mengkambing hitamkan” orang lain. Seolah semua masalah yang ada pada umat ini karena memang rancangan orang lain. Anak kita sakit gara-gara “mereka”. Anak kita tidak kunjung sembuh gara-gara obat mereka tidak becus. Intinya umat ini begitu cepat menyalahkan orang lain di saat menghadapi masalah.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Haruskah demikian? Jawabannya tidak demikian.
Justeru yang harus dilakukan oleh umat ini adalah sebagai berikut:
Satu, harus ada keberanian untuk melakukan “self criticism” (mengoreksi diri sendiri). Jangan pernah merasa bahwa dengan mengaku umat Islam kita menjadi sempurna. Islam itu sempurna. Tuntunan ajaran Muhammad SAW itu indah dan sempurna. Tapi kita adalah manusia-manusia yang punya batas dalam mengikuti kesempurnaan itu. Dan karenanya sudah pasti kita memilki berbagai kekurangan. Intinya umat harus berani melakukan introspeksi dan mengoreksi diri sendiri.
Perhatikan misalnya, Al-Quran mengatakan: “orang berikan itu bersaudara”. Bagaimana keadaan umatnya?
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Al-Qur’an mengatakan: “berpegang teguhlah kamu semua ke tali agama Allah”. Bagaimana umatnya?
Al-Qur’an mengatakan: “berbuat adillah karena keadilan itu dekat kepada ketakwaan”. Bagaimana umatnya?
Maka wahai umat Islam, bangkit dan sadari akan kesalahan-kesalahan kita sendiri. Jangan silau dengan kebaikan, bahkan jangan terlalu peduli dengan kekurangan orang lain. Judge your selves before being judged by others!
Kedua, harus ada keberanian untuk melakukan “self change” (merubah diri sendiri). Umat ini tidak perlu menunggu orang lain untuk merubahnya. Kita memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Sumber daya manusia yang luar biasa. Sumber daya alam yang luar biasa. Tapi yang terpenting kita memiliki petunjuk “samawi” untuk itu.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Keterbelakangan hampir dalam segala bidang harusnya segera dibalik dengan energi “samawi” menjadi kemajuan dalam segala bidang. Bukankah Al-Quran memacu umat ini untuk sukses? Kata-kata “la’allakum tuflihuun” (agar kamu sukses) berulang kali ditekankan dalam Al-Quran.
Ketercabikan dalam kesatuan dan persatuan segera dibalik menjadi persatuan dan ukhuwah yang solid berdasarkan: “innamal mu’minuuna ikhwah”. Tidak ada acuan yang lebih indah dalam kesatua dan kebersamaan dari ajaran agama ini.
Pertanyaannya apakah umat ini mau berubah? “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah bangsa hingga bangsa itu merubah nasibnya sendiri”.
Ketiga, harus ada keberanian untuk menembus dinding kesalehan pribadi (individual righteousness) ke kesalehan kolektif (collective righteousness).
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Islam bukan sekedar agama individu. Tapi juga agama yang datang menuntun manusia dalam hidup sosialnya. Oleh karenanya kesalehan kolektif mutlak terbangun beriringan dengan pembangunan kesalehan pribadi.
Kalau kesalehan pribadi itu memang bersifat pribadi, kesalehan kolektif itu tidak mengenal batas-batas kemanusiaan. Mungkin saya juga menyebutnya sebagai kesalehan universal.
Kesalehan pribadi bersifat: lakuk diinukum wa liya diin (Agamamu agamamu. Agamaku agamaku). Tapi kesalehan kolektif adalah kesalehan kita bersama.
Kesalehan kolektif inilah sesungguhnya yang disebut dengan bahasa modern sebagai “peradaban”. Dan peradaban Islam itu adalah peradaban yang dirindukan oleh semua manusia. Karena semua manusia mau maju, damai dan berkeadilan. Dan itu pulalah cita-cita tertinggi sekaligus kewajiban keumatan kita yang terbesar. Membangun peradaban alternatif yang didambakan oleh semua manusia.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Dan itulah makna: “dan tidaklah Kami utus kamu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”.
Hanya dengan ini pula umat akan kembali ke posisi sejatinya sebagai “khar ummah”. Dengan situasi saat ini umat harusnya menjadi malu untuk mengakui titel itu. Wallahul musta’aan!
New York, 28 Juli 2017
(A-R07/P1)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)