Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selfie di Sajadah, Hijrah atau Gengsi?

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 50 menit yang lalu

50 menit yang lalu

6 Views

Ilustrasi

DI ERA digital seperti sekarang, media sosial menjadi ruang aktualisasi diri yang tak terbendung. Semua hal bisa dibagikan—dari makanan, perjalanan, hingga kehidupan spiritual. Salah satu tren yang muncul adalah foto selfie di sajadah, biasanya dilengkapi caption spiritual seperti “Hijrah itu indah”, “Mulai dari sajadah”, atau “Bismillah, menjadi lebih baik.” Fenomena ini mengundang berbagai respons: ada yang mengapresiasi sebagai semangat berhijrah, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan—benarkah ini tanda hijrah, atau hanya gengsi yang dibungkus religiusitas?

Hijrah sejatinya adalah perubahan, dari yang buruk menuju kebaikan. Dalam konteks kekinian, hijrah sering dimaknai sebagai transformasi gaya hidup menjadi lebih Islami. Namun, niat adalah ruh dari setiap amal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, ketika seseorang memutuskan untuk tampil lebih Islami lalu membagikannya di media sosial, pertanyaannya adalah: untuk siapa?

Jika unggahan itu diniatkan untuk menginspirasi, mengajak, dan memperlihatkan bahwa Islam itu indah, tentu itu bisa menjadi bagian dari dakwah. Namun jika tujuan utamanya adalah validasi sosial, mendapatkan likes, pujian, atau bahkan popularitas, maka itu bukan lagi hijrah, melainkan sekadar gengsi dalam kemasan religius.

Budaya “Pamer Kebaikan”

Kita hidup di zaman ketika segala sesuatu bisa dikemas menjadi konten. Sedekah, zikir, salat tahajud, hingga air mata taubat pun bisa jadi bahan konten. Budaya “pamer kebaikan” ini disebut sebagian orang sebagai riya digital. Apakah semua yang kita bagikan adalah riya? Tidak selalu. Tapi kita perlu introspeksi: apakah kita masih bisa khusyuk beribadah jika tidak mengunggahnya?

Baca Juga: Muslimah dan Cahaya Keberanian, Menapaki Jalan Kebaikan dengan Keyakinan

Selfie di sajadah menjadi simbol baru dari tren ini. Kamera dihadapkan ke wajah yang syahdu, mukena putih bersih, dan sajadah bermotif estetis. Kadang ditambah Al-Qur’an sebagai properti. Semua tampak sempurna, tapi apakah itu mencerminkan suasana hati yang tulus kepada Allah? Ataukah hanya ingin terlihat “sudah hijrah”?

Tak bisa dimungkiri, media sosial juga bisa menjadi ladang dakwah. Banyak orang yang terinspirasi untuk berubah setelah melihat konten Islami. Namun harus dibedakan antara dakwah dan eksistensi. Dakwah adalah ajakan menuju Allah, sementara eksistensi adalah ajakan untuk mengakui diri sendiri. Jika selfie di sajadah lebih banyak menampilkan aku yang shalihah daripada Allah yang Maha Pengampun, maka orientasinya perlu dievaluasi.

Kita perlu menumbuhkan budaya malu terhadap riya, bukan justru membanggakannya dalam bentuk kekinian. Ulama salaf dahulu menangis bukan karena tidak bisa salat malam, tapi karena takut amalnya tidak diterima karena riya. Sementara kita hari ini bisa dengan ringan mengetik caption “semoga istiqamah”, padahal belum tentu semalam benar-benar salat tahajud.

Hijrah Bukan Tentang Fashion

Hijrah sering direduksi menjadi tampilan: pakai gamis, berjilbab panjang, atau memelihara jenggot. Padahal hijrah adalah perjalanan hati dan amal. Hijrah sejati tidak hanya tampak di feed Instagram, tapi juga dalam interaksi sehari-hari: jujur dalam bisnis, santun kepada orang tua, tidak nyinyir di kolom komentar, serta meninggalkan dosa yang tersembunyi.

Baca Juga: Menjaga Cahaya Iman, Muslimah di Tengah Godaan Gemerlapnya Dunia

Pakaian Islami hanyalah bagian kecil dari hijrah. Jika tidak diiringi dengan perubahan sikap, maka hanya menjadi simbol kosong. Bahkan bisa jadi lebih membahayakan karena menipu diri sendiri dan orang lain.

Bukan berarti semua selfie di sajadah itu salah. Tapi perlu introspeksi mendalam. Setiap amal harus dimulai dengan niat yang lurus. Boleh-boleh saja berbagi momen spiritual, tapi jangan sampai kehilangan ruh spiritual itu sendiri. Gunakan media sosial untuk memperlihatkan keindahan Islam, bukan memperindah diri demi pengakuan.

Mari kita mulai hijrah dari dalam. Tidak perlu semua hal dibagikan. Biarkan ada rahasia antara kita dan Allah. Bukankah amal yang tersembunyi lebih disukai Allah? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihatkan amalnya (dengan tujuan riya), maka Allah akan memperlihatkan aibnya di Hari Kiamat” (HR. Bukhari).

Selfie di sajadah bukan masalah besar jika niatnya lurus. Tapi jika itu menjadi ajang pamer spiritualitas, maka kita perlu bertanya kembali: apakah kita sedang berhijrah kepada Allah, atau sekadar sedang mencari perhatian manusia? Hijrah bukan tentang dilihat, tapi tentang menuju cahaya. Jika tak ada satu pun yang tahu kita sudah berubah, asal Allah tahu, itu sudah cukup.[]

Baca Juga: Menjadi Muslimah yang Berdaya Saing dan Tangguh

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda