Semangat Hijrah dan Memperselisihi Orang Yahudi, Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

Firman Allah SWT:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

 

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.“ (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Penjelasan dari ayat di atas:

Ayat ini dimulai dengan huruf Inna [ ان] yang berarti “sesungguhnya” untuk menunjukkan pentingnya isi yang hendak disampaikan supaya pendengaran dan hati orang yang dituju oleh ayat itu (mukhatab) benar-benar memperhatikannya.

Pada ayat ini, Allah menyampaikan bahwa bilangan bulan sejak Ia menjadikan semua langit dan bumi adalah berjumlah dua belas (12) bulan. Yang dimaksud bulan di sini adalah bulan Qamariyah (hijriyah), bukan Syamsiyah (masehi). Ini merupakan isyarat kepada umat Islam agar mengetahui bulan-bulan Qamariyah karena peribadatan Islam yang memerlukan ketentuan waktu dilakukan dengan berpedoman pada kalender Hijriyah yang berdasar pada perhitungan bulan (qamar).

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menukilkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika menyampaikan khutbah pada saat haji, beliau bersabda:

 

 “أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ“

“Ketahuilah bahwa zaman berputar seperti keadaannya pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan-bulan mulia, tiga berurutan; Dzulqo’dah, Dzulhijah dan Muharram serta Rajab mudhar yang berada diantara Jumadil Akhir dan Sya’ban.

Masyarakat Arab sebelum Islam menamai dua belas bulan itu dengan peristiwa yang berkorelasi (berhubungan) dengannya;

  1. Muharam, artinya “yang diharamkan”, yaitu diharamkan berperang (menumpahkan darah) yang terus berlaku sampai datangnya Islam (sekarang).
  2. Shafar, artinya “kosong”, karena pada bulan ini orang Arab jahiliyah biasa meninggalkan rumah untuk berperang, berdagang, berburu, mengembara dan sebagainya sehingga rumahnya kosong.
  3. Rabiul Awal, artinya “menetap yang pertama”, karena kaum lelaki Arab Jahiliyah pada saat itu yang tadinya meninggalkan rumah, mereka pulang dan menetap kembali di rumahnya.
  4. Rabiul akhir, artinya “menetap yang penghabisan” yaitu mereka menetap kembali dalam di rumah mereka untuk berakhir.
  5. Jumadil Awwal, artinya “beku yang pertama” karena pada waktu itu air menjadi beku dan menjadi padat dengan datangnya musim dingin.
  6. Jumadil Akhir, artinya “beku yang penghabisan” karena orang-orang Arab mengalami kebekuan cuaca pada yang penghabisan.
  7. Rajab, artinya “mulia” karena bangsa Arab Jahiliyah memuliakannya terutama tanggal 1 untuk berkurban anak unta dan membuka pintu Ka’bah terus menerus. Rajab juga dikenal sebagai bulan larangan berperang.
  8. Sya’ban, artinya “berserak-serak”, karena orang Arab jahiliyah pada waktu itu bergerak, berpergiaan kepuncak mencari air dan penghidupan.
  9. Ramadhan, artinya “panas terik atau terbakar” karena pada bulan itu Jazirah Arab sangat panas sehingga baik matahari dapat membakar kulit.
  10. Syawal artinya “naik” karena pada bulan itu unta mengangkat ekornya untuk kawin.
  11. Dzulqa’dah artinya “si empunya duduk” karena orang-orang Arab pada bulan itu, duduk atau diam ditempatnya tidak mengadakan peperangan dan tidak bepergiaan.
  12. Dzulhijjah artinya “si empunya haji” karena pada bulan itu sejak masa Nabi Ibrahim AS orang melaksanakan ibadah haji.

 

Di antara dua belas bulan itu Minha Arbaatun Hurum  (diantaranya ada bulan-bulan mulia) yang tiga berurut-urutan dan yang satu terpisah, pertama adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Inilah yang berurut-urutan, sementara yang pisah adalah bulan Rajab. Jadi, inilah empat bulan yang mulia.

Di bulan yang mulia yaitu bulan Muharram ada satu hari yang merupakan dihormati sejak masa jahiliah adalah tangal 10 Muharram disebut juga bulan Syura (Assyura). Abu Mussyari mengatakan bulan Assyura adalah hari yang di agungkan oleh orang-orang Yahudi dan mereka jadikan sebagai hari raya. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Salam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari “berpuasalah kalian pada bulan itu.

Dalam beberapa hadits disebutkan tentang kemulian 10 Muharram Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam menjelaskan dalam riwayat An-Nasai yang artinya “Sesungguhnya shalat yang terbaik setelah salat fardhu adalah shalat tengah malam dan sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram yang kalian sebut dengan puasa 10 Muharram.

Oleh karena itu, kita disunnahkan pada bulan itu untuk melaksanakan puasa 10 Muharram ini yang pahalanya dihapus dosa setahun. Ketika Rasulullah diberitahu bahwasanya orang-orang Yahudi telah melelaksanakanya, maka kemudian Beliau mensunnahkan agar ditambah dengan berpuasa satu hari sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Muharram. Maka apabila pada hari itu kita melaksakan berpuasa maka itu lebih baik daripada kita hanya mengambil  puasa pada tanggal 10 saja.

Oleh karena itu marilah kita jadikan 10 Muharram ini menjadi penyemangat untuk melaksanakaan shaum dengan menyelisihi orang-orang Yahudi (yaitu ditambah puasa satu hari sebelumnya, 9 Muharram). Inilah yang bisa kita ambil pelajaran, mari dalam hidup ini kita sebagai umat Muslim benar-benar dapat memperselisihi apa yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam yaitu, Yahudi dan Ahli Kitab.

Kebiasaan mereka bertafarruk  (berpecah belah), maka kita selisihi mereka dalam untuk tidak berpecah belah dengan kita kembali pada pola hidup berjamaah, karena memang ini adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Justru jangan kita mengikuti mereka ikut-ikutan berpecah belah yang jelas itu dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surah Ar-Rum [30]:  32

مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

 

Merenungi Makna Hijrah

Firman Allah :

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجٰهَدُوا فِى سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (البقرة [٢]: ٢١٨)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 218).

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menjelaskan keutamaan hijrah. Pada ayat ini disebutkan tingkat penyempurnaan iman:
Pertama, iman kepada Allah.

Kedua, sanggup hijrah karena iman.

Ketiga, sanggup berjihad di jalan Allah.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:


أن نبي الله صلى الله عليه وسلم قال :وأنا أّمُرُكْم بِخَمْسٍ أَللهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ : بِاْلجَمَاعَةِ وَالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْهِجْرَةِ وَ اْلجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ اْلجَمَاعَةِ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى اَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ اِنْ صَامَ وَصَلَّى ، قَالَ وَاِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا اْلمُسْلِمِيْنَ بِمَا سَمَّاهُمُ اْلمُسْلِمِيْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ * رواه أحمد والترمذي،

“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (muslimin) lima perkara; sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara itu; berjama’ah, mendengar, thaat, hijrah dan jihad fi sabilillah. Barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali bertaubat. Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasu lullah, jika ia shaum dan shalat?” Rasul bersabda: “Sekalipun ia shaum dan shalat dan mengaku dirinya seorang muslim, maka panggillah oleh orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka; “Al-Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah ‘Azza wa jalla.” (HR.Ahmad bin Hambal dari Haris Al-Asy’ari,  dan At-Tirmidzi)

Orang yang beriman dan ikut berhijrah bersama Rasulullah dan berjihad di jalan Allah , mereka itulah orang-orang pantas memperoleh rahmat dan ridha Allah.

Hijrah secara bahasa berarti memiliki makna berpindah, meninggalkan, berpaling, dan tidak mempedulikan lagi. Sedang secara istilah, mempunyai beberapa pengertian antara lain:

1). Meninggalkan tempat yang dikuasai oran-orang kafir.
2). Menjauhkan diri dari dosa. Sebagaimana dalam sabda-Nya.

المهاجر من هجر ما نهى الله عنه (رواه البخاري)

Orang yang berhijrah adalah meninggalkan kebiasaan yang dilarang Allah SWT”. (HR Al-Bukhari)

Hijrah dalam sejarah Islam biasanya dihubungkan dengan kepindahan Nabi Muhammad  dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini, hijrah berarti berkorban karena Allah, yaitu memutuskan hubungan dengan yang dicintai demi tegaknya kebenaran dengan jalan berpindah dari kampung halaman ke negeri lain.

Hijrah adalah sunnah para Rasul sebelum Nabi Muhammad dan terbukti menjadi prelude (pendahuluan) bagi keberhasilan perjuangan.
Hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah membuktikan kebenaran pernyataan ini. Secara lahiriah hijrah ini tampak sebagai kerugian karena harus kehilangan negerinya. Tetapi kehilangan ini diganti oleh Allah dengan pesatnya perkembangan Islam di Madinah bahkan akhirnya Makkah dapat kembali ke pangkuan beliau dan para sahabat dalam sebuah kemenangan yang gilang gemilang.
Inilah bukti kebenaran firman Allah :

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِى الْأَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (النساء [٤]: ١٠٠)

“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di Bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 100).

Hijrah Rasulullah dan para sahabatnya banyak sekali memberi pelajaran kepada kita, antara lain:

Pentingnya Persiapan/Perencanaan (Planning).
Sebelum melaksanakan hijrah beliau telah membuat perencanaan yang matang. Beliau menentukan jalan yang akan dilalui yang berbeda dengan rute jalan yang biasa dilalui menuju ke Yatsrib, membayar pentunjuk jalan, memilih sahabat yang akan menemaninya, yaitu Abu Bakar , sampai memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan beliau di tempat tidurnya dan mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada beliau.

Pengorbanan dalam Perjuangan
Ketika Abu Bakar membeli dua ekor unta dan menyerahkannya sebagai hadiah untuk kendaraan ke Yatsrib (Madinah), beliau menolaknya dan bersikeras untuk membelinya. Di sini beliau mengajarkan bahwa untuk mencapai usaha besar diperlukan pengorbanan yang maksimal.

Pengorbanan ini pula yang dilakukan oleh seluruh sahabat yang hijrah bersama beliau. Mereka tinggalkan keluarga, tanah kelahiran, harta yang mereka cintai demi dapat berhijrah. Di antara pengorbanan para sahabat yang diabadikan dalam Al-Qur’an, pengorbanan Suhaib Ar-Rumi , saudagar kaya yang berasal dari Romawi yang meninggalkan seluruh hartanya di Makkah agar dia dapat berhijrah.
Allah berfirman:

وَمِنَوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌۢ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207).

Membangun Masjid

Dalam perjalanan menuju Madinah, setelah sampai Quba’ (berjarak 5 km dari Madinah), beliau membangun masjid di tempat itu. Inilah masjid yang pertama dibangun sebelum beliau sampai di Madinah. Masjid digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة [٩]: ١٠٨)

“Janganlah engkau melaksanakan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (Q.S. At-Taubah [9]: 108).

Setelah sampai di Madinah beliau membangun Masjid Nabawi. Lokasi masjid ini semula adalah tempat penjemuran kurma milik anak yatim Sahl dan Suhail bin Amr yang kemudian dibeli oleh Rasulullah ﷺ untuk dibangun masjid dan rumah beliau.

Membangun Shuffah 

Setelah masjid Madinah jadi, beliau mendirikan tempat pendidikan untuk para sahabat terutama yang miskin dan tidak punya rumah di dalam masjid tersebut. Di sinilah Rasulullah ﷺ mengajar mereka berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu agama. Keberadaan Shuffah ini beberapa kali disebut dalam Al-Qur’an:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (البقرة [٢]: ٢٧٣)

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 273).

Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Rasulullah ﷺ mempersaudarakan Muhajirin (orang yang hijrah dari Makkah) dan Anshar (penduduk asli Madinah). Beliau bersabda:

تاخوا فى الله أخوين أخوين (رواه ابن هشام)

“Bersaudaralah di jalan Allah dua dua” (H.R. Ibnu Hisyam).

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ menunjukkan masyarakat madani (berkemajuan) sangat erat hubungannya dengan masjid, pendidikan, dan persaudaraan.
Oleh karena itu apabila kita menginginkan terwujudnya masyarakat yang beradab dan maju marilah kita implemen-tasikan hikmah hijrah dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita cermat dalam perencanaan, marilah kita berani berkor-ban untuk perjuangan. Marilah kita selalu dekat dengan masjid, marilah kita utamakan pendidikan dan marilah kita jaga persaudaraan (ukhuwah) di antara kita. Jangan sampai persaudaraan kita rusak hanya karena masalah politik, madzhab, suku, dan lain-lain. Untuk menjaga ukhuwah Allah telah memerintahkan kita berjama’ah.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوٰنًا وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (ال عمران [٣]: ١٠٣)

“Dan berpegang teguhlah kamu pada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103).

Peran Mush’ab bin Umair
Satu pelajaran penting lainnya yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah adalah peran penting yang dimainkan oleh salah seorang sahabat bernama Mush’ab bin Umair dalam menyiapkan kondisi kota Madinah sebagai tempat yang kondusif untuk ladang hijrah.

Dia yang berperan sebagai Duta Besar yang dikirim oleh Rasulullah SAW telah berhasil menyebarkan dakwah Islam ke seantero kota Madinah, sehingga tak tersisa satu rumah pun yang tidak tersentuh dakwah Islam. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap masa depan Islam pada tahap selanjutnya.

Bahkan dakwah yang beliau lakukan tidak hanya terbatas pada kaum proletar, namun lebih dari itu para pemuka masyarakat yang selanjutnya menjadi pembesar golongan Anshar (penolong), pun telah memeluk Islam berkat dakwah beliau.

Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair yang saat itu menjabat sebagai kepala suku telah tertarik dengan dakwah yang dilakukan oleh Mush’ab bin Umair. Kota Madinah yang sebelumnya dilanda konflik internal yang berdarah dan berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj berubah drastis semenjak kedatangan utusan Rasulullah SAW tersebut.

Inovasi

Betapa luar biasanya usaha yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang selalu mencoba berbagai inovasi baru dalam dakwahnya. Terobosan-terobosan yang beliau lakukan ini nampak dari pemilihan berbagai tempat beserta alasan-alasan yang relevan yang melatar-belakanginya.

Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW sangat memikirkan masyarakatnya. Segala cara beliau usahakan agar para sahabatnya tidak disiksa dan diprovokasi oleh pihak lain. Beliau pula yang paling akhir keluar dari Makkah setelah semua sahabatnya selamat.

Dan mestinya masih banyak lagi i’tibar atau pelajaran yang dapat dipetik darinya. Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi penggugah untuk memulai langkah awal menuju yang baik dan yang lebih baik. Amin. (A/R8/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)