Semangat Juang Perempuan Penjaga Al-Aqsa Tak Pernah Surut

Kaum perempuan penjaga Masjid Al-Aqsa atau Murabithat. (Al-Quds)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Orang-orang menyebutnya “Murabithun Al-Aqsa”, artinya Para Penjaga Masjidil Aqsa. Sedangkan kaum perempuannya disebut dengan “Murabithat Al-Aqsa”, kaum perempuan penjaga Al-Aqsa.

Mereka adalah sekelompok pemuda dan pemudi yang siap setiap saat menjaga dan menanggapi panggilan Al-Aqsa kapan pun dibutuhkan. Mereka secara otomatis bergerak cepat menyebar di depan gerbang Al-Aqsa untuk melaksanakan tugasnya.

Mereka sudah terbiasa dipukuli, ditangkap, dan diusir dari Al-Aqsa. Dan mereka menikmati itu semua sebagai bagian dari tanda perjuangan mulia.

Luka yang dialami, menjadi saksi kelak di hadapan Allah, bahwa dia pernah berhadapan langsung dengan musuh Allah dan Rasul-Nya, yakni kaum Zionis Yahudi.

Semua itu tidak pernah menghalangi mereka untuk ditempatkan di gerbang Al-Aqsa.

“Tidak ada kembali ke Al-Aqsa tanpa kemenangan,” ujar Khadijah Khuwais, ibu dari lima anak. Salah satu Murabithat.

“Kami adalah perempuan yang siap membela Al-Aqsa kapan saja, dan kami mendaftarkan diri sebagai penghadang utama dari serangan pemukim Yahudi ilegal,” tegasnya.

Pasukan Zionis menekan mereka dengan segala cara dan metode, baik melalui penahanan atau pengusiran.

Termasuk Khuwais, salah satu Murabithat yang pernah ditangkap lebih dari sembilan kali, tiga kali di antaranya sempat masuk ke penjara Zionis.

Baca Juga:  Parlemen Zionis Tunda Konferensi “Kembalinya Israel ke Bait Suci”

Ia terhitung telah diusir dari Al-Aqsa melebihi 600 hari dalam tiga tahun.

Ia mengatakan, Zionis secara bertahap menyingkirkan para pemuda dan pemudi dari Masjid Al-Aqsa, melalui skema deportasi ke luar Kota Tua. Dimulai dari deporatsi 15 hari, hingga 6 bulan.

“Melalui kehadiran kami di tempat itu sejak dini hari, kami dapat membentuk perisai pelindung untuk mempertahankan Masjid Al-Aqsa dari para pemukim Yahudi yang menyerbu melalui Gerbang Maghariba, yang kuncinya dirampas oleh Zionis tahun 1967,” ujarnya.

Khuwais menekankan, “mempertahankan Masjid Al-Aqsa adalah tugas yang tidak hanya dimonopoli oleh penjaga dari kalangan laki-laki (Murabithun).

Namun adalah kewajiban bagi setiap orang, termasuk kami kaum perempuan, yang dapat mencapainya untuk berdiri sebagai pelindung, bahkan jika darah kami tumpah.”

Dia berbicara tentang pengalamannya yang paling sulit dalam penahanan, ketika tahun lalu dia dipanggil untuk diinterogasi, dan penahanannya diperpanjang selama dua pekan berturut-turut.

Saat itu pasukan Zionis sampai menggerebek rumahnya, menghancurkan perabotan rumahnya dan menangkap suaminya serta mendeportasinya ke Tepi Barat. Salah satu putrinya juga dipanggil untuk diinterogasi.

Pasukan Zionis dengan represif memukuli, menyeret, dan mendorong para penjaga Al-Aqsa dengan tongkat, membubarkan dan mengejar hingga ke Kota Tua Yerusalem.

Baca Juga:  Jangan Sampai Lewat, Ini Keistimewaan Bulan Dzulhijjah untuk Beramal

Pasukan juga tak segan-segan melemparkan granat setrum dan tabung gas air mata ke arah Murabithun, bahkan menembakkan peluru karet.

“Tetapi itu tidak menghentikan kami untuk ditempatkan kembali di gerbang Masjid Al-Aqsa,” ia menambahkan.

Pemilik Sah Al-Aqsa

Para Murabithat di samping ditempatkan untuk mempertahankan Al-Aqsa. Mereka juga mengedukasi masyarakat dan mengajarkan Al-Quran di dekat Gerbang Hittah, yang merupakan salah satu pintu dan urat nadi Masjid Al-Aqsa.

Kisah lainnya diungkapkan perempuan penjaga Al-Aqsa, Hanadi al-Halawani, yang juga ibu dari lima anak.

“Saya diusir beberapa kali, dan hari ini nama saya masuk dalam daftar hitam mereka yang dilarang memasuki Al-Aqsa hingga pemberitahuan lebih lanjut. Saya telah menerima sepuluh keputusan untuk dideportasi baik dari Al-Aqsa atau dari Kota Tua Yerusalem,” tuturnya.

Dia menambahkan bahwa kaum perempuan yang ditempatkan di gerbang Al-Aqsa berasal dari Yerusalem dan sekitarnya, dan dari pedalaman Palestina dari utara ke selatan.

Al-Halawani menekankan bahwa perempuan dan laki-laki Al-Aqsa telah mengajarkan kepada seluruh dunia pelajaran dalam ketabahan, solidaritas sosial dan cita-cita.

“Kami selalu siap setiap saat untuk membentuk garis pertahanan Masjid Al-Aqsa. Kami hadir setiap hari ke Al-Aqsa sejak dini hari, untuk mengatakan kepada mereka yang mengganggu bahwa kami adalah pemilik sah tempat dan kami memiliki hak untuk itu,” katanya.

Baca Juga:  Mesir Berkomitmen Menentang Keberadaan Israel di Rafah

Ia menceritakan bagaimana dirinya dipukuli seperti laki-laki, oleh pasukan keamanan Israel.

Dirinya dan sahabat-sahabatnya juga acapkali dihina dan dilecehkan secara verbal. Seperti tindakan pasukan Israel dengan membuka cadar kami di banyak orang

Intelijen Zionis juga mengejar saya dan rekan-rekan Murabithat hingga ke jalan-jalan Yerusalem, dan pasukan menyerang Murabithat.

“Satu-satunya senjata kami di Al-Aqsa adalah meninggikan firman kalimatullah dan Al-Quran. Kami tidak memiliki kekuatan material, tetapi kekuatan keimanan pada hak kami atas Al-Aqsa,” ungkapnya dengan penuh ketegaran dan keharuan.

“Kami menganggap diri kami adalah juru bicara Al-Aqsa, dan pesannya adalah kemanapun kami pergi, kami adalah gambaran Al-Aqsa,” imbuhnya.

Halawani dan sahabat-shabatnya bekerja untuk menyebarkan pesan Al-Aqsa melalui akun pribadinya di situs Facebook, berita tentang kondisi terkini Masjid Al-Aqsa, orang-orangnya, dan apa yang terjadi di alun-alun dan di gerbangnya.

Sungguh, para wanita Yerusalem dan Palestina telah membuat banyak pengorbanan sejak zaman kuno, dan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka telah menjadi garis pertahanan pertama untuk Masjid Al-Aqsa, dan paling tidak mampu menghambat proyek Yahudisasi di Al-Aqsa.

Itulah peran para Murabithat dalam membela Masjid Al-Aqsa. Mereka hadir dan bergabung di sekitar gerbang masuk, dan siap ditangkap.

Mereka melakukannya sebagai bagian dari ibadah jihad, bukan karena pekerjaan, organisasi, proyek, atau institusi. Tak ada satupun yang sanggup menghadang mereka. []

Mi’raj News Agency (MINA)