Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Ketika penganiayaan dan penindasan yang dilakukan kaum kafir Quraisy kepada orang-orang yang telah masuk Islam pada fase Makkah semakin menjadi-jadi, Allah memerintahkan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk meninggalkan Makkah, berhijrah ke daerah yang baru sama sekali, Madinah.
Ketika semua sahabatnya telah berpindah ke kota Madinah, tibalah giliran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk bersiap bertolak ke kota tersebut. Beliau ditemani sahabat setianya, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sebagai manusia, di tengah perjalanan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merasa sedih untuk meninggalkan Makkah. Karena Makkah adalah kampung halamannya tercinta. Tempat penuh kenangan bersama keluarga besarnya, meskipun beliau telah yatim piatu sejak kecil, meskipun juga para kaum Quraisy, yang masih kerabat beliau, belum juga beriman.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Beliau sendiri masih termasuk bagian dari suku terbesar di Makkah waktu itu, yang mana pamannya Abu Thalib merupakan salah satu pembesar kaum tersebut. Sebab itu, tidak ada yang berani mengusik Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berkat pengamanan dari sang paman. Tapi tidak demikian dengan sahabatnya yang lain, yang sebagian besar dari kalangan bawah, rakyat biasa. Mereka sahabat-sahabat tercintanya, tidak selamat dari penindasan kejam para kaum Quraisy.
Di tengah kemasygulan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kekasih Allah, Allah menurunkan ayat penggembira :
إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ مَن جَآءَ بِٱلْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al-Qashash [28]: 85).
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Ayat ini menenangkan baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang telah mengamalkan Al Quran, bahwa Allah benar-benar akan mengembalikan baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke tempat kembali, yakni akan dikembalikan ke kota Makkah dengan memenangkannya.
Allah pun kemudian memenuhi janji-Nya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dengan Fathu Makkah) setelah 8 tahun sejak beliau meninggalkan Makkah.
Pendapat lain mengatakan, yang dimaksud dengan ayat ini adalah Allah akan mengembalikan di hari kiamat, sebab seluruh manusia ketika itu akan kembali hidup.
Ayat ini sekaligus merupakan menjawab orang-orang kafir setelah mereka mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sungguh kamu berada dalam kesesatan.” Justru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang membawa petunjuk, sedangkan orang-orang kafir yang berada dalam kesesatan.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Sebelum peristiwa hijrah, betapa ujian yang harus dilalui baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Betapa Allah menguji orang-orang beriman bukan karena melakukan dosa-dosa besar atau kemaksiatan-kemaksiatan. Tapi justru Allah hendak mengangkat derajat mereka ke tempat yang mulia lagi terhormat.
Begitu kondisi teruji dengan tindakan represif dari kaum kafir Quraisy, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, manusia paling mulia, kekasih Allah tercinta, sampai harus mengadu kepada Allah.
Di sebuah kebun kurma milik kedua anak Rabi’ah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti seraya mengadukan dirinya kepada Allah:
اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu.” (H.R. At-Turmudzi)
Perjalanan Isra Mi’raj
Kondisi tertekan di Makkah tersebut beriringan dengan wafatnya dua pembela utama dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yakni wafatnya paman beliau, Abu Thalib, kemudian disusul sang isteri tercinta, Siti Khadijah Al-Kubra.
Dalam kondisi berduka itulah Allah menghibur dengan memperjalankan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam rangkaian Isra’ Mi’raj, dari Masjidil Haram di Kota Makkah, Arab Saudi menuju Masjidil Aqsha di Kota Al-Quds, Palestina.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلاً۬ مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُ ۥ لِنُرِيَهُ ۥ مِنۡ ءَايَـٰتِنَآۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Isra [17]: 1).
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa pada ayat ini Allah memuji diri-Nya sendiri, mengagungkan kedudukan-Nya, karena kekuasaan-Nya yang tidak dikuasai oleh siapapun selain Dia. Dengan demikian, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Dia dan tidak pula ada Tuhan selain diri-Nya saja.
Ayat ini menjelaskan bagaimana Allah yang dengan ke-Mahakuasaan-Nya telah memperjalankan hamba-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Masjidil Haram di Makkah menuju ke Masjidil Aqsha di Negeri Syam, yang merupakan pusat para Nabi dari sejak dakwah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam didampingi Malaikat Jibril mengendarai kendaraan Buraq, berangkat dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, singgah di sana. Untuk kemudian menuju Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah.
Jarak Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina sekitar 1.500 km, yang memerlukan waktu perjalanan naik unta atau kuda saat itu sekitar 40 hari.
Karena itu masyarakat jahiliyah pada masa itu tidak percaya dengan perjalanan Isra Mi’raj tersebut. Sebagian umat Islam juga pada awalnya ragu, di samping karena pengaruh provokasi kaum jahiliyah. Hingga kemudian semuaya terjawab dengan penyataan sahabat Abu bakar Ash-Shiddiq.
Di dalam kitab Tarikh Islam Nurul Yaqin karangan Syaikh Muhammad Al Khudori Bik disebutkan bahwa Orang-orang kafir Quraisy pada saat disampaikan peristiwa Isra Mi’raj, bertepuk tangan dan meletakkan tangannya di atas kepala karena merasa heran dan mengingkari peristiwa Isra Mi’raj. Sebagian orang yang awalnya Muslim, menjadi keluar Islam karena lemahnya hati mereka. Beberapa orang pergi kepada Abu Bakar, kemudian Abu Bakar berkata, ”Jika Dia (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata begitu, tentulah dia pasti benar.”
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Orang-orang kafir Quraisy pun memojokkan Abu Bakar, dengan nada sinis, “Apakah engkau mempercayai (Isra Mi’raj) itu?”. Abu Bakar tegas menjawab, “Sesungguhnya aku akan membenarkannya, lebih jauh dari peristiwa tersebut pun (aku membenarkan)!”.
Maka, sejak saat itu Abu Bakar diberi gelar oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sebutan “Ash-Shiddiq”, artinya orang yang membenarkan.
Di kawasan Al-Aqsha inilah, Buraq itu kemudian melintasi melalui jalur sebelah barat Masjid Al-Aqsha. Maka, pintu sebelah ini pun dinamakan Baabul Buraq (Pintu Buraq). Dinding sebelah barat itu kini diklaim oleh Yahudi sebagai Tembok Ratapan. Hingga kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti di Kubah Sakhrah. Di dekat ini, Buraq berhenti, lalu Nabi diperjalankan ke Sidratul Muntaha.
Sebagai saksi, terdapat sebongkah batu di dalam Masjid Kubah Sakhrah di kawasan Masjidil Aqsha, yang merupakan tempat pijakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebelum naik ke langit.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Menurut sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, batu Kubah Sakhrah berasal dari surga, selain batu Hajar Aswad di Makkah, dan Sakhrah adalah pusat bumi.
Syaikh Dr. Abdel Moneim Ibrahim Amer, seorang ulama dari Kementerian Wakaf Al-Quds, menggambarkan Masjidil Aqsha merupakan pintu gerbang dan jalan menuju surga. Hikmah Allah menghendaki agar Nabi-Nya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak naik ke langit Sidaratul Muntaha dari Masjidil Haram, melainkan dari Masjidil Aqsha, dan kemudian dari sana ke surga.
Di Kompleks Masjidil Aqsha pulalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengimami seluruh Nabi dan Rasul utusan Allah, memimpin mereka dalam shalat sebelum shalat lima waktu diwajibkan kepadanya.
Menurut Syaikh Amer, hikmah dari kepemimpinan Rasulullah mengimami para Nabi dan Rasul utusan Allah, adalah bahwa bentuk ketaatan kepada Allah diwujudkan pada pada ketaatan pada satu Imaam. maka diraihlah kemenangan dan terbukalah pintu surga.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Syaikh An-Nawawi Al-Bantani dalam kitab Marah Labid, menjelaskan dipilihnya Masjidil Aqsha sebagai tempat singgah agar Buraq dapat terbang ke langit secara lurus. Ini karena Masjidil Aqsa berada pada posisi tegak lurus dengan pintu langit.
Semangat Hijrah
Di sini mari kita kaitkan Muqaddimah dan Isra’ Mi’raj dengan Semangat Hijrah.
Kata hijrah (هِجْرَةٌ) berasal dari akar kata hajara (هَجَرَ) yang berarti berpindah (tempat, keadaan atau sifat), atau memutuskan, yakni memutuskan hubungan antara dirinya dengan pihak lain, atau panas menyengat, yang memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Dalam pengertian syar’i, Hijrah berarti, “perpindahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama para sahabatnya dari Mekkah menuju Madinah, tahun ke-13 dari masa kenabiannya”. Hijrah, bermakna pula “perpindahan dalam rangka meninggalkan kampung kemusyrikan menuju suatu kampung keimanan, dalam rangka melakukan pembinaan dan pendirian masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Atau meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi).
Dalam Al-Qur’an, kata hijrah dengan segala bentuk kata jadiannya, digunakan sebanyak 31 kali, dengan mengacu kepada makna-makna sebagai berikut:
- Perintah meninggalkan keburukan/kemaksiatan (Al-Muddatstsir [74]: 5).
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ
“Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”.
- Berpaling dari isteri yang tidak patuh (An-Nisa [4]: 34).
وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ
“Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”.
- Meninggalkan orang-orang yang tidak beriman dengan cara yang baik, tanpa melukai hati mereka (QS Al-Muzammil [73]: 10).
وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا
“Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
- Kembali kepada Allah untuk mendapatkan hidayah-Nya (Al-Ankabut [29]: 26).
إِنِّى مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّىٓ
“Sesungguhnya aku akan berpindah kepada Tuhanku”.
- Meninggalkan tempat, keadaan atau sifat, karena mengharap ridha Allah. (An-Nisa’ [4]: 89).
فَلَا تَتَّخِذُوا۟ مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ
“Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.”
Allah mengaitkan orang-orang beriman dengan hijrah dan jihad di jalan Allah.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 218).
Pada ayat-ayat tersebut Allah mengaitkan kata hijrah dengan iman dan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya tujuan hijrah adalah sangat bergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat juang ketika berhijrah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan jihad dan niat yang benar dan ikhlas hanya karena Allah.
Di dalam Tafsir Li Yaddabbaru Ayatih, Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah Al-Muqbil, Guru Besar Fakultas Syari’ah Universitas Qashim, Arab Saudi menjelaskan ayat ini dengan tiga hal:
- Seseorang yang mengharapkan sesuatu, maka harapannya itu membutuhnya cinta, ketekunan yang tak terlewatkan, dan usaha sungguh-sungguh untuk meraih harapan itu semaksimal mungkin. Harapan tanpa disandingkan dengan cinta, ketekunan dan kesungguhan, harapan itu sebatas mimpi. Dan siapapun yang mengharapkan sesuatu, tapi ada perasaan takut dan khawatir dalam dirinya, sama halnya dengan orang yang berjalan di atas jalan, ketika ia merasa akan mempercepat jalannya takut akan sesuatu yang ia harapkan terlewatkan.
- Seseorang menjadikan harapan dengan melakukan ketaatan-ketaatan dengan penuh prasangka baik (husnudzan) akan terwujudnya harapan. Ketaatan demi ketaatan menjadi sebab tercapainya sebuah harapan.
- Allah mensifati hamba-hamba Nya dengan sifat-sifat yang istimewa yaitu “mereka itu mengharapkan”, mereka itu hanyalah orang-orang yang berharap, selalu berharap akan rahmat Allah, yang dapat mengantarkannya ke
Tentang Hijrah disebutkan dalam Hadits:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Artinya: “Muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-orang Muslim dari lisannya dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Artinya : “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu).
Pembebasan Al-Aqsha dan Palestina
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَضَيۡنَآ إِلَىٰ بَنِىٓ إِسۡرَٲٓءِيلَ فِى ٱلۡكِتَـٰبِ لَتُفۡسِدُنَّ فِى ٱلۡأَرۡضِ مَرَّتَيۡنِ وَلَتَعۡلُنَّ عُلُوًّ۬ا ڪَبِيرً۬ا (٤) فَإِذَا جَآءَ وَعۡدُ أُولَٮٰهُمَا بَعَثۡنَا عَلَيۡڪُمۡ عِبَادً۬ا لَّنَآ أُوْلِى بَأۡسٍ۬ شَدِيدٍ۬ فَجَاسُواْ خِلَـٰلَ ٱلدِّيَارِۚ وَكَانَ وَعۡدً۬ا مَّفۡعُولاً۬ (٥)
Artinya: “Sesungguhnya kamu (Bani Israil) akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan kamu pasti akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman kejahatan yang pertama dari kejahatan itu, Kami mendatangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar, lalu mereka mencarimu keluar masuk kampung ke seluruh negeri. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana”. (Q.S. Al-Isra [17]: 4-5).
Ayat ini turun di Makkah, jauh sebelum kaum Muslimin mempunyai kekuatan di Madinah. Dan menurut catatan sejarah, bangsa Yahudi Bani Israel telah berkali-kali mengalami kehancuran sebelum datangnya Islam dan sebelum turunnya ayat-ayat di atas. Keberadaan mereka pernah hampir habis oleh kekuatan Babilonia dan Romawi, sebelum Islam datang.
Tidak bisa dibantah, kesombongan dan kerusakan yang lebih besar lagi akan mereka ulangi pada masa yang akan datang, sampai akhirnya Allah akan melenyapkan mereka dari permukaan bumi ini.
Dalam kaidah Bahasa Arab, ditemukan bahwa kata ‘tufsidunna’ dan ‘ta’lunna’ merupakan bentukan fi’il mudhari’ (kata kerja yang berlaku pasti terjadi sekarang atau masa akan datang). sedangkan ‘lam’ di awal kedua kata tersebut memastikan bahwa kata tersebut merupakan bentuk karta kerja akan datang (future) bukan sekarang (present).
Kemudian ayat berikutnya disambung dengan lafadz ‘idzaa’ yang berarti ‘apabila’ dan ‘fa’ sebelumnya yang merupakan penghubung yang menunjukkan suatu kejadian yang terjadi segera setelah keadaan sebelumnya terpenuhi.
Dari pengertian bahasa tersebut, maka dapat dipahami bahwa bangsa Yahudi melakukan kerusakan yang pertama setelah ayat tersebut turun. Kemudian disusul dengan penghancuran yang menimpa mereka tanpa menunggu waktu yang lebih lama.
Lafadz ‘ibaadan lanaa’ artinya hamba-hamba Kami Merupakan suatu kehormatan bagi orang-orang yakni hamba-hamba Allah, yang berjuang semata-mata karena Allah (lanaa), yang akan menghancurkan hegemoni Yahudi. Mereka tidak lain adalah kaum Mu’minin, sekelompok kaum yang pantas mendapat predikat ‘ibaadan lanaa’, sebagaimana pernyataan ayat:
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنً۬ا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَـٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَـٰمً۬ا
Artinya: “Dan hamba-hamba Ar–Rahmaan yang berjalan di muka bumi, (memiliki sifat) rendah hati dan apabila mereka ditegur sapa oleh orang-orang jahil, mereka mengucapkan selamat (salam)”. (Q.S. Al–Furqan [25]: 63).
Juga firman-Nya:
قُلۡ يَـٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Artinya: “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa [1] semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 53).
فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ أُولَىٰهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَآ أُو۟لِى بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا۟ خِلَٰلَ ٱلدِّيَارِ ۚ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولًا
Artinya: “Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Q.S. Al-Isra [17]: 5).
Di dalam Kitab Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Nudarris Tafsir di Masjid Nabawi mengatakan, hukuman dari Allah kepada Bani Israil karena mereka telah membuat kerusakan dan kesombongan yang besar. “Dan itulah ketetapan yang pasti terjadi.”
Pada ayat lain disebutkan:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-A’raf [7]: 167).
Pada ayat ini Allah memberitahukan bahwa Allah akan mengirim orang-orang yang akan menimakan azab terhadap kaum Yahudi. Azab ini seperti kehinaan dan kerendahan, termasuk pula kewajiban membayar jizyah (pajak).
Misalnya ketika Allah mengirimkan kepada mereka Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Kemudian Raja Bukhtanasshir yang membunuh dan menawan mereka serta menetapkan mereka untuk membayar pajak yang mereka serahkan kepada orang-orang Majusi.
Nabi Musa juga mengenakan pajak kepada mereka selama tujuh tahun. Ada juga pendapat yang mengatakan tiga belas tahun.
Kemudian orang-orang Yahudi itu berada di bawah penindasan raja-raja dari Yunani, Kasydani dan Kaldani. Selanjutnya mereka berada di bawah tekanan dan kekuasaan orang-orang Nasrani, serta pungutan jizyah dan pajak dari mereka.
Hingga diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang kemudian juga menetapkan pemungutan pajak dari mereka. Mereka senantiasa dalam kehinaan dan di bawah kekuasaan orang lain.
Mufassir menyebutkan, kata “ta-adzdzana” adalah berwazan “tafa’-‘ala” merupakan kata kerja dari “al-adzaanu” yang berarti memberitahukan. Ada juga yang memaknai sebagai memerintahkan. Sedangkan dalam hal kuatnya pembicaraan, kata ini dapat mengandung makna sumpah.
Oleh karena itu, kata tersebut diikuti oleh huruf lam dalam firman-Nya: layab’atsanna ‘alaihim (Bahwa sesungguhnya Allah akan mengirimkan kepada mereka.”) Maksudnya, kepada orang-orang Yahudi.
“Sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka adzab yang seburuk-buruknya.” Yaitu disebabkan oleh kemaksiatan dan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perintah dan syari’at Allah, serta tipu muslihat mereka untuk dapat melakukan hal-hal yang dilarang.
Selanjutnya “inna rabbaka lasarii’ul ‘iqaab” (Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya). Yaitu bagi orang -orang yang berbuat maksiat kepada-Nya dan melanggar syari’at-Nya.
“Wa innahuu laghafuurur rahiim” (Dan sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Maha Penyayang). Yaitu bagi orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dan ini termasuk dalam bab penyertaan antara rahmat dan siksaan, supaya tidak menimbulkan keputusasaan.
Oleh karena itu, Allah banyak menyandingkan antara targhib (pembangkitan harapan) dan tarhib (pembangkitan rasa takut), agar jiwa manusia ini tetap berada di antara rasa berharap dan rasa takut.
Kalaupun sekarang justru mereka orang-orang Yahudi yang menindas orang-orang Palestina, baik dari kalangan Muslimin maupun Kristiani. Mereka juga bahkan merampas harta kaum Muslimin. Itu bukan karena kekuatan mereka, tapi lebih pada kelemahan umat Islam yang kurang bersatu dan kurang berjama’ah. Kalau sudah muncul kekuatan berjama’ah itu, maka akan kembali mereka orang-orang Yahudi yang harus membayar jizyah.
Berakhirlah kedigjayaan, kepongahan, dan kekuasaan bangsa Yahudi di Madinah, Khaibar, dan kawasan Taima, Jazirah Arab. Hingga hancurlah seluruh pengaruh dan impian mereka untuk bercokol di bumi Arab.
Allah mengatakannya di dalam ayat:
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَـٰبِ مِن دِيَـٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ ٱلۡحَشۡرِۚ مَا ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ حُصُونُہُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَٮٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِہِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَہُم بِأَيۡدِيہِمۡ وَأَيۡدِى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَٱعۡتَبِرُواْ يَـٰٓأُوْلِى ٱلۡأَبۡصَـٰرِ
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari [siksaan] Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka [hukuman] dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah [kejadian itu] untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Q.S. Al–Hasyr [59]: 2).
Perbuatan biadab dan kekejian yang dilakukan Yahudi Israel, sesungguhnya hanyalah akan mempercepat datangnya siksaan dan hukuman Allah sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Al Qur’an, pada ayat berikutnya:
إِنۡ أَحۡسَنتُمۡ أَحۡسَنتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡۖ وَإِنۡ أَسَأۡتُمۡ فَلَهَاۚ فَإِذَا جَآءَ وَعۡدُ ٱلۡأَخِرَةِ لِيَسُـۥۤـُٔواْ وُجُوهَڪُمۡ وَلِيَدۡخُلُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ڪَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ۬ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوۡاْ تَتۡبِيرًا
Artinya: “Jika kamu berbuat baik [berarti] kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi [kejahatan] yang kedua, [Kami datangkan orang-orang lain] untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. (Q.S. Al Isra [17]: 7).
Dalam ayat ini Allah telah memastikan akan lenyapnya bangsa Yahudi dari permukaan bumi ini. Maha Suci Allah yang memberitahukan kepada kaum Muslimin bahwa kaum Muslimin akan memasuki Masjidil Aqsha, sebagaimana dahulu (di masa pemerintahan Umar bin Khaththab yang menaklukan bumi Palestina).
Pada saat kehancuran Yahudi pertama kali, kaum Muslimin memang sedang berada dalam keadaan yang dilukiskan oleh Al-Qur’an sebagai ‘hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar’. Dengan demikian, maka lafadz ‘sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali yang pertama’, memiliki relevansi (hubungan) yang amat kuat dengan keadaan yang pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kaum Muslimin baru akan menghancurkan Yahudi pada kali yang kedua setelah memiliki kekuatan, setidak-tidaknya menyamai kekuatan dan kekuasaan kaum Muslimin di masa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dr. Bassam Nahad Jarrar dalam buku terjemahan “Kehancuran Israel tahun 2022” menguraikan bahwa dua janji Allah kepada Bani Israil yang diturunkan dalam kitab Taurat dan Al-Quran baru terlaksana sekali. Berarti masih akan terjadi sekali lagi.
Menurutnya, dalam Kitab Taurat, Allah telah memutuskan bahwa bani Israil akan memasuki bumi yang diberkati, yaitu Palestina. Bahkan di sana mereka akan mendirikan pemerintahan. Tetapi kemudian mereka membuat kerusakan besar sehingga menyebabkan Allah menghukum mereka dengan cara mengirim hamba-hamba-Nya yang tangguh. Setelah kerajaan mereka binasa, mereka diusir dan dicerai-beraikan.
Bahkan tanda-tanda kehancuran Zionis Israel Yahudi, diprediksi sendiri oleh mereka. Seperti disebutkan pada situs Almajd, tentang adanya laporan yang dibuat oleh 16 badan intelijen Amerika dengan judul “Persiapan Menghadapi Timur Tengah di Era Pasca Habisnya Israel”. Menyimpulkan era berakhirnya Negara entitas Israel di Timur Tengah menjadi kepastian.
Laporan mengisyaratkan, naiknya perjuangan dunia Islam dan dunia pada umumnya dalam mendukung perjuangan Palestina, menciptakan perasaan ketakutan dan kekhawatiran kepada Israel dan menjadikan mereka ketakutan atas masa depan mereka dan masa depan anak-anak mereka. Karena itu, proses eksodus balik Yahudi ke negeri asal sudah dimulai.
Mantan kepala Badan Intelijen Mossad Israel, Meir Dagan mengatakan dalam wawacaranya dengan Jerusalem Post pada April 2012 bahwa, “Kami sudah di bibir tebing kehancuran. Saya tidak menyampaikan ini berlebihan dan saya tidak bilang ini tragedi. Namun kami saat ini menghadapi berbagai prediksi buruk apa yang akan terjadi di masa mendatang”, ujarnya
Pembebasan Al-Aqsa dengan Berjama’ah
Berikut beberapa hadits tentang pembebasan Al-Aqsha.
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
Artinya: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum muslimin memerangi bangsa Yahudi, sampai-sampai orang Yahudi berlindung di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tadi akan berbicara; Wahai orang Islam, hai hamba Allah! di belakangku ada orang-orang Yahudi, kemarilah, bunuhlah dia, kecuali pohon Ghorqod, sebab ia itu sungguh pohonnya Yahudi”. (H.R. Ahmad).
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الدِّينِ ظَاهِرِينَ لَعَدُوِّهِمْ قَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلَّا مَا أَصَابَهُمْ مِنْ لَأْوَاءَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ “. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَأَيْنَ هُمْ ؟ قَالَ: ” بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ “
Artinya: “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang menang memperjuangkan agama ini, berhasil menekan musuh mereka. Tidaklah merugikan mereka para penyelisih, kecuali sekedar tekanan hidup sampai datang kepada mereka keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” Mereka bertanya, “Di mana mereka nanti wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Di Baitul Maqdis atau pinggir-pinggir (sekitar) Baitul Maqdis.” (H.R. Ahmad).
عن ميمونة مولاة النبي صلى الله عليه وسلم قالت: يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ أَرْضُ الْمَنْشَرِ وَالْمَحْشَرِ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ فَإِنَّ صَلَاةً فِيهِ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ قَالَتْ أَرَأَيْتَ مَنْ لَمْ يُطِقْ أَنْ يَتَحَمَّلَ إِلَيْهِ أَوْ يَأْتِيَهُ قَالَ فَلْيُهْدِ إِلَيْهِ زَيْتًا يُسْرَجُ فِيهِ فَإِنَّ مَنْ أَهْدَى لَهُ كَانَ كَمَنْ صَلَّى فِيهِ.
Artinya: Dari Maimunah (binti Sa’ad), pembantu Nabi , dia bertanya, ”Wahai Nabi Allah, berilah kami fatwa tentang Baitul Maqdis. Maka beliau menjawab, “Tanah tempat bertebaran dan tempat berkumpul, datanglah ke sana dan shalatlah di dalamnya, karena satu shalat di dalamnya sama dengan seribu shalat. Dia (Maimunah) bertanya (lagi), ”Bagaimana jika engkau melihat orang yang tidak mampu shalat (di sana) dan tidak mampu mendatanginya?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia mengirimkan minyak untuk meneranginya, karena siapa pun yang mampu mengirimkannya, seolah-olah dia telah shalat di dalamnya.” (HR Ahmad).
أَوَّلُ هَذَا الْأَمْرِ نُبُوَّةٌ وَرَحْمَةٌ، ثُمَّ يَكُونُ خِلَافَةً وَرَحْمَةً، ثُمَّ يَكُونُ مُلْكًا وَرَحْمَةً، ثُمَّ يَكُونُ إِمَارَةً وَرَحْمَةً، ثُمَّ يَتَكادَمُونَ عَلَيْهِ تَكادُمَ الْحُمُرِ فَعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ، وَإِنَّ أَفْضَلَ جهادِكُمُ الرِّبَاطُ، وَإِنَّ أَفْضَلَ رباطِكُمْ عَسْقَلَانُ
Artinya: “Permulaan dari perkara ini (Islam) adalah kenabian dan rahmat. Berikutnya tegaknya khilafah dan rahmat. Selanjutnya muncul kerajaan dan rahmat. Kemudian, orang-orang memperebutkannya, seperti kuda-kuda yang berebut. Maka, kewajiban kalian untuk berjihad. Sesungguhnya sebaik-baik jihad adalah ribath. Sebaik-baik tempat ribath adalah Asqalan”. (H.R. Ath-Thabrani).
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Artinya: “Tidaklah menekankan perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjidku (Masjid Nabawi di Madinah), dan Masjidil Aqsa (di Palestina)”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Hadits-hadits tersebut memperkuat kebangkitan dan kekuatan manakala kaum Muslimin kembali bersatu padu, kokoh dan kuat, bagai tali tak terputuskan, itulah persatuan dan kesatuan kaum Muslimin yang terpimpin di bawah seorang Imaam/Khalifah bagi kaum Muslimin.
Allah mengingatkan kita tentang hakikat utama berjama’ah dalam segala perjuangan, apalagi dalam pembebasan Al-Aqsa. Allah mengingatkan di dalam ayat:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Artinya : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah, dan ingatlah akan ni’mat Allah atas kamu tatkala kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah jinakkan antara hati-hati kamu, maka dengan ni’mat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu dahulu nya telah berada di tepi jurang api Neraka, tetapi Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari padanya; begitulah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali ‘Imran/3: 103).
Mengenai sebab turunnya ayat tersebut disebutkan dari Muhammad bin Ishaq bin Yassar, bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki Yahudi melewati sekelompok umat Islam dari kaum ‘Aus dan Khajraj. Orang Yahudi tersebut tidak senang melihat umat Islam bersatu. Kemudian orang Yahudi mengutus seseorang dan menyuruh untuk menyelinap di kalangan umat Islam dari kaum ‘Aus dan Khajraj yang telah bersatu tadi.
Maksudnya adalah agar mengungkit-ungkit kembali sekitar peperangan Bu’ats yang pernah terjadi antara kaum ‘Aus dan Khajraj pada masa lampau.
Maka, setelah orang Yahudi tadi menyelinap, lalu melakukan misi yang telah diperintahkan, terbakarlah emosi umat Islam tersebut dan saling mengeluarkan kalimat-kalimat amarah. Bahkan mereka saling berlompatan dan mengobarkan sya’ir-sya’ir masing-masing. Sampai-sampai mereka menghunus senjatanya masing-masing dan saling menuntut kemerdekaan.
Berita ini terdengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu beliau mendatangi mereka untuk menenteramkan hati mereka, dan berkata, “Apakah kalian menyeru dengan perbuatan orang-orang jahiliyah, sedangkan kami berada di tengah-tengah kalian?” Kemudian beliau membaca ayat ini. Maka, menyesallah mereka atas perbuatan mereka. Lalu, mereka berdamai, saling meletakkan senjatanya masing-masing dan saling berpelukan.
Pada ayat tersebut Allah mengingatkan orang-orang beriman agar senantiasa berpegang teguh dengan tali Allah yakni Al-Qur’an, dengan selalu berjama’ah dan melarang berpecah-belah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan bahwa orang Yahudi bermaksud membangkitan kedengkian di kalangan intern umat Islam. Padahal umat Islam harus saling bersaudara, saling mencintai, dan saling menolong.
Allah pada ayat lainnya berfirman :
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Artinya : “Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang Ad-Dien, apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami (Allah) wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah Ad-Dien dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” Berat bagi musyrikin menerima apa yang engkau serukan kepada mereka itu. Allah menarik kepada Ad-Dien itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (Ad-Dien)-Nya orang yang kembali kepada-Nya.” (Q.S. Asy-Syura [42]: 13).
Pada ayat lain disebutkan:
وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن يُدْخِلُ مَن يَشَآءُ فِى رَحْمَتِهِۦ ۚ وَٱلظَّٰلِمُونَ مَا لَهُم مِّن وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong. (Q.S. Asy-Syura [42]: 13).
Dalam hadits shahih Bukhari-Muslim dari Khudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Artinya : “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka”.
Yahudi Zionis internasional telah mengetahui betapa kekuatan kehidupan umat Islam jika berjama’ah, bersatu, saling kuat-menguatkan,saling bersaudara, tidak berpecah-belah, tidak mudah diadu-domba. Termasuk dalam jihad untuk pembebasan Masjid Al-Aqsa dan saudara-saudara umat Islam di bumi Baitul Maqdis Palestina dan kawasan muslim lainnya, secara berjama’ah.
Dengan persatuan dan kesatuan umat Islam, hidup berjama’ah terpimpin, akan diraih kemenangan hakiki, dan Al-Aqsha pun akan kembali ke pangkuan kaum Muslimin dan Palestina akan bebas dari penjajahan. Aamiin. Allahu Akbar ! Al-Aqsa Haqquna !!
Mi’raj News Agency (MINA)