Sembilan Ketentuan Hukum Fatwa MUI Bermuamalah Melalui Media Sosial

Chamid/MINA

Jakarta, 10 Ramadhan 1438/5 Juni 2017 (MINA) – Majelis Ulama Indonesia () meluncurkan fatwa terkait pedoman bermuamalah di media sosial. Peluncuran fatwa MUI tersebut secara resmi diserahkan Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin kepada Menteri Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Gedung Jakarta, Senin sore (5/6).

Fatwa terkait berperilaku di media sosial dengan Nomor 24 Tahun 2017 yang ditetapkan di Jakarta pada 13 Mei 2017 itu berisi sembilan ketentuan hukum. Berikut sembilan ketentuan hukum yang tertuang dalam Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial:

1.Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).

2.Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.

b. Mempererat ukhuwwah (persaudaraan), baik ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan ke-Islaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), maupun ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).

c. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.

3. Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:

a. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.

b. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.

c. Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.

d. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.

e. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.

4. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.

5. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.

6. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.

7. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.

8. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

9. Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, merisak (bullying), aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.

Fatwa bermuamalah melalui media sosial ini juga berisi enam rekomendasi yakni:

  1. Pemerintah dan DPR-RI perlu merumuskan peraturan perundang- undangan untuk mencegah konten informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
  2. Masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
  3. Pemerintah perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat berperadaban (mutamaddin).
  4. Para Ulama dan tokoh agama harus terus mensosialisasikan penggunaan media sosial secara bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
  5. Masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media sosial untuk kemaslahatan umum.
  6. Pemerintah perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat, dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik. (L/R02/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)