Oleh Arif Ramdan
Senin, 9 Juni 2025 menjadi momentum bersejarah saat dunia menyaksikan dimulainya salah satu aksi solidaritas internasional terbesar untuk Gaza dan Palestina. Ribuan delegasi dari 32 negara, terdiri dari aktivis hak asasi manusia, dokter, jurnalis, hingga tokoh lintas agama, bergabung dalam konvoi kemanusiaan menuju perbatasan Rafah, Mesir. Aksi ini bertujuan untuk mengakhiri blokade Gaza yang telah berlangsung hampir 20 tahun, serta mendesak dihentikannya genosida yang dilakukan oleh penjajah Israel, yang semakin brutal sejak serangan besar pada 7 Oktober 2023.
Gerakan ini bukan sekadar pengiriman bantuan kemanusiaan, tapi merupakan bentuk perlawanan sipil global, sebuah pesan kolektif bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa lagi didiamkan oleh komunitas internasional. Konvoi solidaritas ini hadir sebagai respons atas kondisi Gaza yang semakin memprihatinkan, serta sebagai tekanan moral terhadap negara-negara yang hingga kini memilih diam, atau bahkan memberi dukungan militer dan diplomatik kepada Israel.
Bagi rakyat Palestina, terutama yang terperangkap di Gaza, konvoi tersebut menghadirkan harapan baru. Ia menunjukkan bahwa dunia tidak sepenuhnya membisu. Kehadiran fisik ribuan orang dari berbagai bangsa membawa dukungan moral dan spiritual yang tidak ternilai harganya, sekaligus membuka peluang tekanan diplomatik kepada Mesir untuk membuka penyeberangan Rafah.
Baca Juga: Berikut Daftar 12 Aktivis Kemanusiaan di Atas Kapal Madleen
Lebih dari itu, konvoi ini memperlihatkan bahwa solidaritas bukan sekadar slogan media sosial, melainkan tindakan nyata yang bisa mengubah peta politik dan opini global. Namun, bagi Israel, konvoi ini menjadi ancaman serius terhadap upaya mereka mengendalikan narasi global. Jika mereka menghalangi atau menyerang konvoi, dampaknya bisa fatal, yiatu akan memperdalam isolasi internasional, mempermalukan negara-negara pendukung, dan memperkuat tuduhan genosida yang kini sedang diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Apa sebenarnya yang membuat Israel begitu khawatir terhadap konvoi solidaritas ini? Jawabannya bisa dilihat dari respons keras mereka terhadap aksi-aksi serupa sebelumnya, seperti yang dialami Kapal Madleen milik Freedom Flotilla. Kapal ini tak membawa senjata, hanya memuat bantuan kemanusiaan yang terbatas dan diisi oleh para aktivis dari berbagai negara.
Namun alih-alih diizinkan merapat ke Gaza, kapal itu justru dipaksa mundur dan seluruh awaknya ditangkap. Tindakan represif ini menunjukkan bahwa Israel takut bukan karena ancaman militer, tetapi karena risiko terungkapnya kondisi nyata di Gaza ke mata dunia. Kehadiran para aktivis asing bisa membongkar kebohongan yang selama ini coba ditutupi dan meruntuhkan narasi resmi yang mereka bangun tentang kejahatan Israel selama ini.
Bagi penjajah Israel, kehadiran konvoi ini juga membawa akan ancaman besar. Bukan karena senjata atau kekuatan militer, tapi karena kejujuran. Karena dunia bisa melihat langsung kebrutalan yang selama ini ditutup-tutupi lewat propaganda. Seperti sebelumnya terhadap kapal Madleen dari Freedom Flotilla yang ditahan dan para aktivisnya ditangkap, Israel panik bukan karena takut diserang, tapi takut kejahatannya terungkap ke dunia.
Baca Juga: Teladan Adalah Dakwah Terbesar, Tanpa Itu Dakwahmu Hampa
Kejahatan Israel sejak Sejak 7 Oktober 2023 hingga awal April 2025, sekitar 55.000 lebih warga Palestina syahid, dan lebih dari 115.600 terluka. Data akhir Maret 2025, lebih dari 287 syahid dan 912 luka-luka dalam waktu lima hari. Serangan udara dan blokade telah menyebabkan lebih dari 30 fasilitas kesehatan lumpuh atau hancur, hanya satu rumah sakit yang berfungsi penuh .
Kejahatan Israel kian brutal di mana menyasar para petuga medis. Sekitar 1.050 petugas medis telah tewas sejak awal perang. Genosida di Gaza juga ‘dinobatkan’ sebagai kejahatan terberat bagi jurnalis dalam beberapa dekade. Hingga Mei 2025, sekitar 225 jurnalis dan pekerja media terbunuh, termasuk nama-nama seperti Yahya Sobeih, Fatima Hassouna, dam Hasan Aslih, Ismail Badah, Suleiman Hajjaj, dan Samir al-Rifai, dan jurnalis foto Ahmad Qalja. Serangan terhadap jurnalis dan media dijadikan modus untuk mengendalikan narasi, melanggar hukum humaniter internasional .
Kejahatan Israel tidak berhenti, sejak dimulainya operasi distribusi bantuan oleh Gaza Humanitarian Foundation, Lebih dari 160 hingga 163 orang meniggal, dan sekitar 1.000 terluka justru saat warga antre ke pusat bantuan. Banyak yang ditembak saat antre makanan dan obat-obatan, sedikitnya 60 terbunuh pada 11 Juni 2025.
Israel akan menghadapi ancaman delegitimasi yang lebih besar. Sebab ketika orang dari berbagai negara hadir langsung untuk menyaksikan kehancuran di Gaza, maka propaganda tidak lagi cukup untuk menutupi kenyataan bahwa penjajah ini penyakit dunia yang harus segera dihentikan.
Baca Juga: Kapal Kemanusiaan Madleen Aksi Menembus Blokade Gaza
Gerakan ini bisa menjadi momentum penting untuk menghentikan genosida di Gaza dan memiliki potensi menginspirasi lahirnya lebih banyak tekanan internasional: dari boikot ekonomi dan budaya, hingga seruan untuk pembentukan koridor kemanusiaan internasional.
Sebagaimana kampanye anti-apartheid terhadap Afrika Selatan dulu, konvoi ini dapat menjadi titik balik: menggeser opini publik dunia, memaksa lembaga internasional bergerak, dan memicu tekanan terhadap negara-negara besar agar menghentikan dukungan terhadap Israel.
Konvoi solidaritas ke Gaza adalah bukti bahwa ketika negara-negara gagal bertindak, masyarakat sipil global bisa melangkah maju. Aksi ini bukan hanya soal Gaza. Ini adalah ujian bagi hati nurani dunia. Sebab di tengah penderitaan yang begitu besar, diam bukan lagi pilihan, sekecil apa pun peran bisa kita gerakkan bersama agar kepongahan itu berhenti untuk selamanya.
Aksi ini juga bukan cuma soal bantuan kemanusiaan. Ini adalah simbol: bahwa hati nurani masih hidup. Ketika negara-negara besar gagal bertindak, rakyat biasa dari berbagai penjuru dunia turun tangan. Mereka datang dengan keberanian dan empati, menantang ketidakadilan yang selama ini dianggap tak tergoyahkan. Namun, bagi Israel, ini bukan kabar baik. Konvoi ini menunjukkan bahwa opini dunia mulai berubah. Semakin banyak yang sadar, ini bukan perang dua pihak yang setara, ini adalah penjajahan dan pembantaian atas semesta yang harus dihentikan.
Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan
Sebagai bangsa dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dan sejarah panjang membela kemerdekaan, Indonesia tak boleh hanya jadi penonton. Gerakan ini harus jadi inspirasi. Kita bisa kirim relawan, galang bantuan, menyuarakan isu ini di media, mendesak pemerintah agar lebih aktif. Bahkan sekadar menyebarkan informasi yang benar, itu sudah bagian dari perjuangan.
Gaza hari ini tidak hanya membutuhkan roti, obat, dan pakaian, mereka membutuhkan solidaritas nyata dari dunia, termasuk dari kita, rakyat Indonesia. Solidaritas untuk Gaza bukan sekadar bentuk empati, melainkan komitmen kemanusiaan. Dukungan Indonesia untuk Palestina adalah bagian dari perjuangan global melawan ketidakadilan. Ini bukan lagi isu Arab, bukan hanya isu umat Islam, melainkan isu kemanusiaan universal. Saat penderitaan rakyat Gaza terus berlangsung akibat penjajahan dan blokade, dunia dihadapkan pada pilihan: berdiri membela yang tertindas atau diam dalam kenyamanan.
Kita bisa dan harus terlibat. Galang bantuan, sebarkan informasi. Dorong Pemerintah Indonesia untuk bersikap lebih tegas dan mengajak komunitas kita untuk terus peduli pada Palestina. Kecil atau besar, setiap aksi sangat berarti. Gaza tidak hanya butuh logistik, mereka butuh solidaritas. Solidaritas ini harus terus digaungkan hingga genosida benar-benar berhenti dan Gaza bisa hidup normal kembali.
Ketika dunia bergerak, maka penjajahan tak akan bisa bertahan lama. Saatnya kita mengambil dan memaksimalkan peran membantu Gaza yang tertindas, bukan hanya sebagai saksi, tapi sebagai bagian dari sejarah perjuangan kemanusiaan dunia, sebagaimana peran Palestina sebagai salah satu penyokong utama dari negeri Arab bagi kemerdekaan Indonesia.[]
Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas
Mi’raj News Agency (MINA)