Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seni Berhenti Membandingkan Hidup

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

0 Views

Ilustrasi.

DI ERA ketika hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir, kemampuan berhenti membandingkan hidup adalah sebuah seni sekaligus penyelamatan diri. Setiap hari, kita disuguhi potret kebahagiaan orang lain yang tampak sempurna: unggahan liburan, pencapaian karier, pasangan harmonis, atau rumah baru yang indah. Tanpa sadar, kita mulai mempertanyakan diri sendiri: “Kenapa hidupku tidak seperti itu?” Padahal yang kita lihat hanyalah cuplikan terbaik dari hidup seseorang, bukan keseluruhan kisah mereka. Namun gempuran visual dan informasi membuat pikiran kita mudah lupa bahwa layar bukanlah realita seutuhnya.

Perbandingan ini perlahan mengikis harga diri. Banyak orang hari ini merasa gagal bukan karena mereka tidak berjuang, tetapi karena mereka membandingkan perjalanan yang belum selesai dengan pencapaian akhir orang lain. Media sosial memperbesar tekanan itu. Remaja merasa dirinya kurang cantik, kurang sukses, kurang menarik. Orang dewasa merasa pencapaian mereka tidak seberapa. Para orangtua merasa mereka kurang baik dibandingkan “keluarga sempurna” yang mereka lihat di feed. Kita hidup dalam generasi yang paling terhubung, tetapi juga paling mudah merasa tidak cukup.

Seni berhenti membandingkan hidup bukan soal memutuskan hubungan dari dunia luar, melainkan kemampuan menata batin agar tidak hanyut dalam ilusi. Itu dimulai dari kesadaran bahwa setiap orang punya musim yang berbeda. Ada yang sedang masa berbunga, ada yang sedang masa tumbuh akar—keduanya tidak bisa dibandingkan. Tanah yang kau pijak tidak sama dengan tanah yang mereka tempuh. Dan perjalanan seseorang tidak bisa dijadikan standar bagi perjalananmu.

Hari ini, tekanan hidup makin kompleks: tuntutan ekonomi, biaya hidup yang meningkat, standar kecantikan yang tidak realistis, tuntutan karier yang semakin tinggi, dan narasi bahwa “kamu harus sukses di usia muda.” Semua itu membuat banyak orang merasa tertinggal. Padahal, tidak ada yang benar-benar tertinggal dari apa pun. Hidup bukan lomba maraton dengan waktu yang sama; setiap orang punya ritme dan garis finish masing-masing. Ketika kamu berhenti membandingkan hidup, ruang batinmu menjadi lebih lapang untuk bernapas dan bersyukur.

Baca Juga: Merawat Jiwa di Tengah Kesibukan Hidup

Dengan berhenti membandingkan, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk tumbuh dengan tenang. Kita mulai melihat diri sendiri bukan sebagai rangkaian kekurangan, tapi sebagai manusia yang sedang belajar setiap hari. Kita mulai memahami bahwa kebahagiaan bukan hasil dari menyamai pencapaian orang lain, melainkan hasil dari berdamai dengan apa yang kita punya hari ini. Sikap ini tidak datang tiba-tiba, tetapi bisa dilatih.

Langkah pertama adalah menyadari pola pikir yang muncul setiap kali kita merasa iri, minder, atau tersinggung oleh pencapaian orang lain. Tanyakan dalam hati: “Apakah perasaan ini muncul karena aku benar-benar menginginkan hal itu, atau karena aku merasa tertekan oleh standar orang lain?” Dengan mengenali akar perasaan, kita bisa menata ulang fokus kita.

Langkah kedua adalah memperkuat rasa syukur, bukan yang dipaksakan, tetapi yang autentik. Ketika kita berhenti sejenak dan mencatat tiga hal sederhana yang kita syukuri setiap hari—kesehatan, keluarga, kemampuan bekerja, atau bahkan kesempatan untuk belajar—pikiran kita mulai terbiasa melihat apa yang ada, bukan apa yang kurang. Dalam situasi hidup yang serba cepat, kemampuan mensyukuri hal kecil adalah harta yang tidak ternilai.

Langkah ketiga adalah menciptakan batasan (boundary) dengan dunia digital. Tidak perlu menghapus media sosial, cukup batasi porsi konsumsi konten yang memicu perbandingan tidak sehat. Mengikuti akun yang menginspirasi, menenangkan, dan mendidik akan membantu menata kesehatan mental. Ingat, media sosial adalah alat, bukan cermin harga diri.

Baca Juga: Pemerintah Komitmen Tuntaskan TBC, Fokus pada Pekerja Informal

Selanjutnya, fokuslah pada perjalanan pribadi. Setiap orang punya “kapal” masing-masing; ada yang bergerak cepat, ada yang pelan tapi stabil. Yang paling penting adalah kamu tahu ke mana ingin melangkah. Ketika kamu punya tujuan yang jelas, pencapaian orang lain tidak lagi mengganggu, karena kamu sibuk membangun versi terbaik dari dirimu.

Terakhir, berlatihlah menerima diri. Kita semua adalah manusia yang tidak sempurna. Ada hari gagal, hari malas, hari sedih, dan itu normal. Kamu tidak harus kuat setiap saat. Kamu tidak harus berhasil secepat orang lain. Kamu tidak harus terlihat baik di hadapan semua orang. Yang kamu butuhkan adalah menerima bahwa hidupmu punya nilai meski tidak sempurna.

Dalam situasi hari ini—di mana tekanan sosial makin tidak realistis—kemampuan berhenti membandingkan hidup adalah bentuk kasih sayang kepada diri sendiri. Itu adalah seni menjaga kewarasan, seni menjaga hati tetap utuh. Ketika kamu berhenti menatap hidup orang lain, kamu akan kembali melihat hidupmu sendiri: penuh perjuangan, penuh cerita, dan penuh hal-hal indah yang selama ini mungkin tidak kamu sadari.

Dan pada akhirnya, seni berhenti membandingkan hidup adalah seni untuk pulang: pulang kepada diri sendiri, pulang kepada rasa syukur, pulang kepada ketenangan yang selama ini kamu cari.[]

Baca Juga: DPR Minta Pemerintah dan Masyarakat Perkuat Pengendalian Polusi Plastik

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Kemenkes Peringatkan Dampak Mikroplastik pada Air Hujan

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
MINA Health
Kolom
MINA Health
MINA Health
MINA Health