Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا۟ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا ٱلْقَوْلُ فَدَمَّرْنَٰهَا تَدْمِيرًا (الاسراء [١٧]: ١٦ــ١٧)
Baca Juga: Kubur Tak Butuh Status, Tapi Amalan Tulus
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al-Isra [17]: 16)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, tidaklah Allah Ta’ala menghancurkan suatu bangsa, kecuali Dia terlebih dahulu mengirim orang-orang untuk memberi peringatan, agar para pemimpin menegakkan keadilan, berbuat ketaatan dan menghentikan segala bentuk kemaksiatan dan kedzaliman.
Namun, jika para penguasa tetap berbuat dzalim, mereka terus-menerus melakukan kedurhakaan dan kerusakan, sementara peringatan tidak dihiraukan, maka saat itulah berlaku ketetapan Allah, yakni kehancuran untuk negeri tersebut.
Dalam konteks ayat di atas, ada tiga tanda kehancuran suatu bangsa:
Baca Juga: Percuma Cerdas Bila Tak Beradab: Rahasia Ilmu yang Tak Pernah Sampai ke Hati
Pertama, penguasa yang angkuh dan sombong, seperti yang pernah dilakukan oleh Fir’aun dan para pendukungnya. Penguasa yang sombong tidak mau mendengar nasihat dari siapapun. Siapa yang memberi kritik dan nasihat akan dimusuhi dan dianggap sebagai pengacau negeri.
Kedua, cinta dunia berlebihan, bergaya hidup mewah lagi kikir.
Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan akan mendorong manusia bergaya hidup mewah, suka dengan kemegahan, hingga membuat mereka memiliki sifat kikir. Mereka enggan menolong sesama, malas berderma, dan hanya mementingkan syahwat dunia dengan terus menumpuk-numpuk harta kekayaannya.
Rasulullah Shallallahi alaihi Wasallam memperingatkan dalam sebuah hadits:
Baca Juga: Ketika Shalat Tak Menyentuh Jiwa
وَاتَّقُوا الشُّحَّ؛ فَإِنَّ الشُّحَّ أهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ. حَمَلَهُمْ عَلَى أنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ. (رواه مسلم)
“Takutlah kalian semua terhadap sifat kikir, sebab kikir itu menyebabkan rusak binasanya umat sebelum kamu. Itulah yang menyebabkan mereka sampai mengalirkan darah sesamanya dan menyebabkan mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan pada diri mereka.” (HR. Muslim)
Ketiga, nasihat yang tidak dipatuhi.
Jika nasihat diabaikan. Aspirasi masyarakat tidak dipedulikan. Suara kalangan bawah tidak lagi diperhatikan, maka itu menjadi tanda sebuah bangsa sudah dekat kepada ajalnya. Dalam waktu dekat, bangsa itu akan mengalami kerusakan, disintegrasi bangsa dan kehancuran.
Baca Juga: Membangun Rumah Tangga Tanpa Drama
Dalam konteks dunia modern, para ulama kontemporer menjelaskan kehancuran suatu negeri bisa juga terjadi bukan karena bencana alam, penyakit atau peperangan, namun bisa terjadi karena perpecahan internal, krisis ekonomi, ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpinnya, dan lainnya.
Senjakala Kehancuran Negara Zionis Israel
Senjakala adalah sebuah istilah yang melambangkan masa-masa menjelang akhir dari sebuah perjalanan. Dalam konteks sejarah dan politik, senjakala menggambarkan titik kritis sebuah entitas mulai menuju kehancurannya.
Istilah ini relevan untuk menggambarkan situasi yang dialami oleh negara Zionis Israel. Negara kontroversial yang didirikan secara sepihak pada tahun 1948 ini tengah menghadapi berbagai tantangan yang semakin menggerogoti eksistensinya, baik dari dalam maupun luar.
Baca Juga: Berqurban, Amalan Utama pada Bulan Dzulhijjah
Genosida dan penjajahan yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina justru menjadi jalan utama menuju kehancuran negara Zionis dan rasis itu. Kebijakan yang didasarkan pada diskriminasi tidak hanya memancing perlawanan dari rakyat Palestina, tetapi juga menciptakan resistensi dari dalam negerinya sendiri dan komunitas internasional.
Keberlanjutan agresi dan serangan-serangan lainnya, terutama dengan melakukan pembantaian dan genosida di Gaza hanya mempercepat proses menuju kehancuran total negara Zionis tersebut.
Tokoh Palestina Musthafa Al-Borghouti, dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi mengatakan, Benyamin Netanyahu dan para pemimpin di Israel sedang menggali kuburannya sendiri. Ia menyebut, perang berkepanjangan di Gaza tidak membuahkan hasil sama sekali, justru kehancuran bagi Zionis Israel sendiri.
Al-Borghouti mendasarkan kesimpulannya itu pada tiga hal, pertama: ketangguhan perlawanan rakyat Palestina membuat perang itu berlangsung lama. Israel mengeluarkan dana sangat besar dan mengorbankan prajurit yang sangat banyak, namun hasilnya nihil. Kedua, dukungan Eropa dan AS semakin melemah untuk Israel, terutama sejak dimulainya agresi ke Gaza. Ketiga, media-media sudah tidak bisa lagi menutupi kejahatan Zionis Israel. Semua jelas terpambang di depan mata sehingga masyarakat dunia tahu keadaan yang sebenarnya terjadi di Palestina.
Baca Juga: Teruslah Bersuara untuk Palestina: Membela Palestina adalah Jihad dan Ladang Amal Shalih
Tekanan Internal yang Menghancurkan
Krisis kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin di Israel menjadi salah satu tanda kehancuran sebuah negara itu. Mereka kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin mereka, tidak percaya lagi para pemimpin saat ini akan membawa mereka kepada keamanan dan kesejahteraan.
Di Israel saat ini, gelombang demonstrasi besar-besaran telah menjadi pemandangan sehari-hari. Warga turun ke jalan memprotes berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan rakyatnya, mulai dari reformasi yudisial hingga penanganan konflik dengan Palestina.
Demonstrasi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap elit politik yang dianggap lebih mementingkan kepentingan ambisi pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Baca Juga: Mengapa Hidup Berjama’ah Adalah Keharusan Ruhani
Tidak adanya jaminan keamanan di wilayah Israel telah mendorong banyak warga untuk meninggalkan negara tersebut. Tidak hanya ancaman roket dari para pejuang, justru yang lebih mengerikan adalah, para tentara Israel sendiri yang menembaki warga sendiri dengan senjata mereka karena alasan mengambil simpati pimpinan di atasnya. Bahkan, pasukan penjajah Israel (IDF) mengungkap bahwa lebih dari 100 tentaranya melakukan tembakan terhadap temannya sendiri.
Di sisi lain, Eksodus besar-besaran warga Israel tidak hanya melemahkan struktur sosial, tetapi juga menciptakan krisis demografi yang berdampak jangka panjang.
Sementara itu, para elit politik Israel terjebak dalam konflik internal yang semakin memperparah keadaan. Alih-alih bersatu untuk mencari solusi bagi tantangan yang dihadapi, para pemimpin saling menyerang dan menjatuhkan.
Koalisi pemerintahan yang rapuh sering kali runtuh sebelum berhasil menjalankan program-programnya, meninggalkan negara itu dalam keadaan tanpa arah yang jelas.
Baca Juga: Jejak Kesalehan Seorang Ayah, Cahaya yang Membimbing Generasi
Tidak kalah parahnya, perekonomian Israel juga terus menghadapi tantangan berat. Biaya hidup yang tinggi untuk mempertahankan wilayah pendudukan, ditambah dengan anggaran besar untuk membiayai perang dan peralatan militer telah membebani anggaran negara.
Di sisi lain, sektor swasta mulai kehilangan daya saing. Para investor asing dan pelaku bisnis domestik ragu untuk menanamkan modal dan membuka usaha di tengah ketidakstabilan politik dan keamanan.
Selain itu, tingginya tingkat bunuh diri yang tinggi di kalangan prajurit Israel adalah tanda kehancuran yang serius. Banyak prajurit muda mengalami frustrasi akibat tekanan psikologis, moral, dan beban berat yang mereka pikul dalam menjalankan kebijakan penjajahan dan agresi militer. Fenomena ini mencerminkan krisis kemanusiaan yang mendalam di tubuh militer Israel.
Sementara itu, kebakaran lahan dan banjir bandang di beberapa wilayah di Israel telah membawa dampak buruk bagi negara Zionis itu. Pemerintah dan warga kehilangan jutaan bahkan miliaran dolar dari musibah yang melanda mereka.
Baca Juga: Generasi Fatherless-Motherless: Ancaman Peradaban Masa Depan
Tekanan Eksternal yang Menghimpit
Semakin banyak negara di dunia yang kehilangan kepercayaan terhadap Israel. Aksi genosida dan penjajahan yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina telah membuka mata dunia akan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh negara Zionis tersebut.
Di sisi lain, Zionis Israel selalu mengandalkan dukungan dari sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat (AS). Namun, dukungan ini mulai menunjukkan tanda-tanda goyah. Pemerintah AS menghadapi tekanan dari rakyatnya sendiri yang semakin sadar, bahwa mereka telah mendukung kedzaliman dan penindasan yang dilakukan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina.
Kampanye untuk menghentikan bantuan militer ke Israel semakin gencar, didukung oleh aktivis, tokoh masyarakat, akademisi, seniman dan artis hingga sebagian anggota parlemen AS.
Baca Juga: Refleksi HTTS 2025: Indonesia Darurat Konsumsi Rokok
Sementara negara-negara yang dulunya bersikap netral atau mendukung Israel kini secara terbuka mengutuk tindakannya dan memberikan dukungan kepada Palestina. Perubahan ini tidak hanya terjadi di negara-negara mayoritas Muslim, tetapi juga di kawasan lain, termasuk Amerika Latin, Afrika, dan bahkan Eropa.
Gerakan Boikot, Divestment and Sanction (BDS) telah menjadi alat yang efektif untuk menekan Israel secara ekonomi dan politik. Perusahaan-perusahaan internasional mulai memutuskan hubungan bisnis dengan entitas yang mendukung pendudukan Israel. Tekanan ekonomi ini menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi oleh negara Zionis tersebut.
Meskipun Israel telah menormalisasi hubungan dengan beberapa negara Arab melalui Kesepakatan Abraham (Abraham Accord), hubungan tersebut bersifat rapuh dan tidak didukung oleh rakyat di negara-negara tersebut. Israel tetap menjadi entitas yang terisolasi di Timur Tengah, dikelilingi oleh negara-negara yang mayoritas rakyatnya mendukung perjuangan Palestina.
Menuju Kehancuran Total
Dari berbagai bukti yang telah diuraikan, jelas bahwa Israel tengah berada di ambang kehancuran. Tekanan internal berupa krisis politik, sosial, dan ekonomi, ditambah dengan tekanan eksternal yang semakin meningkat, menciptakan kondisi yang sangat tidak stabil bagi negara Zionis itu.
Kebijakan agresif, diskriminatif, massif dan tidak manusiawi terhadap rakyat Palestina tidak hanya menghancurkan citra Israel di mata dunia, tetapi juga menghancurkan fondasi negara itu sendiri.
Israel sedang mengalami senjakala. Bukan karena kekuatan eksternal semata, tetapi karena kebijakan dan tindakan yang mereka pilih sendiri. Genosida dan penjajahan tidak hanya menghancurkan korban, tetapi juga menghancurkan pelakunya.
Dunia menyaksikan, dan sejarah akan mencatat momen ini sebagai babak akhir dari sebuah entitas yang didirikan di atas ketidakadilan, penindasan dan penjajahan.
Kini, pertanyaan yang tersisa adalah kapan senjakala ini akan mencapai puncaknya? Jawabannya mungkin tidak lama lagi. Ahli sejarah Kepalestinaan, Prof Abdul Fatah El-Awaesi yang saat ini berusia 77 tahun menyatakan keyakinannya, bahwa dirinya akan melihat kehancuran negara Zionis itu sebelum meninggal dunia.
Keyakinan itu tentu tidak berdasarkan kepada intuisi saja, tetapi berdasarkan bukti-bukti kuat yang mendukung terjadinya kehancuran tersebut.
Semoga keadilan dan perdamaian segera hadir, memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina dan dunia. Kedzaliman pasi akan bisana, keadilan pasti akan menemukan jalannya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)