Oleh: Mohamad Ridwan Thalib, Master of Law, University of California (UC) Berkeley, Amerika Serikat
Masyarakat pada umumnya tidak menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi atas sebuah keputusan pengadilan, khususnya perkara perdata, tidaklah dalam taraf yang memuaskan. Banyak tunggakan dan tumpukan perkara perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap, namun pelaksanaan eksekusinya masih saja tertunda atau belum dilaksanakan dikarenakan berbagai faktor.
Adanya gugatan pihak ketiga, perlawanan, adanya peninjauan kembali (biasanya membuat ketua pengadilan negeri setempat menunggu eksekusi untuk ditunda, padahal PK tidak dapat menunda eksekusi) atau lainnya.
Umumnya, hal-hal tersebut merupakan alasan-alasan pihak yang kalah dalam berperkara untuk mengulur waktu pelaksanaan eksekusi.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Lemahnya pelaksanaan eksekusi bahkan diakui oleh pemerintah sebagai kelemahan sistem penegakan hukum keperdataan di Indonesia. Perbaikan pelaksanaan eksekusi bahkan masuk ke dalam sektor yang perlu diperbaiki sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional, sesuai dengan amanat Presiden dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020- 2024.
Mengutip dari RPJMN, Isu Strategis yang dimuat dalam Pembukaan RPJMN, dinyatakan bahwa “Pada sistem peradilan perdata, pelaksanaan eksekusi perlu dibenahi. Salah satunya karena Indonesia pada indikator penegakan kontrak masih berada pada peringkat 146 dari 190 negara”. Dalam RPJMN, juga diatur perbaikan sistem hukum pidana dan perdata melalui strategi penyempurnaan hukum ekonomi yang mendukung kemudahan berusaha dan penguatan lembaga demi mendukung pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
Permasalahan yang timbul adalah, di dalam RPJMN, penyelesaian atau prioritas pemerintah adalah melalui revisi atau perbaikan sistem perundangan yaitu percepatan pembahasan RUU KUHPerdata serta penyempurnaan hukum di bidang ekonomi secara global.
Sebuah metode penyelesaian, yang menurut hemat penulis, akan memakan waktu yang cukup lama serta bertele-tele. Kebutuhan atas penyelesaian permasalahan eksekusi perdata di Indonesia, sudah cukup mendesak, permasalahan sengketa antara masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha sudah di angka yang cukup tinggi, ditambah dengan lamanya proses persidangan, apabila proses pelaksanaan eksekusi juga memakan waktu yang sangat lama, rata-rata penyelesaian permasalahan perdata di Indonesia bisa mencapai waktu 5-7 tahun (sampai dengan eksekusi).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Permasalahan pelaksanaan eksekusi yang memakan waktu dan kompleks ini juga telah menjadi perhatian Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung, Prof. Syarifudin pada tahun 2019 saat menyampaikan Keynote Speech dalam Diskusi Publik bertajuk “Mewujudkan Sistem Eksekusi Putusan Perdata yang Efektif dan Efisien” (diselenggarakan oleh LeIP dan Kedutaan Belanda). Menurutnya, akan mengambil inisiatif sebagai solusi jangka pendek berupa memperbaiki perbaikan terhadap regulasi internal terkait prosedur eksekusi putusan dan peningkatan juru sita pengadilan, sambil menunggu penyelesaian serta perbaikan yang bersifat integratif dan komprehensif dari Pemerintah, DPR serta Lembaga Yudikatif itu sendiri.
Kompleksitas pelaksanaan eksekusi tidak berhenti sampai masalah waktu yang betele-tele saja, tapi permasalahan berlanjut ke aspek pengamanan, dimana peranan instansi kepolisian atau satpol PP menjadi penting untuk dijalankannya eksekusi. Bayangkan, eksekusi bisa saja batal atau ditunda karena kepolisian atau Satpol PP setempat tidak siap untuk memberikan dukungan pengamanan.
Solusi Terbaik & Efektif terkait Perbaikan dan Percepatan Pelaksanaan Eksekusi
Saat ini, permasalahan pelaksanaan eksekusi pada peradilan perdata menjadi hal yang sangat mendesak untuk dicarikan solusinya. Mengutip pendapat Dr. H. Haswandi, S.H., M.Hum. dalam makalahnya saat Fit & Proper Test di Komisi III DPR pada September 2021 lalu, perlu suatu solusi sistematis dan komprehensif melalui dua cara.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Pertama, perlu diciptakan serta dibentuknya dibentuknya unit kerja setingkat eselon II di bawah Kepaniteraan Mahkamah Agung, khusus, untuk melakukan koordinasi, supervisi, serta menjalankan tindakan eksekusi di seluruh Pengadilan di Indonesia (sentralisasi).
Unit kerja ini bisa saja nantinya melakukan supervisi dan pelaksanaan eksekusi secara terpusat terhadap peradilan keperdataan umum (pengadilan negeri & pengadilan agama) serta khusus (hubungan industrial, kepailitan, merek dan lain-lain). Keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga quasi yudisial (KPPU, KIP atau BPSK).
Kedua, perlu segera dibentuk unit pengamanan pelaksanaan eksekusi yang mana kewenangannya dapat diperluas untuk menjaga pengamanan jalannya persidangan, mengawal tahanan (saat menjadi tahanan pengadilan), serta lain-lain. Unit pengamanan ini bernama “Police Justice”.
Nantinya, Police Justice menggantikan peranan polisi dan Satpol PP sebagai elemen pengamanan dalam pelaksanaan eksekusi atau mengawal jalannya persidangan. Menciptakan “Police Justice” bukanlah suatu hal yang aneh. Di Amerika Serikat, lembaga yudikatif memiliki satuan dengan komando paramiliter (bernama US Marshall) untuk mengawal tahanan, menjalankan eksekusi, menjaga persidangan federal dan banyak lagi. Satuan ini memiliki persenjataan dan pelatihan militer dan kewenangan ekslusif yang berada dibawah wewenang sistem peradilan federal AS.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Kedua solusi tersebut di atas dapat dijalankan sambil menunggu koordinasi lebih lanjut antara Mahkamah Agung RI, Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan revisi serta penyempurnaan atas peraturan perundangan yang sudah ada sesuai dengan amanat RPJMN 2020-2024 (KUHPer, HIR dan banyak lagiu).
Pendapat atau solusi yang disampaikan oleh DR. Haswandi, S.H. (kini sudah menjabat sebagai Hakim Agung Kamar Perdata), adalah bentuk tindak lanjut dari arahan Ketua Mahkamah Agung terkait solusi jangka pendek atas masalah pelaksanaan eksekusi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Penutup
Penulis beranggapan, pembentukan unit kerja khusus dibawah Panitera MA sebagai pelaksana dan pengawas dijalankannya Eksekusi serta diciptakannya Police Justice dapat memberikan solusi efektif atas permasalahan-permasalahan terkait lambatnya pelaksanaan Eksekusi di Indonesia. Unit kerja baru ini nantinya memiliki kewenangan serta kemampuan untuk menentukan faktor-faktor yang memperlambat pelaksanaan eksekusi, seperti, apakah gugatan/perlawanan pihak ketiga baru atas obyek yang sama merupakan gugatan yang dibuat-buat hanya untuk mengulur eksekusi itu sendiri . Sedangkan secara eksternal, Police Justice bisa menjadi jawaban atas permasalahan-permasalahan terkait pengamanan eksekusi dan juga untuk menambah daya atau kekuatan dari lembaga yudikatif dalam menjalankan eksekusi dari putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Arahan yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tahun 2019, serta ide-ide yang diutarakan oleh Dr. H. Haswandi, S.H., M.Hum., selaku pemangku kebijakan di Kamar Perdata MA, perlu ditindak-lanjuti serta dipertimbangkan oleh staekholders terkait, termasuk di dalamnya Mahkamah Agung itu sendiri. (A/R8/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?