Seperempat Abad Tragedi Khojaly Yang Terlupakan

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Isalmic News Agency/MINA

Meski seperempat abad telah berlalu, tetapi bagi penduduk yang dilakukan pasukan bersenjata dibantu infanteri resimen 366 bekas Uni Soviet saat mereka menyerang kota itu pada 25 Februari 1992 terhadap ribuan penduduk Azerbaijan, bukanlah peristiwa yang bisa dilupakan.

Khojaly adalah kota di Azerbaijan yang terletak di dalam batas administratif wilayah Nagorno-Karabkh. Akibat pembantaian brutal itu, 613 orang dibunuh, termasuk 106 perempuan, 83 anak-anak, dan 70 lanjut usia. Sebanyak 1.275 orang disandera dan lebih dari 150 orang belum ditemukan hingga kini.

Bahkan, belum ada yang diadili atas pembantaian dan pelanggaran HAM tersebut. Meski 25 tahun berlalu, luka di hati warga Azerbaijan belum sembuh. Masih ada utang yang belum dituntaskan pada mereka yang terbunuh, juga keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih: keadilan atas kematian para korban.

Lala Askerova, salah seorang warga Khojaly dalam kesaksiannya mengatakan, menantu saya tewas dan kami membawa keempat anaknya. Kami memiliki sebuah rumah bertingkat di  Aghdam, dengan empat kamar. Kami memasukkan anak-anak itu di asrama yang berbeda.

Rumah kami terletak dekat markas tentara dan penggilingan tepung. Tentara-tentara itu selalu menembaki rumah kami….Saya ingat sebuah misil meledak mengenai anak perempuan, Suami saya adalah seorang pemborong, dia meninggal sebelum bencana itu terjadi – beberapa penduduk meninggal karena stress setelah serangan dimulai tahun 1988.

Kami melarikan diri tanpa membawa apa-apa, hanya selembar selimut. Saya sangat panik saat melarikan diri, saya tak mendengar panggilan anak sulung saya…kami tak bisa berfikir apapun kecuali menyelamatkan diri. Hanya ada pilihan hidup dan mati…tak ada peringatan sebelumnya, serangan tiba-tiba saja datang.

Di hari terakhir serangan saya dan kakak lelaki serta dua saudara perempuan berada di Aghdam dengan nenek saya. Tak ada dokter di Khojaly dan semua jalan telah diblokir oleh tentara Armenia, sehingga kami dibawa ke Aghdam dengan helikopter, kata Askerova dalam buku “Khojaly Saksi Mata dari Suatu Kejahatan Perang” yang diterbitkan di London tahun 2014.

Sangat disayangkan, masyarakat dunia dinilai kurang memperhatikan insiden tragis itu. Namun, Duta Besar Azerbaijan untuk Indonesia Tamerlan Qarayev yakin,  suatu saat masalah tersebut bisa diselesaikan. “Selama 25 tahun kami coba ajak masyarakat dunia, untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Bersama-sama hentikan teror ini.”

Dukungan sudah datang dari parlemen dari Turki, Serbia, Ceko. Bahkan Turki menutup wilayahnya untuk Armenia, Pakistan juga tak mengakui Armenia sebagai negara, kecuali kalau Armenia mau menghentikan dan menarik pasukannya dari Azerbaijan.

“Januari 2012, Persatuan Parlemen OKI di Palembang sudah menyerukan kepedulian untuk menghentikan agresi itu. Sayangnya, beberapa negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, mengabaikannya, contohnya sejumlah negara Eropa juga mengabaikan UU pemberontakan Genosida.

Penyelesaian secara damai

Tragedi pembantaian di Khojaly berawal tahun 1990 akibat perjuangan berdarah rakyat Azerbaijan dalam meraih kemerdekaan dari tentara Uni Soviet. Sejak itu tidak ada tentara, tak ada pemerintahan, tak ada kestabilan dan tak ada aturan untuk membuat ruang demokrasi baru.

“Saat itu para pemimpin politik Armenia, berpikir tak mungkin hidup bersama umat Muslim. Mereka mulai mempengaruhi rakyatnya untuk membenci umat muslim, untuk mengusir rakyat Azerbaijan, bergabung Soviet-Armenia,” katanya beberapa waktu lalu.

Untuk melaksanakan rencana mereka, tentara Armenia dilengkapi senjata, membunuh warga sipil Muslim serta membakar kota dan masjid. Sayangnya, kata dia, setelah runtuhnya Uni Soviet, Azerbaijan tak mempunyai tentara kuat. “Yang ada hanya warga sipil untuk melindungi mereka dari tentara yang melakulan pembunuhan secara brutal.

“Tentara Armenia juga pernah mengambil gambar yang menunjukan pembantaian. Mereka mencoba mengubah sejarah, seolah-olah Armenia yang dibantai,” kata Dubes Qarayev.

Menurut dia, apa yang terjadi di Khojaly sama sekali tidak boleh terlupakan atau teracuhkan. Negara sahabat Azerbaijan — seperti Indonesia — harus tahu apa yang telah dilakukan militer Armenia di Khojaly. “Azerbaijan ingin berbagi kisah pada negara-negara sahabat tentang apa yang terjadi di Khojaly 25 tahun lalu, ketika tentara Armenia melakukan genosida terhadap warga muslim Azerbaijan.”

“Khojaly adalah kota tua dan bersejarah, tapi Armenia mencoba membasmi kota itu hingga terhapus selamanya dari peta,” ujarnya.

Pembantaian itu menurut Qaravey membuat Azerbaijan sampai saat ini tidak mengakui kedaulatan Armenia. Begitu juga sebaliknya. “Kami tidak mengakui mereka dan mereka tidak mengakui kami. 20 Persen wilayah kami diduduki Armenia dan semua penduduk di Kota Karabah mereka hanvurkan.”

Turki malah menutup perbatasannya dengan Armenia sejak 1993. Selain itu, Turki dan Pakistan tak mengakui Armenia sebagai sebuah negara kecuali mereka menghentikan agresi militer terhadap Azerbaijan, serta menarik semua pasukan dari wilayah-wilayah Azerbaijan yang diduduki.”

Memang sudah ada tindakan yang dilakukan masyarakat dunia khususnya organisasi Islam internasional. “Sebenarnya sudah ada resolusi dari negara-negara Islam untuk memberikan sanksi pada Armenia. Ini sangat penting, karena kami tak ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan pendekatan militer. Azerbaijan hanya mau jalan damai,” katanya.

Kecam agresi

Indonesia sendiri mengecam keras tindakan agresi Armenia terhadap Republik Azerbaijan yang bertujuan melakukan pembersihan etnis di kawasan Nagorno – Karabkh. Seperti disampaikan Ketua Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR RI Meutya Viada Hafid. Indonesia juga mendukung resolusi yang menyerukan penarikan seluruh pasukan Armenia tanpa syarat.

Setidaknya, sudah ada empat resolusi PBB terkait hal ini, namun Armenia masih menguasai wilayah Nagorno – Karabkh dan wilayah sekitarnya sampai saat ini. “Saya harap PBB dapat menegakkan resolusi yang sudah dikeluarkan sebelumnya, karena kalau hanya resolusi saja tanpa enforcement maka ini akan menjadi resolusi yang sia-sia,” kata Meutia.

Sebagai bentuk dukungan, GKSB akan melakukan kunjungan ke Azerbaijan dalam waktu dekat untuk melihat langsung kondisi di sana sekaligus melakukan dialog dengan pejabat terkait untuk mencari solusi agar konflik tersebut segera berakhir.

“Terkait konflik  Nagorno – Karabkh yang sudah berjalan 25 tahun Indonesia akan mengedepankan dialog dan kerjasama dalam bentuk lainnya. Mudah-mudahan ini akan memperkuat posisi Azerbaijan di kancah internasional sehingga diplomasi lainnya akan mudah dilakukan,” ujarnya.

Dubes Garayev mengapresiasi sikap Parlemen Indonesia yang telah konsisten menolak agresi dan peduli terhadap peristiwa yang terjadi di Azerbaijan. Sebelumnya, Ketua DPR RI periode 2009 – 2014 Marzuki Alie  bersama anggota DPR lainnya telah menandatangani petisi pengakuan peristiwa Genosida di Khojaly.

“Ini menunjukkan bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menegakkan keadilan dan peduli terhadap perdamaian di seluruh dunia,” katanya.

Penderitaan satu juta warga Muslim Azerbaijan masih berlanjut sampai saat ini. Lebih dari satu juta warga Muslim Azerbaijan menjadi pengungsi dan orang terlantar di negara mereka sendiri selama hampir seperempat abad. Tentu saja PBB – sebagai badan dunia – diharapkan lebih keras lagi dalam menerapkan resolusi-resolusinya terhadap Armenia.(RS1/P1)

Miraj Islamic News Agency/MINA

 

 

Wartawan: illa

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.