Oleh: Joserizal Jurnalis*
Dalam menghadapi konflik di Timur Tengah saat ini, Arab Spring dan Extended Arab Spring terlihat ruwet jika kita melihat faktor-faktor satu persatu.
Faktor-faktor itu bukanlah faktor utama tapi kita sebut complementary factor (faktor yang saling melengkapi).
“Demokrasi” didengung-dengungkan pada awal Arab Spring sebagai alasan terjadinya revolusi di beberapa negara Arab. Ternyata tidak ada demokrasi yang tegak di negara-negara yang penguasanya digulingkan, bahkan dibunuh karena dituduh diktator dan tidak demokratis.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Padahal, negara-negara Arab yang terlibat dalam membiayai Arab Spring ini, seperti Arab Saudi, Qatar dan Kuwait adalah negara monarki (kerajaan), yang tidak demokratis sama sekali.
“Menegakkan syariat” dan “pendirian khilafah” juga menjadi slogan sebagian peserta Arab Spring dalam menumbangkan rezim yang mereka sebut “toghut, anti syariah, inkar sunnah, atau Syiah”.
Yang agak tersembunyi pada awal Arab Spring, terutama dalam kasus konflik Suriah adalah “Untuk apa keterlibatan Turki, Arab Saudi, Kuwait dan Qatar di Suriah ?”
Agak aneh, Suriah adalah anggota Liga Arab, sama seperti Arab Saudi, Qatar dan Kuwait. Kalau ingin menegakkan demokrasi karena rezim tidak demokrasi, ketiga negara tersebut jauh dari kesan demokratis. Turki terlibat karena negara anggota NATO dan perdana menterinya saat itu, Recep Tayyip Erdogan, adalah simpatisan Ikhwanul Muslimin (IM), di mana angggota IM terlibat sebagai pihak oposisi di Suriah.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Menjadi agak jelas frame permainan Arab Saudi, Qatar dan Kuwait yang menjadi anggota koalisi utama, ketika menyerang Yaman Utara yang dikuasai suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah dan loyalis mantan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Walaupun secara terbuka Arab Saudi dkk menyerang Yaman Utara dalam rangka ingin mengembalikan kekuasaan Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi yang minta tolong, tapi sebenarnya Arab Saudi dkk – terutama Arab Saudi – “takut” dengan makin besarnya pengaruh Iran.
Hal itu terjadi karena Arab Saudi takut dengan “aroma” Revolusi 1979 yang menggulingkan kerajaan (Shah Iran) yang berumur 2000 tahun, di mana dulunya adalah sahabat Arab Saudi, Amerika Serikat dan Israel.
Akhirnya kita bisa membaca permainan Arab Saudi di Arab Spring dengan membandingkan kasus Suriah dan Yaman.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Tentu timbul pertanyaan “Kenapa Arab Saudi dan Qatar juga terlibat menumbangkan Presiden Libya Muammar Gaddafi dan Presiden Mesir Hosni Mubarak?”
Arab Saudi dan Qatar merupakan “kawan seiring” dalam Arab Spring, tapi dalam kasus menumbangkan Presiden Mesir Muhammad Mursi mereka berbeda posisi. Arab Saudi meninggalkan Qatar yang tetap mendukung Mursi.
Lalu kenapa Arab Saudi dan Qatar masih bisa disatukan dalam “proyek” konflik Suriah, ISIS dan Yaman?
Di sinilah sebenarnya permainan itu terkuak, karena yang bisa melakukan itu adalah Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
AS dan Israel ini sangat berkepentingan dengan Timur Tengah. Israel perlu keamanan dirinya dari negara-negara Arab yang dalam sejarah memang tidak bersahabat dengan Israel. Israel perlu melemahkan musuh-musuhnya dengan penyusupan, adu domba, merekayasa ulama-ulama adu domba, sehingga musuhnya terpecah-pecah berdasarkan suku dan sekte, pada akhirnya lemah.
Bagi AS, Timur Tengah harus tetap bisa dikontrol, supaya sumber-sumber energi tetap bisa dikuasai.
Terjadilah siombiose-mutualisma antara Israel dan AS di Timur Tengah.
Dan hasil Arab Spring adalah instability of the Middle East (ketidakstabilan Timur Tengah). (T/P001/P2)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
*) Joserizal Jurnalis adalah seorang aktivis kemanusiaan dan dokter bedah spesialis tulang. Saat ini menjabat Anggota Presidium lembaga medis kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). Pengalamannya di banyak daerah konflik dan pengetahuannya yang luas tentang konspirasi Zionis dan konflik Timur Tengah, membuatnya sering menjadi nara sumber di berbagai diskusi dan media.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun