DENGAN semangat tak tergoyahkan, Global Sumud Flotilla (GSF) kembali berlayar, menggetarkan hati dunia. “Sumud” yang artinya keteguhan, tetap bergerak walau ancaman militer Zionis menghadangnya dan berusaha menghajarnya.
Satu kapal sudah menjadi sasaran drone tak dikenal. Salah satu kapal utama GSF yang dikenal sebagai Family Boat dilaporkan terkena serangan pesawat drone di perairan Tunisia, Senin malam (8/9/2025) waktu setempat. Kapal tersebut membawa sejumlah anggota Steering Committee GSF dan berlayar dengan bendera Portugal.
GSF, bukan kapal perang yang mereka naiki, tapi kapal kemanusiaan. Bukan amunisi yang mereka simpan, melainkan makanan, air bersih, obat-obatan, dan cinta kemerdekaan dari penjuru dunia.
Armada Global Sumud Flotilla bukan sekadar pelayaran, tapi ia adalah simbol perlawanan damai melawan pendudukan, penjajahan.
Baca Juga: Pembelaan Sultan Abdul Hamid II terhadap Palestina
Dari berbagai benua mereka datang. Aktivis lintas negara dan lintas agama, Muslim, Kristen, Yahudi antizionis, hingga orang-orang tak beragama tapi berhati nurani ikut serta.
Mereka tak diutus oleh negara, juga tak oleh dibayar organisasi. Mereka berangkat dengan biaya mandiri, dengan satu tujuan menembus blokade Gaza yang telah membelenggu rakyat Palestina di Jalur Gaza selama lebih dari 17 tahun, sejak 2007.
Termasuk di dalamnya adalah delegasi dari Indonesia, negeri yang sejak awal memang lantang menyuarakan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Palestina.
Mereka hadir sebagai bagian dari Global Sumud Nusantara, membawa nama bangsa dan amanat kemanusiaan. Bukan hanya sebagai penonton tragedi, tapi sebagai pelaku sejarah.
Baca Juga: Sam’i wa Thaat: Kultur Mulia dalam Kehidupan Al-Jama’ah
“Ini adalah amanah seluruh umat Islam,” ujar Iwan Abdurrohman aktivis muda Aqsa Working Group (AWG) dari Indonesia yang ikut dalam armada tersebut.
“Palestina bukan sekadar isu bangsa lain, melainkan ujian bagi keimanan umat Islam karena di sana terdapat Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama dan masjid ketiga yang dimuliakan dalam Islam,” ujar Iwan saat orasi di Masjid Kuantan, Pahang, Malaysia, Sabtu (23/8/2025), beberapa hari sebelum terbang ke Tunisia.
“Palestina adalah amanah kita semua,” serunya.
Kini, di tengah ombak Laut Mediterania, mereka akan menghadapi kapal-kapal militer Zionis Israel. Armada kemanusiaan itu bersenjatakan keberanian dan solidaritas. Bukan untuk menyerang, tetapi untuk mendesak pembebasan Gaza dari penjara terbesar di dunia.
Baca Juga: Black Agenda Drakor: Misi Tersembunyi di Balik Layar
Setiap layar yang terkembang, setiap bendera Palestina yang berkibar di atas dek, adalah suara lantang dunia yang berkata:
“Cukup sudah penderitaan ini. Bebaskan Gaza. Bukalah blokade!”
Di balik dinding-dinding Gaza, ada anak-anak yang ingin sekolah, ada ibu yang menanti obat, ada orang tua yang ingin hidup tenang. Dan Global Sumud Flotilla, dengan segenap keteguhan hatinya, mengantar harapan itu lewat gelombang samudera.
Ya, ini bukan sekadar armada. Ini adalah perlawanan tanpa senjata. Cinta yang melawan tirani di mata dunia. Kemanusiaan yang tak bisa dibungkam oleh ancaman senjata. []
Baca Juga: Jejak Awal Kelahiran Drakor, Industri Hiburan atau Propaganda?
Mi’raj News Agency (MINA)