Seri Rezeki: Kunci Rezeki ke (3) Tawakal

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Kadang, persepsi sebagian kita salah kaprah tentang . Belum juga usaha keras, seringkali kita bilang, “Ah, sudahlah tawakal saja kepada Allah.” Padahal, usaha yang dilakukan belum lagi sepenuh daya. Tawakal, harus dilakukan sesuai dengan aturan mainnya.

Tawakal bukan asal tawakal, tapi tawakal itu dilakukan ketika segala kemampuan benar-benar sudah dikerahkan semua, baru bertawakallah kepada Allah Sang Pemilik segala kesuksesan.

Para ulama telah menjelaskan makna tawakal secara jelas. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali. Ia berkata , “Tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata”. (Ihya’ Ulumid Din, 4/259)

Sementara Al-Allamah Al-Manawi dalam Faidhul Qadir berpendapat jika tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakali.

Berkomentar soal tawakal, Al-Mulla Ali Al-Qari berkata,”Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah”. (Murqatul Mafatih, 9/156)

Tawakal juga menjadi salah satu kunci lancarnya rezeki seorang hamba. Sebab Allah Ta’ala cinta kepada orang yang tawakal hanya kepada-Nya. Dalam riwayat Umar bin Khatab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغدُوْ خِمَاصًا ، وتَرُوْحُ بِطَانًا

Dari Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allâh dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allâh sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (I/30, 52); at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2344).

Landasan utama tawakal merupakan ada dalam firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS ath-Thalâq/65: 2-3)

Makna Tawakal

Secara bahasa, Tawakkal artinya mewakilkan, yaitu menampakkan kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.[Mujmal Maqâyis al-lughah (bab wakala), karya Abul Husain Ahmad bin Faris (wafat th. 395 H)]

ar-Râghib al-Ashfahani t (wafat th. 425 H) berkata, “(kata) Tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan: Tawakkaltu li fulân (Aku menjadi wakilnya si fulan), maka maksudnya adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga : Wakkaltuhu fatawakkala lii, wa tawakkaltu ‘alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil, kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya), maka maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya.” [Al-Mufradât alfâzhil Qur-ân (hlm 882)]

Ibnul Atsîr rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata, “Tawakkal terhadap suatu perkara adalah apabila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan) Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, artinyanya aku bersandar dan bergantung padanya.” [An-Nihâyah Fî Gharîbil Hadîts (V/221)]

Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat th. 795 H) berkata, “Tawakkal ialah penyandaran hati dengan jujur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam upaya memperoleh kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat.” [Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/497)]

Dari beberapa define ulama di atas, maka Tawakal ialah keadaan hati yang tumbuh dalam mengenal Allâh Azza wa Jalla, beriman kepada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu, wajib bersandar dan berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya.” [At-Tawakkul ‘Alallâh (hlm. 22)]

Imam Abul Qasim al-Qusyairi dalam Murqatul Mafatih berpendapat bahwa tawakal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak fisik tidaklah bertentangan dengan tawakal di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari-Nya.

Sejatinya, hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Amr bin Umayah ra ini bisa menjadi bahan renungan. Ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? ‘Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu bertawakallah.” (Musnad Asy-Syihab).

Jadi, usahakan secara maksimal apa yang sudah menjadi impian kita, lalu tawakal sepenuhnya hanya kepada Allah Ta’ala. Jika tawakal sudah dilakukan secara benar dan sepenuh hati, maka mantapkan keyakinan bahwa Allah akan segera mengabulkan apa yang seharusnya sudah menjadi bagian rezekinya, wallahua’lam. (A/RS3/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.