Beberapa pekan setelah Bill Gates kembali muncul di panggung global dengan pidato tentang pentingnya vaksinasi global untuk penyakit menular seperti TBC, malaria, dan HIV, tiba-tiba publik dikejutkan oleh berita bahwa Jakarta dalam status “siaga TBC”. Sekilas terlihat seperti kebetulan. Namun dalam dunia geopolitik, ekonomi kesehatan, dan kapitalisme global, sangat sedikit hal yang benar-benar “kebetulan”.
Pernyataan Gates di pertemuan internasional itu memang tampak mulia, menyelamatkan jutaan nyawa melalui vaksin. Tapi pertanyaannya, nyawa siapa yang diselamatkan, dan siapa yang memperoleh keuntungan terbesar? Ketika rakyat Indonesia—khususnya Jakarta—harus menghadapi gelombang kampanye siaga TBC, kita layak bertanya: benarkah ini soal kesehatan publik, atau ada agenda di balik layar?
TBC di Jakarta: Masalah Nyata, Penanganan Sarat Tanda Tanya
TBC bukan masalah remeh. Indonesia berada di posisi kedua tertinggi dunia setelah India dalam jumlah kasus TBC. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 mencatat lebih dari 800.000 kasus, dan Jakarta termasuk episentrum utama. Namun yang patut dikritisi bukanlah pengakuan terhadap penyakit ini, melainkan narasi tiba-tiba yang bergulir massif, hanya berselang beberapa saat setelah tokoh global seperti Bill Gates bicara soal vaksin sebagai penyelamat umat manusia.
Ada apa dengan momentum ini?
Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani
Mengapa media besar tiba-tiba berlomba-lomba memberitakan siaga TBC? Mengapa kementerian dan lembaga mendadak gencar dorong program deteksi dini dan vaksinasi massal, justru setelah konglomerat teknologi berbicara di forum internasional?
Ini bukan teori konspirasi. Ini fakta tentang relasi kekuasaan dalam dunia kesehatan, bahwa perusahaan farmasi global memiliki daya tawar luar biasa terhadap kebijakan kesehatan negara berkembang.
Vaksin: Antara Harapan dan Kapitalisasi
Vaksin sejatinya adalah teknologi luar biasa yang menyelamatkan umat manusia dari banyak wabah mematikan. Tapi di era neoliberalisme dan industri farmasi global, vaksin juga menjadi komoditas emas. Dengan harga yang dapat dipatok tinggi, dengan kontrol distribusi yang eksklusif, dan dengan dukungan negara-negara adidaya serta lembaga keuangan internasional, vaksin bisa menjadi instrumen kekuasaan baru.
Mari kita bicara jujur: ketika rakyat Indonesia diminta vaksinasi massal, siapa yang memproduksi vaksin tersebut? Siapa yang memegang paten? Siapa yang mengontrol rantai pasok? Dan siapa yang akhirnya menerima pembayaran dalam bentuk devisa atau utang luar negeri?
Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia
Masyarakat boleh saja dikatakan sebagai penerima manfaat, tetapi dalam logika pasar global, rakyat hanya menjadi target distribusi, bukan subjek utama yang berdaulat atas kesehatannya.
Rakyat Sakit, Korporasi Untung?
Dalam banyak studi kesehatan global, termasuk laporan dari Global Justice Now dan Oxfam, disebutkan bahwa perusahaan farmasi seperti Pfizer, Moderna, GSK, dan Johnson & Johnson mencatatkan keuntungan miliaran dolar hanya dalam satu tahun pandemi COVID-19, sementara banyak negara berkembang berhutang atau bergantung pada skema COVAX demi mengakses vaksin.
Kini, ketika pandemi COVID-19 mereda, apakah TBC menjadi ‘proyek berikutnya’?
Bukan berarti TBC direkayasa, tentu tidak. Tapi narasi, momentum, dan solusi yang ditawarkan bisa diarahkan sedemikian rupa agar tetap menguntungkan industri. Di sinilah rakyat sering menjadi tumbal kebijakan: mereka disuguhi rasa takut, dijanjikan keselamatan, tapi tak pernah benar-benar menjadi pemilik keputusan.
Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam
Kita sering lupa, bahwa penyebab utama TBC adalah kemiskinan, gizi buruk, dan kepadatan hunian. Tapi mengapa solusi yang ditawarkan justru berbentuk vaksin, bukan perbaikan gizi, sanitasi, atau kebijakan redistribusi ekonomi?
Kedaulatan Kesehatan atau Kolonialisme Gaya Baru?
Kesehatan seharusnya menjadi hak dasar warga negara. Namun jika arah kebijakan kesehatan ditentukan oleh kepentingan lembaga donor, yayasan filantropi global, atau tekanan korporasi farmasi, maka kita telah kehilangan kedaulatan kesehatan. Inilah bentuk kolonialisme baru: bukan penjajahan teritorial, melainkan penjajahan atas tubuh dan keputusan hidup rakyat.
Dalam sistem ini, pemerintah bisa saja hanya menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan global. Lembaga negara berfungsi sebagai pelaksana proyek kesehatan atas nama rakyat, tetapi tanpa partisipasi rakyat dalam merumuskan kebijakan tersebut.
Yang lebih menyedihkan, kritik terhadap program vaksinasi massal atau kewaspadaan terhadap kapitalisasi penyakit sering dianggap anti-sains, konspiratif, atau berbahaya, padahal sesungguhnya ini adalah bentuk kontrol sosial agar kebijakan tak bisa dipertanyakan.
Baca Juga: Bersama dalam Ketaatan: Urgensi Hidup Berjama’ah bagi Seorang Muslim
Rakyat Perlu Melek, Bukan Sekadar Taat
Di tengah arus informasi dan propaganda kesehatan, rakyat perlu melek pengetahuan, bukan hanya taat prosedur. Kita harus bisa membedakan antara solusi yang menyelamatkan dan kebijakan yang memanfaatkan. Jangan biarkan rasa takut dijadikan komoditas untuk memperkaya segelintir orang.
Masyarakat berhak tahu bahwa vaksin bukan satu-satunya solusi TBC. Bahwa perbaikan kondisi sosial, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan ekonomi justru merupakan langkah preventif yang paling mendasar. Tapi sayangnya, ini bukan sektor yang bisa menghasilkan laba cepat bagi perusahaan global.
Jika rakyat hanya dianggap sebagai angka statistik, target imunisasi, atau “pasar kesehatan”, maka sejatinya kita sedang berada dalam situasi yang tragis: dikorbankan atas nama kepentingan yang katanya untuk kita, tapi justru menjauhkan kita dari kemerdekaan sejati.
Harus Ada Jalan Lain
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan kesehatan menjadi proyek elite global yang sarat agenda tersembunyi. Sudah saatnya Indonesia membangun kemandirian kesehatan nasional, mulai dari riset, produksi vaksin lokal, hingga distribusi berbasis kebutuhan nyata, bukan tekanan pasar.
Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan
Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan kesehatan, bukan hanya memberi instruksi satu arah. Transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas adalah fondasi utama sistem kesehatan yang berkeadilan.
Kita juga harus menolak logika bahwa satu-satunya solusi untuk semua penyakit adalah vaksin. Vaksin bisa menjadi bagian dari solusi, tapi bukan menjadi satu-satunya bisnis yang mengalirkan dana triliunan rupiah ke luar negeri sementara rakyat tetap hidup dalam lingkungan yang tidak sehat.
Kesehatan Bukan Komoditas
Kesehatan adalah hak rakyat. Tapi ketika penyakit dijadikan peluang, dan rakyat dijadikan pasar, maka yang tumbuh bukanlah kesehatan, melainkan kekuasaan korporat atas tubuh manusia.
Bill Gates bisa berbicara tentang vaksin di panggung global, dan pemerintah bisa menjalankan program siaga TBC dengan serius. Tapi selama kebijakan kesehatan tidak berpijak pada kedaulatan rakyat, dan tidak bebas dari kepentingan bisnis global, maka yang terjadi hanyalah satu hal: rakyat tetap sakit, tapi yang untung adalah mereka yang paling jauh dari penderitaan itu.
Baca Juga: Ziarah ke Masjid Al-Aqsa, Kunjungan Spiritual dan Persaudaraan
Sudah waktunya kita bersuara. Sudah waktunya rakyat bukan hanya jadi objek, tapi jadi subjek yang sadar, cerdas, dan kritis. Agar tak lagi menjadi korban dari proyek-proyek kesehatan yang tak sepenuhnya demi kita.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ucapan Terima Kasih Saja Belum Cukup: Ini 5 Cara Nyata Menghargai Guru