Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ibrahim Mahmoud, Lelaki Tua Pengungsi Palestina yang sejak 1948 Terus Terombang-ambing

Syauqi S - Ahad, 17 Januari 2016 - 15:29 WIB

Ahad, 17 Januari 2016 - 15:29 WIB

302 Views ㅤ

Ibrahim Mahmoud berdiri di kamp pengungsi Baharka di wilayah Kurdi di Irak Utara (Dok. Saudi Gazette)

Irak-Utara-Dok.-Saudi-Gazette-300x193.jpg" alt="Ibrahim Mahmoud berdiri di kamp pengungsi Baharka di wilayah Kurdi di Irak Utara (Dok. Saudi Gazette)" width="300" height="193" /> Ibrahim Mahmoud, 70-an, berdiri di kamp pengungsi Baharka di wilayah Kurdi di Irak Utara (Dok. Saudi Gazette)

Ibrahim Mahmoud masih bocah saat melarikan diri dari kampung halamannya di Haifa, Palestina, dengan menumpang sebuah truk selama perang 1948 ketika negara Israel didirikan.

Kini, di usia senjanya, pria yang tubuhnya sudah bungkuk ini harus menghadapi keadaan sulit lainnya. Mahmoud sekali lagi terpaksa berkemah jauh dari rumahnya, melarikan diri dari kekejaman kelompok militan Islamic State (Daesh/ISIS) yang mengambil alih Kota Mosul, Irak.

Saudi Gazette memaparkan, syahdan, pengembaraan Mahmoud dimulai pada 1948, ketika bocah 9 tahun ini berada di antara sekitar 700.000 warga Palestina yang melarikan diri dari rumah mereka atau diusir dalam Perang Kemerdekaan Israel.

“Kami meninggalkan rumah kami di Palestina pada tahun 1948 ke Yordania dengan menumpangi bagian belakang sebuah truk,” kata Mahmoud. Keluarganya kemudian pindah ke Basra, sebuah kota bersuhu panas di ujung selatan Irak, di Teluk Arab.

Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?

Di Basra, orangtua Mahmoud mecoba berjualan falafel, yaitu makanan Timur Tengah yang terbuat dari kacang Arab yang digiling. “Ketika kami datang ke Basra, ayah saya mulai menjual falafel. Makanan itu terbilang baru di sini, sehingga bisnis kami berjalan lancar,” ujarnya.

Meski prospek soal periuk cukup baik, di sisi lain keluarga Mahmoud harus berjuang untuk beradaptasi dengan lingkungan baru mereka. Suasana Basra dirasakannya berbeda dengan lingkungan dan kondisi Levant yang tenang.

“Kehidupan di Basra sulit. Lingkungannya berdebu dan air di tempat kami tinggal, tidak bersih,” tegasnya.

Karena tidak dapat menemukan tempat lain untuk menetap, Ibrahim dan keluarganya berlindung di sebuah rumah ibadah kaum Yahudi yang tidak terurus. Di sinagoga itu ia tinggal bersama dengan keluarga Palestina lainnya, selama 30 tahun.

Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina

Menurut angka yang dimiliki Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), terdapat lebih dari 70.000 warga Palestina tinggal di Irak sebelum invasi militer pimpinan Amerika Serikat pada 2003.

Pemerintah Presiden Saddam Hussein menyatakan solidaritas dengan warga Palestina. Mereka diizinkan untuk bekerja dan bahkan bekerja di instansi pemerintah tapi tidak pernah diberikan kewarganegaraan.

Dianggap Bagian dari Rezim

Setelah invasi AS dan sekutu yang berujung pada tumbangnya rezim Saddam Hussein, banyak orang Irak memandang orang Palestina sebagai bagian dari rezim sebelumnya. Akibatnya para pengungsi terpaksa melarikan diri dari diskriminasi dan kerusuhan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim

Angka resmi tidak ada, tetapi UNHCR memperkirakan hanya sekitar 3.000 warga Palestina masih bertahan di Irak.

Pada pertengahan 1970-an, Mahmoud, istri, dan lima anaknya pindah ke Mosul. Putusan itu diambil setelah Mahmoud diberitahu oleh seorang pria tua yang terlibat berjuang dalam perang 1948 bahwa ia akan merasa lebih betah di kota sebelah utara itu.

“Dia mengatakan kepada saya ada tempat di Irak seperti Palestina. Ada rumput di mana-mana dan sungai. Dan mereka memiliki jeruk di sana,” kisah Mahmoud.

Kota Mosul memang persis seperti yang dicertakan si pria tua tadi. Namun Mahmoud harus berjuang memenuhi segala kebutuhan familinya. Mencari penghidupan sangat sulit karena sanksi internasional yang dijatuhkan pada Irak pada 1990-an.

Baca Juga: Tahun 1930 Tiga Pelajar Indonesia Syahid di Palestina

Kondisi sulit itu membuat anak-anak Mahmoud terpaksa bekerja untuk membantu dapur bisa tetap ngebul. Alhasil pendidikan mereka menjadi terbengkalai. “Kami harus memastikan ada roti di atas meja, jadi hanya itu yang kita bisa beri kepada mereka,” ungkapnya.

Mereka tetap bertahan di Mosul selama kekacauan yang melanda Irak setelah tahun 2003, ketika kota itu dilanda pertempuran sengit antara pasukan AS dan gerilyawan dan ‘hujan’ bom.

Kesengsaraan Lainnya

Seiring pertempuran yang perlahan-lahan mereda dan pasukan AS menarik diri dari Irak pada tahun 2011, Mahmoud berpikir pelarian seumur hidupnya dari kekejaman perang akan berakhir. Meski untuk sementara ia mungkin tidak pernah melihat Haifa lagi tapi setidaknya bisa hidup dalam damai.

Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang

Tapi tiga tahun setelah AS hengkang, suatu malam musim panas pada Juni 2014 sontak berubah muram. Ledakan dan rentetan tembakan meletus saat Daesh merajalela masuk ke Mosul, kota terbesar kedua di Irak.

Hanya dalam hitungan pekan, kelompok ekstrimis itu telah menguasai sebagian besar wilayah Irak bagian utara dan barat hingga ke wilayah basis mereka di negara tetangga Suriah. Mereka kemudian mendeklarasikan kekhalifahan ‘gadungan’ dengan Mosul sebagai ibu kota pemerintahan.

Bagaimana dengan Mahmoud? Ia dan keluarganya, yang saat itu termasuk 11 anak, kembali mengepak barang-barang dan mengucapkan selamat tinggal kepada Mosul, tempat yang telah mereka anggap bak kampung halaman, seperti Haifa.

“Saya melihat orang-orang yang dipenggal di jalan-jalan. Kehidupan macam apa itu?” kritik Mahmoud.

Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda

Sekarang Mahmoud dan keluarganya tinggal di kamp pengungsi Baharka di wilayah Kurdi, Irak Utara, tempat sekitar 4.000 orang meringkuk di tenda-tenda sepanjang jalan berlumpur.

Hujan musim dingin mengirim limpasan air ke dalam tenda para pengungsi, dan Mahmoud, yang kini berusia 70-an tahun, mengatakan dirinya harus berjuang keras berjalan melewati tanah berlumpur.

Anaknya yang berusia 35 tahun, Thamer, yang bekerja sebagai tukang cukur di kamp itu, ​​lahir dan dibesarkan di Irak tetapi selalu merasa seperti orang luar. “Sejauh yang saya ingat, saya telah tinggal di Irak. Tapi saya tidak merasa berada di tanah air saya, karena kartu identitas saya menjelaskan saya seorang pengungsi,” ungkap Thamer.

Harapan?

Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi

Mahmoud mengaku masih mendapat uang pensiun dari Pemerintah Irak karena ia bekerja di jawatan kereta api Irak hingga masa pensiunnya. Namun dia tak bisa mengambil haknya itu dalam lima bulan ini karena masa berlaku kartu pengungsi yang ia pegang telah berakhir.

Kini lelaki senja ini terperangkap dalam pusaran arus tak berkewarganegaraan: Ia harus pergi ke Baghdad untuk memperbaharui kartu identitas pengungsinya, tapi di sisi lain pemerintah Kurdi tidak akan membolehkan dia melakukan perjalanan tanpa identitas.

“Seorang pria perlu berpartisipasi dalam masyarakat, harus punya identitas agar memiliki kehormatan,” kata Ibrahim.

Jadi hampir tujuh dekade setelah ia menumpang sebuah truk pada 1948 silam, yang membawanya ke dalam kehidupan pengasingan, Mahmoud ingin berpindah tempat lagi. Ia berharap bisa menemukan rumah ‘abadi’ bagi anak-anaknya.

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri

“Tanah air saya? Setiap tempat akan lebih baik dari pada di sini. Saya ingin pergi ke luar negeri sehingga saya bisa memberikan anak-anak saya pendidikan atau profesi yang menghidupi mereka,” tekad Mahmoud.

“Besok saya tidak akan berada di sini. Saya sudah tua,” pungkasnya. (P022/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Internasional
Kolom
Dunia Islam