Johannesburg, 1 Rajab 1428/29 Maret 2017 (MINA) – Empat tahun setelah kepergian Nelson Mandela, duka kembali menggelayuti bumi Afrika Selatan (Afsel), Selasa (28/3) waktu setempat, karena kepergian Ahmed Kathrada.
Ia salah seorang tokoh pejuang yang ikut menumbangkan sistem rasisme di negara itu. Aktivis Muslim pembela kaum tertindas yang menghabiskan 26 tahun hidupnya di penjara itu tutup usia di usia 87 tahun.
Rakyat Afsel berduka kehilangan pria yang karib dengan sapaan ‘Paman Kathy’ itu, tentunya bersama semua kenangan akan kebaikan, kejujuran, keberanian, dan kerendahan hatinya.
Pria yang lahir pada 1929 di sebuah kota kecil di barat laut Afsel dari orangtua imigran asal Gujarat, India, itu telah dirawat di rumah sakit karena pembekuan darah di otaknya sejak sebulan ini.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Seperti dimuat laman Time, pria yang terkenal karena memiliki hubungan dekat dengan mendiang mantan Presiden Mandela itu meninggal di kota Johannesburg, Afsel, Selasa (28/3) dini hari waktu setempat.
Para pemimpin Afsel dari seluruh spektrum politik berhimpun mengenang warisan Kathrada. Mereka memberikan penghormatan kepada ikon antiapartheid tersebut, yang dikenal karena kegigihannya melawan rasisme dan berkomitmen teguh pada nilai-nilai keadilan sosial.
Meskipun memenuhi syarat untuk dimakamkan dengan upacara kenegaraan karena termasuk salah satu ikon antiapartheid terkemuka Afsel, Kathrada justru berpesan agar ia dimakamkan dengan prosesi yang sederhana sesuai dengan syariat agama yang dianutnya, Islam.
Pihak Yayasan Ahmed Kathrada mengatakan Kathrada akan dimakamkan sesuai dengan tradisi Islam pada Rabu (29/3) waktu setempat.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Ari Sitas, Kepala Departemen Sosiologi di University of Cape Town, mengatakan sikap rendah hati merupakan ciri khas Kathrada.
“Dia adalah simbol dari generasi kepemimpinan di Kongres Nasional Afrika (ANC) – generasi yang mengorbankan segalanya, yang selalalu menujukkan sikap rendah hati, membanggakan, dan tanpa kebencian, Saya sangat menghormati dia dan peran yang ia mainkan,” ujarnya.
“Dia seorang moralis yang konsisten; rendah hati, dan tak kenal rasa takut,” kata Sitas kepada Al Jazeera.
Lahir pada tahun 1929, Kathrada terlibat dalam politik di usia masih belia, mengalami serangkaian penangkapan sebagai aktivis muda. Ia menghabiskan 26 tahun usianya sebagai tahanan politik di Pulau Robben dan penjara Pollsmore.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pada tahun 1952, ia dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara dengan Mandela karena mengorganisasikan Kampanye Pembangkangan, yang dikenal sebagai salah satu mobilisasi politik atau gerakan massa berskala besar pertama yang melawan hukum apartheid.
Pada 1956, ia diadili dengan dakwaan pengkhianatan tingkat tinggi, juga dengan Mandela dan Walter Sisulu. Mereka kemudian dibebaskan.
Menginspirasi Dunia
Tidak hanya bagi penduduk Afsel, Kathrada juga menjadi inspirasi bagi jutaan orang di berbagai belahan dunia.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Penganut Islam itu menjadi aktivis melawan rezim apartheid sejak berusia 17 tahun, kala ia menjadi salah satu dari 2.000 orang yang menentang hukum diskriminasi di Afsel saat itu.
Bersama Mandela, Kathreda dipenjara melalui sidang Rivonia pada 1964. Sidang yang menarik perhatian seluruh dunia dan menyoroti sistem hukum brutal di bawah rezim apartheid.
Pascarezim apartheid runtuh, Kathreda menjabat sebagai konselor parlemen untuk Presiden Mandela di bawah pemerintahan pertama Kongres Nasional Afrika (ANC).
“Saya pikir kematiannya merupakan sinyal untuk Afsel, sekali lagi, akhir dari sebuah era, dari raksasa besar apartheid (resistensi) seiring kepergian mereka,” ujar seorang mantan narapidana yang pernah bersama Mandela dan Kathrada dengan nada emosional.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Hingga akhir hidupnya, Kathrada masih aktif dalam kehidupan publik. Dirinya juga membentuk yayasan sendiri dan menekankan pentingnya hak asasi manusia, antirasisme, dan kebebasan berbicara untuk pengembangan pemuda.
Tahun lalu, dirinya bergabung dengan sebuah gerakan tokoh veteran yang kritis terhadap pemerintah ANC dan pemimpin saat ini, Presiden Jacob Zuma, yang tengah terseret kasus korupsi. Bahkan Kathrada bahkan menulis surat terbuka kepada Zuma yang memintanya untuk mundur.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Di mata pensiunan Uskup Agung, Desmond Tutu, Kathrada adalah orang yang lemah lembut, sederhana, dan tabah.
“Ini adalah orang-orang dengan integritas dan moral tertinggi yang, melalui kerendahan hati mereka, menginspirasi kita semua dan keyakinan dunia pada kita,” ujarnya.
Sesama tahanan di Pulau Robben, Laloo ‘Isu’ Chiba, 89, mengatakan Kathrada merupakan tokoh untuk rekan antiapartheid.
“Dia telah menjadi kekuatan saya di penjara, panduan saya dalam kehidupan politik dan pilar kekuatan saya di saat-saat paling sulit dalam hidup saya,” ujar Chiba dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Yayasan Ahmad Kathrada. (R11/P1)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Miraj Islamic News Agency (MINA)