Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setengah Abad Pendudukan Jalur Gaza (Bagian II)

illa - Rabu, 28 Juni 2017 - 10:51 WIB

Rabu, 28 Juni 2017 - 10:51 WIB

194 Views

Pengepungan oleh Israel terhadap Gaza telah menghancurkan ekonomi kawasan itu dan mengarah kepada apa yang disebut PBB “penghancuran” wilayah itu, suatu proses di mana pembangunan tidak hanya dihalangi tetapi juga dihancurkan.

Sekira 42 persen orang Palestina di Gaza menurut Bank Dunia, menderita karena kemiskinan, pengangguran di kalangan kaum muda mencapai 58 persen dan 80 persen penduduknya menggantungkan diri pada bantuan internasional, terutama pasokan pangan.

“Bahkan yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar dari 1,8 penduduk Gaza menghuni sebuah kawasan yang luasnya hanya 160 km2 dan tak bisa bepergian keluar dari wilayah itu tanpa ijin,” kata Steen Lau Jorgensen, direktur Bank Dunia bagi Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Lebih dari 60 persen orang Palestina di Gaza adalah pengungsi, terusir dari kampung halaman mereka di bagian lain Palestina tahun 1948, di tempat-tempat seperti Lod serta Ramle, dan kini tinggal hanya beberapa kilometer dari kampong dan kota asal mereka.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Pengepungan itu menyebabkan kekurangan bahan-bahan pokok seperti pangan dan bahan bakar. Juga menghilangkan potensi pembangunan ekonomi jangka panjang. Masalah-masalah kronis seperti akses pendidikan, perawatan kesehatan dan air bersih, menjadi lebih parah.

Sejak awal pengepungan, Israel telah melancarkan tiga serangan militer berkepanjangan atas Gaza: tahun 2008, 2012 dan 2014. Setiap serangan telah memperburuk suatuasi Gaza yang sudah mengerikan. Puluhan ribu rumah, sekolah dan bangunan-bangunan kantor telah dihancurkan.

Pembangunan kembali adalah hal yang tidak mungkin karena pengepungan mencegah masuknya bahan-bahan bangunan seperti besi dan semen, ke Gaza.

Selama bertahun-tahun, serangan-serangan rudal dan serbuan darat juga telah menghancurkan jalur pipa dan infrastruktur perawatan pembuangan limbah. Akibatnya limbah sering merembes ke dalam air untuk minum, menimbulkan penyakit yang menyebar dengan cepat. Lebih dari 90 persen air di Gaza telah berubah menjadi air yang tak aman untuk diminum.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Rencana-rencana untuk memperbaiki kualitas air di Gaza telah terhambat oleh krisis listrik berkepanjangan. Proyek-proyek air termasuk sektor yang sangat banyak membutuhkan tenaga listrik. Tanpa listrik yang cukup untuk mengelola air dan sistem sanitasi, mustahil untuk membangun fasilitas-fasilitas yang baru.

Banyak rumah di Gaza bergantung pada pompa-pompa listrik untuk menarik air ke atas bangunan. Tak ada listrik, berarti tak ada air buat mereka.

Pengurangan listrik berdampak sangat buruk pada para pelajar di Gaza. Di rumah, mereka terpaksa belajar dengan lampu-lampu gas atau lilin. Ini menghambat kemampuan konsentrasi dan semangat belajar mereka.

Generator-generator memang bisa menyalakan lampu-lampu, tetapi berisik dan sering tidak cukup minyak untuk menghidupkan alat-alat itu. Di sekolah, gelap berarti makanan busuk, WC kotor dan tak ada air bersih untuk mencuci tangan.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Salah satu kelompok paling rentan terhadap pengepungan itu adalah mereka yang sakit kronis. Tahun 2016, Israel menyetujui kurang dari 50 persen permohonan untuk keluar Jalur Gaza lewat perlintasan Beit Hanoun guna memperoleh perawatan medis.

Kekuasaan Hamas

Didirikan tahun 1987, Hamas muncul dalam Intifada pertama yang memperlihatkan mobilisasi populer orang-orang Palestina terhadap pendudukan Israel.

Pada 25 Januari 2006, Hamas mengalahkan dominasi panjang Mahmoud Abbas dari partai Fatah dalam pemilihan parlemen. Hamas kemudian mengusir Fatah dari Jalur Gaza setelah Fatah menolak untuk mengakui hasil pemilihan itu. Sejak 2007, Hamas dan Fatah memerintah Jalur Gaza dan Tepi Barat berturut-turut.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Fatah, partai berkuasa di Tepi Barat, dipimpin oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang terpilih tahun 2005.

Hamas menetapkan dirinya sendiri sebagai suatu gerakan perlawanan nasional kemerdekaan Islam, yang bertujuan “memerdekakan Palestina dan melawan proyek Zionis”.

Sementara tahun 1988 Hamas membuat akta yang menghendaki kemerdekaan seluruh sejarah Palestina, termasuk Israel yang ada saat ini. Hamas baru-baru ini mengeluarkan sebuah dokumen politis baru, di mana gerakan itu menyatakan menyetujui perbatasan-perbatasan 1967 sebagai dasar bagi sebuah negara Palestina, dengan Yerusalem sebagai ibukotanya dan pengembalian para pengungsi ke daerah-daerah asal mereka.

Hamas tidak mengakui legitimasi negara Israel dan telah memilih perlawanan bersenjata sebagai cara untuk memerdekakan wilayah-wilayahnya.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Serangan Israel terhadap Gaza

Setelah memberlakukan pengepungan terhadap Gaza pada 2007, Israel melancarkan tiga serangan besar-besaran dan berkepanjangan di wilayah itu tahun 2008 dan 2014.

Serangan-serangan itu menghancurkan banyak infrastruktur kota, termasuk pembangkit tenaga listrik Gaza. Wilayah ini mengalami krisis listrik selama satu dasawarsa, sehingga rumah-rumah, pusat perdagangan dan rumahsaki-rumahsakit hanya mendapatkan listrik – saat ini tiga jam dalam sehari.

Minyak dibutuhkan untuk menyalakan listrik, kekurangan makanan dan air bersih juga merupakan realitas yang terus berlanjut bagi penduduk di Jalur Gaza. Puluhan ribu orang di sana, termasuk para pengungsi, tinggal di tenda-tenda. Israel melarang masuknya bahan-bahan bangunan vital seperti besi dan semen serta bahan-bahan bangunan lainnya.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Tahun 2008, setelah Hamas mengusir Fatah, serangan besar pertama Israel terhadap Gaza berlangsung selama 23 hari. Akibat serangan Israel yang disebut “Operation Cast Lead” itu, 47.000 rumah hancur dan lebih dari 1.440 orang Palestina tewas, termasuk 920 penduduk sipil.

Tahun 2012, pasukan Israel membunuh 167 orang Palestina termasuk 87 warga sipil dalam serangan delapan hari yang berjuluk ”Operation Pillar of Defense” oleh Israel. Dalam jumlah yang tewas itu termasuk 35 anak dan 14 wanita.

Infrastruktur Gaza juga rusak berat; 126 rumah hancur, juga sekolah, masjid, pusat-pusat kesehatan dan olahraga, kantor-kantor media serta bangunan-bangunan lainnya.

Dua tahun kemudian pada 2014, dalam serangan selama 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 orang Palestina termasuk 462 warga sipil dan 500 anak-anak.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Dalam serangan yang disebut Israel sebagai “Operation Protective Edge”, sekitar 11.000 orang Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang terusir dari rumah mereka.

Blokade Israel telah menimbulkan bencana kemanusiaan yang sangat parah. Seperti diperingatkan PBB baru-baru ini – kondisi-kondisi di Gaza akan makin memburuk dan jika situasi yang terjadi saat ini terus berlanjut, Jalur Gaza bisa tak dapat dihuni pada tahun 2020. (RS1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Miraj Islamic News Agency/MINA

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Rekomendasi untuk Anda