Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA, Duta Al-Quds Internasional
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam Surat Al-Muzzammil ayat 1-6:
يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُۙ ١
“Wahai orang yang berselimut” (Nabi Muhammad).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًاۙ ٢
“Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil”.
نِّصْفَهٗٓ اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًاۙ ٣
“(yaitu) seperduanya, atau kurang sedikit dari itu”.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ ٤
“atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.”
Sebab Turun Ayat
Surat ini turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam setelah Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam. Sebagian riwayat menyebutkan setelah Surat Al-‘Alaq, Al-Qalam dan Al-Muddatstsir.
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Sebab turun awal Surat Al-Muzzammil, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi, Surat Al-Muzzammil ayat 1-4, turun setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam didatangi Malaikat Jibril di Gua Hira, di Makkah. Malaikat Jibril saat itu membawa Surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pulang ke istrinya (Khadijah), dan Rasulullah gemetar karena baru saja ditemui oleh sosok yang menakutkan yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Sosok yang datang pada malam hari di Goa Hira itu adalah Malaikat Jibril ‘Alaihissalam, yang turun dalam bentuk aslinya, dengan enam ratus sayapnya yang menutupi seluruh ufuk barat dan timur. Hingga Rasulullah pun merasa ketakutan.
Nabi pun berkata kepada istrinya, Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku, sungguh aku sangat ketakutan.”
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Kemudian Rasulullah mengatakan kepada istrinya atas kejadian yang telah dialaminya. Maka Khadijah pun mengokohkan hatinya dan menenangkannya. Kemudian ia menyelimutinya dengan kain selimut.
Kemudian Allah menyerunya dengan ramah dan lembut, “Wahai orang yang berselimut”.
Dalam riwayat Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dari Jabir dikatakan, bahwa peristiwa itu bersamaan dengan kondisi kaum kafir Quraisy yang sedang berkumpul di balai pertemuan Darun Nadwah, mereka berkata satu sama lainnya.
“Mari kita carikan untuk Muhammad nama yang tepat dan cepat dikenal orang.” Mereka berkata: “Kaahin” (dukun). Yang lainnya menjawab: “Dia bukan dukun.” Yang lainnya berkata lagi: “Majnuun” (orang gila). Yang lainnya menjawab: “Dia bukan orang gila.” Mereka berkata lagi: “Saahir” (tukang sihir). Yang lainnya menjawab: “Dia bukan tukang sihir.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Maka, kemudian turunlah Surat Al-Qalam ayat 1-4:
نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
مَآ أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
“Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.”
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ
“Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.”
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, guru besar Tafsir Al-Quran di Universitas Islam Madinah menjelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru memperoleh kenikmatan yang Allah berikan berupa Kenabian dan Kepemimpinan, dan bukanlah orang yang gila.
Justru Allah menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan mendapat pahala yang besar dan tidak terbatas, karena telah memikul beban risalah dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi model teladan terbaik bagi umat manusia.
Selanjutnya, berkaitan dengan kejadian perbincangan kaum kafir Quraisy di Makkah saat itu, sampailah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga beliaupun menahan diri di rumah dengan berselimut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu
Maka datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, “Yaa ayyuhal muzzammil” (hai orang yang berselimut), (Surat Al-Muzzammil ayat 1), dan “Yaa ayyuhal muddatstsir” (hai orang yang berkemul), (Surat Al-Muddatstsir ayat 1).
Dalam riwayat Al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Surat Al-Muzammil ayat 1-4, dijelaskan bahwa ayat-ayat tersebut memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kaum Muslimin bangun malam hari untuk melaksanakan shalat malam (Qiyamul Lail).
Surat Al-Muzzammil ayat 1-4 berisi perintah Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk meninggalkan selimutnya dan untuk mendirikan shalat malam, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah serta menyiapkan diri untuk memikul tugas dakwah.
Kemudian Allah memerintahkan untuk melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah Allah turunkan, dengan tenang dan perlahan, dengan memperjelas huruf dan lafazhnya, agar lebih mudah untuk dihayati dan difahami maknanya. Hal ini untuk diikuti oleh para sahabatnya dan umatnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah
Kewajiban Shalat Sebelum Lima Waktu
Kewajiban melaksanakan Shalat Malam sebagaimana Allah perintahkan di dalam Surat Al-Muzzammil dikerjakan dengan tekun dan terus-menerus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Shalat Malam ini berlangsung selama sekitar setahun. Amalan ini hingga menyebabkan kaki mereka bengkak-bengkak.
Sebelum kemudian turunlah ayat ke-20 dari Surat Al-Muzammil, yang memberikan keringanan untuk shalat malam. Sehingga shalat malam itu menjadi sunnah (utama), bukan wajib lagi, kecuali bagi Rasulullah tetap wajib.
اِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ اَنَّكَ تَقُوْمُ اَدْنٰى مِنْ ثُلُثَيِ الَّيْلِ وَنِصْفَهٗ وَثُلُثَهٗ وَطَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَۗ وَاللّٰهُ يُقَدِّرُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۗ عَلِمَ اَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِۗ عَلِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰىۙ وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِۙ وَاٰخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۖ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُۙ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَقْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًاۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِۙ هُوَ خَيْرًا وَّاَعْظَمَ اَجْرًاۗ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌࣖ ٢٠
Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Nabi Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menghitungnya (secara terperinci waktu-waktu tersebut sehingga menyulitkanmu dalam melaksanakan shalat malam). Maka, Dia kembali (memberi keringanan) kepadamu. Oleh karena itu, bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah (bagimu). Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah serta yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya (Al-Qur’an). Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)-nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Muzzammil [73]: 20).
Di dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah dijelaskan bahwa Allah memperhatikan betapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya telah secara sungguh-sungguh mentaati perintah untuk mendirikan Shalat Malam yang disebutkan pada awal Surat Al-Muzzammil.
Mereka benar-benar mendirikan shalat selama dua pertiga, setengah, atau sepertiga waktu malam. Karena kewajiban mendirikan shalat malam secara terus-menerus merupakan perintah yang berat, maka pada ayat ini disebutkan keringanan hukumnya menjadi tidak wajib atau menjadi sunnah atas seluruh kaum Muslimin.
Allah menjelaskan sebab-sebab keringanan tersebut, di antaranya : mungkin ada yang sakit, bepergian, dan berjihad. Keringanan hukum ini merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan memperhatikan keadaan mereka.
Selain Shalat Malam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan diikuti juga oleh para sahabatnya, diperintahkan untuk shalat dalam sehari dua kali, yakni pagi hari dan sore hari. Hanya kewajiban Shalat Malam berlaku satu tahun saja, sebelum akhirnya menjadi sunah (tambahan), kecuali bagi Rasul tetap menjadi wajib. Sebagaimana Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa kewajiban ibadah Shalat Malam hanya berlaku khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ini menunjukkan bahwa kewajiban Shalat Malam dan shalat pada dua waktu, pagi dan petang, sudah ada sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj. Shalat diwajibkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak awal beliau diangkat sebagai Rasul dan menerima wahyu pertama.
Malaikat Jibril pun mengajarkan tatacara berwudhu dan shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
أَنَّ جِبْرِيْلَ أَتَاهُ فِي أَوَّلِ مَا أُوْحِيَ إِلَيْهِ فَعَلَّمَهُ الْوُضُوْءَ وَالصَّلَاةَ
Artinya: “Sesungguhnya Malaikat Jibril datang kepada Rasul ketika menyampaikan wahyu pertama dan mengajarkan Rasul wudhu’ dan shalat.” (H.R. Ahmad dan Ad-Daraquthni).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan berbuat baik. Ini sebagaimana disebutkan oleh sahabat Ibnu Abbas yang berkata, dari Abu Sufyan tentang hadits Herakilius, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kami shalat, jujur, dan menjaga harga diri.” (terdapat dalam Riwayat Bukhari).
Adapun tentang shalat dua kali sehari, waktu pagi dan petang, sebagaimana keterangan Surat Ghafir ayat 55.
فَٱصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِٱلْعَشِىِّ وَٱلْإِبْكَٰرِ
“Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (Q.S. Al-Mu’min [40]: 55).
Pada ayat lain juga disebutkan:
فَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ ٱلشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ۖ وَمِنْ ءَانَآئِ ٱلَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ ٱلنَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَىٰ
“Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”. (Q.S. Thaha [20]: 130).
Di dalam Kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, pengajar tafsir di Universitas Islam Madinah menjelaskan, “dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”, yakni senantiasalah menyucikan Allah seraya memuji-Nya. Pendapat lain mengatakan yang dimaksud adalah, dirikanlah shalat ashar dan shalat subuh.
Al-Qaththan juga mengutip sebuah riwayat yang mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada awal-awal pengutusannya sebagai Rasul melakukan ibadah shalat sebanyak dua rakaat pada pagi dan sore hari.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Rajab mengutip perkataan Qatadah, bahwa shalat pertama kali adalah dua rekaat di waktu pagi dan dua rekaat di sore hari.
Ibnu Dahiyah menjelaskan bahwa Khadijah isteri Rasulullah pun ikut melaksanakan shalat bersama Rasulullah sejak pengangkatannya sebagai Rasul.
Adapun tata cara shalat yang sempurna sebagai kita laksanakan saat ini, adalah mengikuti tatacara shalat setelah peristiwa Isra’ dan Mir’aj, yakni dengan adanya kewajiban shalat lima waktu sehari-semalam.
Pada peristiwa Isra Mi’raj, di antaranya Malaikat Jibril menjelaskan ketentuan waktu shalat yang lima waktu, dengan tatacara mengikuti shalat yang dicontohkan Malaikat Jibril.
Kiblat Pertama ke Masjidil Aqsa
Perintah Shalat Malam sebagaimana terdapat di dalam Surat Al-Muzzammil, dan itu dikerjakan di Makkah. Demikian juga shalat pagi dan sore, itupun dilaksanakan di Makkah, sebelum hijrah.
Pertanyaannya, ke manakah kiblat shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebelum Isra Mi’raj, yang juga diikuti para sahabatnya yang awal masuk Islam (assabinunal awwalun).
Di dalam hadits disebutkan sebagai berikut :
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ…
Artinya : Dari Al-Bara bin ‘Azib berkata, “Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan, sampai turun ayat di dalam Surah Al-Baqarah WAHAITSU MA KUNTUM FAWALLAU WUJUHAKUM SYATROH…” (H.R. Bukhari).
Dalam penelitian literatur yang dilakukan oleh Prof. Dr. Abdullah Al-Fattah Al-Uwaisi Al-Maqdisi, penulis buku “Roadmap Nabawiyah Pembebasan Baitul Maqdis”, (2022), dijelaskan bahwa pada periode awal Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam diangkat sebagai Rasul, beliau yang juga diikuti isterinya Khadijah, dan sahabat-sahabatnya yang awal masuk Islam, melaksanakan perintah Shalat Malam (Qiyamul Lail), serta shalat pagi dan petang) dengan menghadap kiblat ke arah Masjid Al-Aqsa.
Rasulullah biasa shalat di depan Ka’bah, sekaligus mengarah ke Masjidil Aqsa. Rasulullah menempatkan Ka’bah di antara dirinya dan Masjidil Aqsa.
Islamweb mengutip pendapat Ibnu Katsir, yang mengatakan bahwa dalam beberapa riwayat, mengenai hal ini, intinya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diperintahkan untuk shalat, dan kiblatnya adalah menghadap Masjidil Aqsa.
Rasulullah saat itu berada di Makkah, dan biasa melaksanakan shalatnya di antara dua pilar, yaitu di depannya Ka’bah, sekaligus menghadap Masjidil Aqsa.
Ketika hijrah ke Madinah, tidak mungkin menggabungkan keduanya, karena letaknya yang bertolak belakang. Rasul menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsa, sementara Baitulah ada di belakang beliau.
Sampai kemudian turun perintah pemindahan kiblat dari Masjidil Haram ke Baitullah di Masjidil Haram, sebagaimana disebutkan di dalam Surah Al-Baqarah ayat 144 yaitu :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 144).
Prof. Al-Uwaisi menyimpulkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan shalat lima waktu setelah Isra Mi’raj, sewaktu berada di Mekkah sebelum Hijrah hingga sesudah hijrah ke Madinah, adalah menghadap kiblat ke Masjid Al-Aqsa. Kiblat pertama dalam shalat lima waktu ke Masjidil Aqsa ini dikerjakan dalam kurun waktu 16 bulan. Sebelum Allah memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjid Al-Aqsha Palestina ke Masjid Al-Haram di Mekkah, setelah beliau di Madinah.
Jika ditambahkan dengan berkiblat ke Masjidil Aqsa setelah hijrah ke Madinah hingga tahun ke-2 Hijrah, sebelum kemudian berpindah ke Masjidil Haram. Maka secara keseluruhan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat berkiblat ke Masjidil Aqsa sekitar 14,5 tahun.
Keutamaan Shalat Malam
Kembali ke awal kandungan Surat Al-Muzzammil, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang menutupi dirinya di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan Shalat Malam (Qiyamul Lail).
Pada ayat lain Allah mengatakan:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (Q.S. As-Sajdah [32]: 16).
Maksud “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya“ adalah bahwa orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah itu jauh dari kasur tempat tidur mereka, pada sepertiga malam yang akhir, dengan mereka bertahajud (Shalat Malam).
Pada ayat lain, Allah menegaskan:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra [17]: 79).
Ayat ini, rangkaian dari tanda-tanda pembebasan Al-Aqsa, sebagaimana pada ayat 1-10 Surat Al-Isra, menjelaskan bagaimana Shalat Malam sebagai tambahan bagi orang-orang beriman untuk meninggikan kualitas dan meningkatkan derajat, di dunia dan akhirat.
Keutamaan Shalat Malam disebutkan juga di dalam hadits, di antaranya:
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
“Jibril as datang menemui Nabi saw. Lalu berkata (kepada beliau): “Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati. Cintailah siapa saja yang engkau cintai (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan berpisah dengannya. Dan berbuatlah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya benar-benar engkau akan menerima balasan dari apa yang engkau perbuat”, Lalu dia berkata lagi: “Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malam. Kehormatannya terletak pada tidak butuhnya ia kepada manusia.” (H.R. Ath-Thabrani).
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ انْجَفَلَ النَّاسُ قِبَلَهُ وَقِيلَ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ثَلَاثًا فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ فَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Tatkala Nabi saw tiba di Madinah, orang-orang bergegas menyambut kedatangan beliau dengan menyerukan, ‘Rasulullah tiba! Rasulullah tiba! Rasulullah tiba!’ sebanyak tiga kali. Maka aku (‘Abdullah bin Salam) ikut berjubel di tengah-tengah kerumunan manusia untuk melihat beliau, ketika telah jelas kupandang wajahnya, maka bisa kuketahui bahwa raut muka beliau bukanlah raut muka seorang pendusta. Ucapan pertama kali yang aku dengar dari beliau adalah: ‘Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat’.” (H.R. Ibnu Majah).
Begitulah, Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk bangkit memulai semua aktivitasnya dengan beribadah kepada Allah, yakni Shalat Malam. Sesungguhnya, pada malam itu adalah waktu yang tepat untuk khusyu.
Demikianlah, maka ada kaitan erat antara Shalat Malam dan Pembebasan Masjid Al-Aqsa, yang tak terpisahkan. Maka, jika kita memang menjadi bagian dari pembebasan Al-Aqsa dan Palestina, Shalat Malam merupakan bagian tak terpisahkan, amalan utama para pejuang di jalan Allah.
Semoga kita dapat menghayati dan mengamalkannya. Aamiin. []
Mi’raj News Agency (MINA)